Achmad Murtafi Haris
“Antara isu klan Ba’alwi dan Jokowi menghadapi respons negatif yang sama. Keduanya sama berpusar pada previlege darah, di ruang publik mendapat respons negatif.”
Oleh Achmad Murtafi Haris*

SETAHUN terakhir ini – bahkan lebih, isu nasab Ba’alwi terus mengemuka dan tidak surut. Kiai Imaduddin al-Bantani dan Gus Abbas Buntet menjadi motor dari penolakan klan Ba’alwi  sebagai keturunan nabi Muhammad SAW.

Kiai Imad dengan penguasaan ilmu agamanya menantang  pemimpin Rabitah Alawiyah (RA) Taufiq Assegaf dan Rizieq Shihab (bukan pendukungnya) untuk berdebat, namun keduanya menolak.

Mereka mengandalkan Rumail Abbas, Gus Wafi, dan Idrus Ramli tanpa mau turun sendiri yang tentunya Kiai Imad juga tidak mau turun sendiri dan memasrahkan pada pendukungnya pada diskusi di Benda Kerep, Juli kemarin dan polemik setelahnya.

Hiruk pikuk Ba’alwi sedikit ‘tertutup’ dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan partai yang tidak sampai suaranya 20% untuk mencalonkan gubernur Jakarta. Susah-susah bikin koalisi untuk memenuhi syarat 20%, ternyata akhirnya MK menurunkan ambang batas  menjadi 7,5 %.

Andai MK lebih awal memutuskan itu, mungkin paslon yang diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Anies – Shohibul Iman, tidak berubah. Namun keputusan ikut koalisi KIMPlus sudah diambil, dan sulit berubah. Tinggal PDI-P yang tersisa apakah akan mencalonkan Anies? Selain masalah ambang batas, usia minimal calon kepala daerah 30 tahun juga digugat ke MK. MK memutuskan, syarat usia 30 tahun adalah saat mendaftar bukan saat dilantik kelak. Keputusan yang memupus harapan Kaesang Pangarep untuk dicalonkan dalam pilkada gubernur Jawa Tengah.

Demo oleh para mahasiswa dan elemen lainnya yang menuntut DPR tunduk pada keputusan MK berlangsung keras hingga merobohkan dua bagian pagar gedung DPR RI. Narasi yang berkumandang adalah penolakan kekuasaan dinasti Jokowi. Setelah Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi menang pilpres sebagai cawapres, para demonstran menolak anaknya yang lain Kaesang melenggang ke kursi gubernur Jateng. Biarpun naiknya putra Jokowi menempuh  jalur prosedur hukum, demonstran menolak karena tidak ingin negara “dikuasai”  Jokowi. Biarpun di Indonesia terdapat 38 provinsi dan keluarga Jokowi, kalau jadi, anak dan menantunya akan memimpin 2 provinsi: Jawa Tengah dan Sumatra Utara plus wapres, bagi sebagian orang hal itu sudah menunjukkan adanya dinasti kekuasaan di sistem republik ini.

Biarpun kedua anaknya dan menantunya mendudukinya lewat pemilu dan bukan penunjukkan oleh Jokowi selaku presiden, tapi kemenangannya dianggap tidak lepas dari pengaruh posisi strategis sang ayah. Kelindan itulah yang membuat tuduhan politik dinasti tidak terhindarkan.

Dinasti memang bermasalah dalam sistem republik. Setidaknya jika hal itu tersambung secara langsung. Seandainya ada jeda 1 periode atau terjadi pada pemilu 2029 mendatang mungkin isu dinasti tidak muncul. Tapi yang terjadi sekarang terlalu rapat. Tidak seperti dinasti Soekarno yang diselingi Orde Baru 32 tahun atau dinasti Marcos di Philipina yang menunggu 38 tahun hingga anak Ferdinand Marcos, Bongbong Marcos, menang pemilu dan menjadi presiden pada 2022 kemarin. Karena terlalu rapat itulah, suara dukungan rakyat terhadap Jokowi yang disalurkan lewat pilihan atas Prabowo, tidak mampu menahan aksi demo kemarin.

Antara isu klan Ba’alwi dan Jokowi dengan demikian menghadapi respons negatif yang sama. Keduanya yang sama berpusar pada previlege darah, di ruang publik mendapat respons negatif.

Era modern tidak lagi mendukung adanya keistimewaan bagi pemilik darah biru. Pemiliknya tidak otomatis mendapat posisi bagus dalam struktur sosial, agama, dan politik. Mereka harus membuktikan memiliki kapasitas keilmuan dan keterampilan yang memadai.

Inilah yang disebut dengan meritokrasi. Yaitu pandangan yang mempercayakan posisi sosial-politik berdasarkan kualitas individu. Pandangan yang memberikan peluang yang sama kepada siapapun yang berkapasitas tinggi tanpa memandang  identitas kelompok dan darah. Sebuah pandangan yang selaras dengan Islam yang mengusung egalitarianisme dan kemuliaan berdasarkan ketaatan agama bukan golongan suku dan nasab.

Dalam teori kepemimpinan terdapat pandangan bahwa pemimpin lahir dari gen pemimpin. Seorang pemimpin melahirkan atau terlahir dari seorang pemimpin pula. Dari sini teori kekuasaan dinasti muncul dalam berbagai bentuk dan lingkup. Ia juga melahirkan aristokrasi yang memberikan kekuasaan kepada kelompok darah biru. Keberadaan kelompok ningrat atau feodal sebagai pemimpin diterima oleh rakyat sebagai sesuatu yang given.Permasalahannya kemudian adalah bahwa pemilik privilese seperti ini banyak. Sesama pemiliknya akan bertarung satu sama lain untuk menduduki kursi yang hanya satu atau sedikit. Maka kualitas dirilah pada akhirnya yang menentukan.

Rentang ribuan tahun antara nenek moyang sebagai sumber kemuliaan dan keturunannya sekarang telah melahirkan banyak generasi dan manusia sehingga  validitasnya tidak lagi menjadi perhatian orang selain keluarga yang berkepentingan. Atau kalau mau, bisa memanfaatkan temuan sains dalam melacak genetika seseorang (tes DNA). Kalau tidak, sementara catatan nasab bisa digugat, maka cukuplah kemuliaan nasab diyakini secara internal tanpa mengekspos ke luar.

Sebenarnya, banyak orang berpotensi memiliki darah biru tapi hal itu  dipendam karena bukan zamannya mengurusi begituan. Jokowi kalau memiliki hubungan jauh atau dekat dengan susuhunan Surakarta, bisa jadi dia memiliki nasab yang nyambung ke atas hingga pendiri Mataram Islam atau Pajang atau termasuk yang diklaim oleh Ba’alwi.

Tapi itu semua tidak pasti dan kemunduran dalam peradaban umat Islam Indonesia. Gunakan saja yang pasti bahwa derajat orang tergantung jasa dan takwanya bukan siapa kakeknya. (*)

*Achmad Murtafi Haris adalah dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry