
“Hari-hari ini sungguh, desa-desa telah tampil menjadi primadona. Lihatlah pergerakan orang-orang yang mudik. Mereka rela berjubel di stasiun atau terminal-terminal angkutan antarkota.”
Oleh Suparto Wijoyo
DESA sedang menunjukkan kuasanya. Tempat muasal kehidupan orang-orang urban. Kota pun tengah menyadari dirinya sebagai persinggahan insan-insan rural yang membentuk mural kehayatannya. Saya menyimak dengan hati yang terjaga dari para komunitas keluarga perkotaan yang merindukan kampung kelahiran. Menyimak penuh haru dengan melibatkan emosi yang tersaji. Ada sebuah keluarga yang terisak karena bisa mudik, meski hanya ke Jombang. Sebuah jarak yang amat dekat dari teritorial Surabaya. Tidak mudik disebabkan kondisi sedang sakit dan itu sampai diunggapkan di sebuah radio. Untuk menghibur sang ibu ini, keluarganya dikabarkan siap menjenguknya.
Ini sekadar kisah tipis dari gelombang besar arus mudik yang gemerlap. Saya sendiri juga merentangkan segala daya untuk dapat sambang kampung di salah satu titik koordinat wilayah Lamongan. Ketemu sanak saudara, handai taulan dan tentu saja Ibu yang menjadi pusaka kehidupan kami. Saya ajak anak dan istri untuk melangkah di pematang tambak-tambak, sambil menikmati jernihnya air yang tidak beriak. Rasa tenang dan cuaca yang tampak cerah meski jelang surup untuk berbuka. Pengajian di masjid dan ruang-ruang kelas Pondok Pesantren Darul Hikmah yang diasuh Kakak KH Abdul Halim Affandi berlangsung riang. Maghrib akhirnya datang dan kami melingkar untuk menikmati masakan udang yang diambil dari tambak sebelah rumah.
Hari-hari ini sungguh, desa-desa telah tampil menjadi primadona. Lihatlah pergerakan orang-orang yang mudik. Mereka rela berjubel di stasiun atau terminal-terminal angkutan antarkota. Yang membawa kendaraan pribadi juga menahan sabarnya karena jalanan kerap merambat. Semuanya tertuju pada satu kosmologi yang tunggal: tanah tumpah darah. Tanah yang menjadi kenangan sepanjang hayat. Kebahagiaan tersungging dalam senyum yang mengembang. Kahadiran keluarga kota untuk membaurkan diri di rumah perdesaan amatlah keramat. Inilah kesejatian derap langkah manusia yang merindukan desa dan sedia kembali ke desa. Tapi hanya berjeda semata. Begitulah rata-rata.
Pahamilah. Sebuah desa adalah sebuah kenyataan yang di dalamnya bermuatan serta berkonteks wilayah maupun peradaban. Desa bagi NKRI adalah tulang kaki utama negara untuk terus tumbuh dan berkembang menjadi badan yang berada pada tingkat Kabupaten. Tangan birokrasi hadir mengordinasikan kinerjanya dalam bentuk Provinsi untuk sampai pada leher di arena Kementerian yang berpuncak di kepala bernama Presiden. Untuk itulah Presiden dalam ritme hukum normatif di Indonesia selalu berpredikat sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Itu bukan panggilan atributif sembarangan, tetapi suatu realitas yang berangkat dari ide dasar organisme keberadaan NKRI yang berkaki desa.
Desa memiliki posisi yang sedemikian pentingnya seperti dituliskan dalam kitab-kita kuno sejenis Negarakretagama karya Empu Prapanca (1365) yang sejatinya mengenai keragaman kehidupan desa yang menunjuk pada judul aslinya Desa Warnana. Baca juga karya Empu Tantular yang berjudul Sutasoma (1385) yang mengisahkan keagungan manusia penuh kebajikan yang bernama Sutasoma yang memimpin berbasis kehidupan desa. Atau anda sempatkan membaca deklarasi publik Nabi Muhammad SAW yang menata kehidupan politik dalam Piagam Madinah (622). Piagam Madinah menginformasikan bahwa membangun kehidupan rakyat selalu berdasarkan inti kehidupan yang dinamakan Kaum atau Banu.
Prapanca maupun Sutasoma menuangkan dalil kebajikan kehidupan “negara aman kalau desa aman”. Maka jangan ada tindakan melemahkan desa atau meremehkan desa, atau mengabaikan kepentingan desa. Apabila desa lemah negara akan mengalami pengeroposan total. Nah dalam lingkup demikianlah saya teringat literasi leluhur agar kita jangan main-main dengan desa, sebab desa itu penyangga utama keberadaan negara. Pupuh 350 Kakawin Nagara Krtagama, Mpu Prapanca tahun 1365 merumuskan: Apanikang pura len swawisaya kadi singha lawan gahana, Yan rusakang thani milwangakurangupajiwa tikang nagara. Yan taya bhrtya katon waya nika para nusa tekang reweka, Hetu nikan padha raksanapageha kalih phalaning mawuwus.
Pada lingkup inilah, saya teringat ungkapan ini sebagai Sabda Raja Hayam Wuruk yang inti ujarannya dengan memperhatikan terjemahan I Ketut Riana (2009) adalah: negara dan desa itu ibarat singa dengan hutan, apabila desa rusak, rusaklah negara karena kekurangan pangan, apabila tidak ada tentara yang kuat pasti negara mudah diserang musuh, untuk itulah peliharalah keduanya. Pesan ini sangat fenomenal dalam peradaban ekologis Nusantara yang dalam beragam literatur dan sumber tutur dari para leluhur terbukti bahwa membangun negara harus berpijak pada desa. Kami akhirnya termenung untuk tidak pernah berpaling dari desa.
Selama ini harus disadarai bahwa desalah telah melaksanakan demokrasi dengan kearifan-kearifannya. Jauh sebelum adanya pemilukada, desa sudah mengenal pemilihan langsung kepala desanya. Mereka sudah mengenal kematangan menjalankan pemerintahnnya. Intinya mereka memiliki daya kenyal berbirokrasi secara lokal. Di desa telah dibangun semacam balanced relationship between human civilization and the future dalam bahasa Al-Gore (1992). Masyarakat desa sudah menata sistemnya yang benar-benar reorganizes itself, ya mereka nyaris mengenal self organization yang khas. Untuk itulah UUD 1945 dalam edisi perdana dulu itu menghormatinya sebagai zelfbesturendelanschappen dan volksgemeenschappen. Inilah desa yang mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Begitu dulu Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 “terbitan proklamasi”. Nah kini itu tidak ada, dimodernisir katanya, padahal maksudnya dijauhkan dengan cita dasar bernegara. Inilah bahaya yang tidak disadari siapapun atas nama demokrasi. Selamat mudik dan silaturahmi dengan kerabat di desa.
*Prof Dr H Suparto Wijoyo, SH, MHum, CSSL adalah Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan SDA MUI Jawa Timur, Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur dan Guru Besar serta Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga.