SURABAYA | duta.co – Perusahaan Aplikasi Pinjaman Online (Pinjol) atau yang dikenal dengan istilah Fintech di Indonesia berkembang sangat pesat dan cepat. Kemudahan yang ditawarkan oleh Pinjol dalam memberikan pinjaman membuat aplikasi Pinjol ini banyak dipilih oleh masyarakat ketika membutuhkan dana.

“Kemudahan yang ditawarkan meliputi proses transaksi yang sangat mudah karena cukup menggunakan handphone (HP) dan tanpa harus menyiapkan persyaratan yang rumit, pencairan yang relatif cepat dan pinjaman diberikan diberikan tanpa agunan,” ungkap Direktur Lembaga bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Abd Wachid Habibullah, Jumat (15/2/2019).

Namun lanju Wachid, di balik kemudahan yang ditawarkan tersebut, terdapat banyak permasalahan yang mengancam nasabah Pinjol. Di antaranya, pertama, besaran bunga dan biaya administrasi dilakukan secara sepihak dan jumlahnya sangat tinggi. Selain itu, nasabah juga dibebankan biaya penagihan manakala nasabah tidak membayar tepat waktu.

“Kedua, dalam Pinjol tidak ada ruang komunikasi antara nasabah dengan penyedia Pinjol. Dengan tidak adanya ruang komunikasi ini membuat nasabah kesulitan untuk melakukan upaya negosiasi dan/atau untuk mengklarifikasi besaran utang yang harus dibayarkan,” ungkapnnya.

Selanjutnya, ketiga, penagihan yang dilakukan oleh Pinjol dilakukan dengan cara intimidatif dan menyebarkan data pribadi nasabah kepada publik. Dan keempat, banyak aplikasi Pinjol illegal yang tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain illegal, aplikasi Pinjol ini berdasarkan temuan OJK ternyata banyak yang berasal dari luar negeri.

“Saat ini yang paling menjadi keluhan dan meresahkan nasabah adalah cara penagihan yang dilakukan oleh pihak Pinjol. Penagihan dari pihak Pinjol yang menggunakan jasa debtcollector dilakukan dengan cara intimidatif dan menyebarkan data pribadi sehingga membuat nasabah harus menanggung beban psikologis hingga mengalami masalah di tempat kerja dan lingkungan keluarganya,” ungkapnya.

Hal ini karena pihak Pinjol dalam melakukan penagihan kepada nasabah yang menunggak pembayaran dilakukan dengan cara menyebarkan informasi pribadinya kepada semua contact person yang ada di HP nasabah, tanpa terkecuali keluarga dan tempat kerja nasabah.

Akibatnya, terdapat nasabah yang dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari tempat kerjanya, dan ada pula nasabah yang mengalami masalah keretakan hubungan keluarga akibat penagihan yang dilakukan oleh pihak Pinjol.

“Sampai saat ini, sudah ada sembilan pengaduan ke LBH Surabaya dengan jumlah korban sebanyak 59 orang,” ujarnya.

Dan negara ungkap Wachid, sampai saat ini cenderung pasif dan mengembalikan permasalahan ini kepada masyarakat dengan dalih urusan privat atau keperdataan antara nasabah dengan produsen dalam hal ini pihak Pinjol.

“Padahal perlindungan data pribadi merupakan bagian dari hak asasi manusia, dalam hal ini hak atas perlindungan privasi warga Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dan beberapa peraturan perundang-undangan turunannya. Sehingga negara berkewajiban untuk melindungi hak asasi warganya.

Menyikapi permasalahan ini, LBH Surabaya meminta pihak-pihak terkait, seperti Pemerintah dan DPR RI harus segera merampungkan dan mengesahkan RUU Perlindungan Data Pribadi. “Juga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus memberikan sanksi kepada Aplikasi Pinjol yang sudah terdaftar di OJK yang melakukan penagihan dengan cara intimidatif dan menyebar data pribadi nasabahnya,” pintanya.

Dan yang terpenting harapan Wachid, OJK harus memperkuat kerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam rangka mengawasi Aplikasi Pinjol Ilegal. “Kita juga meminta kepolisian untuk mengusut secara serius setiap ada laporan dari nasabah korban Pinjol,” harapnya. rum

 

 

 

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry