Tampak seorang guru agama. Jika pemerintah lengah, anak didik bisa menjadi radikal. (FT/NETRALNEWS)

Dunia pendidikan kekurangan 21.000 guru agama Islam. Seperti biasa, kelemahan sistem rekrutmen, seringkali membuat dunia pendidikan kebobolan, kemasukan guru-guru agama radikal. Itulah yang dirasakan sekarang.

DIREKTUR Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, Kamaruddin Amin mengatakan bahwa pendidikan agama Islam di sekolah saat ini dihadapkan pada problem fundamental berupa kekurangan guru agama. Menurunya, kekurangan guru agama Islam di sekolah sangat massif.  “Data kita, kira-kira sekitar 21.000 kekurangan guru agama Islam di sekolah,” ujarnya di Jakarta, awal pekan ini.

Kamaruddin menilai hal itu menjadi problem mendasar karena jika guru agamanya kurang, berarti pengajar agama di sekolah selama ini bukan ahli agama. Hal itu bisa menjadi potensi masuknya pemahaman radikal dan intoleran.

“Agama tidak boleh diajarkan orang yang bukan ahlinya. Sebab, ketika guru agama diajarkan oleh yang bukan ahlinya, maka di situ ada potensi pemahaman keagamaan intoleran, potensi radikalisme, potensi missleading yang sangat besar. Karena pemahaman keagamaannya sangat tanggung,” terangnya.

“Saya sering mengumpamakan, kalau yang mendesain bangunan bukan arsitek, mungkin saja akan jadi, tapi bangunan itu bisa kacau dan roboh. Begitu juga agama, kalau bukan ahlinya, pasti akan fatal, generasi menjadi korbannya,” sambungnya.

Masalah kekurangan guru agama ini harus diatasi segera dan secara fundamental. Sebab, proses pembelajaran agama tidak mungkin menghasilkan out put bagus kalau guru ahlinya tidak ada, kurang, dan apalagi bersifat massif.

“Kalau saat ini kekurangan 21.000 guru agama, maka kira-kira kasarannya ada sekitar 20.000 sekolah yang tidak punya guru agama. Itu kan massif dan itu sangat fundamental. Kalau itu tidak diatasi, maka kita tidak bisa berbicara banyak,” jelasnya.

“Solusinya diangkat guru yang benar. Menag sudah bersurat kepada Kemendagri, Kemendikbud, Gubernur dan Bupati di seluruh Indonesia, serta Kemenpan dan lembaga terkait untuk mengatasi persoalan ini dulu,” tutur Kamaruddin.

Menurut Guru besar UIN Alauddin Makassar ini,  Pemda harus mengangkat guru agama yang berlatarbelakang pendidikan agama, meski statusnya tidak harus PNS. Pemda bisa mengidentifikasi sekolah mana saja yang kekurangan, karena sekolah menjadi kewenangannya.

Kalau masalah kekurangan guru ini dibiarkan, lanjut Kamaruddin, hal itu sangat berpotensi untuk dikapitalisasi pihak-pihak yang mempunyai agenda diseminasi ajaran agama yang radikal. Sebab, jika agama diajarkan oleh mereka yang beraliran keras maka pendidikan agama di sekolah akan berkontribusi signifikan dalam penetrasi radikalisme. “Ini salah satu yang harus diwaspadai. Agama harus diajarkan oleh sarjana agama, bukan  sarjana nonagama,” tandasnya.

Abdallah, Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pernah menganalisa, bahwa gerakan terorisme di Indonesia tidak bisa dibaca dalam satu sudut pandang. Pengeboman yang dilakukan oleh Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) adalah hilir sebuah persoalan. Selama ini, hulu gerakan terorisme tidak menjadi perhatian yang serius di kalangan pemerintah. Hal ini tampak dari agenda Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dititikberatkan pada deradikalisasi: upaya penyadaran terhadap teroris di lembaga pemasyarakatan.

Hulunya adalah adanya pemahaman keagamaan yang eksklusif. Sasaran empuk para teroris adalah anak-anak muda yang sedang berusaha mencari jati diri mereka. Sarana yang efektif digunakan oleh kelompok radikal adalah ruang digital yang kini digemari anak-anak muda masa kini, seperti media sosial, yang pada kadar tertentu sulit menemukan batas kepantasan.

Menurut survei Kementerian Komunikasi dan Informatika serta UNICEF Indonesia pada 2014, kurang-lebih 43,5 juta anak dan remaja berusia 10-19 tahun di Indonesia adalah pengguna Internet. Artinya, dunia digital sudah menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Pada titik ini, kebenaran tampak kabur di tengah riuhnya wacana yang terus dilempar ke ruang publik bak buih di tengah hamparan samudra yang mahaluas.

Anak muda yang menjadi sasaran adalah anak-anak SMP dan SMA yang sedang dalam proses pembentukan kepribadian. Paham keagamaan mereka diberikan di sekolah dengan waktu yang sangat sedikit: satu jam dalam seminggu. Konsekuensinya, jika tidak mendapat tambahan pelajaran agama dari orang tua atau ustad di lingkungan mereka, tidak tertutup kemungkinan anak-anak ini mencari pemahaman agama secara liar.

Perkara pendidikan keagamaan di sekolah tidak sebatas kurikulum dengan waktu yang sangat terbatas untuk pengajaran agama, tapi juga buku teks pendidikan agama yang dikeluarkan pemerintah—dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Buku teks keagamaan menjadi sorotan masyarakat setelah beredarnya buku ajar yang berisi muatan intoleransi dan kekerasan di Jombang, Jawa Timur, tahun lalu.

Artinya, selain faktor ideologi guru, pemerintah juga harus mengawasi buku ajar. Dalam konteks inilah Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta melakukan penelitian “Diseminasi Paham Eksklusif dalam Pendidikan Islam” (2016). Hasil riset ini menemukan bahwa paham intoleransi keagamaan masih ditemukan melalui penyajian buku ajar di sekolah yang kurang mengedepankan aspek dialogis.

Dengan demikian, pemerintah harus serius menata proses belajar agama di sekolah-sekolah, sehingga tidak membuat ajaran intoleran atau radikalisme berkembang pesat seperti sekarang. (hud,kmg)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry