
SURABAYA | duta.co – Persidangan kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) Kabupaten Lamongan kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Senin (4/8/2025).
Alih-alih memperkuat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), jalannya sidang justru menyingkap kelemahan mendasar dalam penyusunan dakwaan terhadap terdakwa Moch. Wahyudi selaku Kepala Dinas dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek tersebut.
Sidang yang tercatat dalam register perkara Nomor: 72/Pid.Sus-TPK/2025/PN Sby itu menghadirkan tiga orang ahli dari pihak JPU. Namun alih-alih memperkuat argumentasi jaksa, keterangan ketiga ahli justru menimbulkan kontradiksi. Dua ahli dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dan Kantor Akuntan Publik (KAP) memberikan hasil perhitungan kerugian negara yang berbeda.
Kuasa hukum terdakwa, Muhammad Ridlwan, S.H., menyatakan bahwa hal ini menjadi bukti lemahnya dasar hukum dakwaan yang diajukan.
“Perbedaan perhitungan kerugian antara ahli konstruksi ITS dan KAP menunjukkan bahwa kerugian negara belum bisa dipastikan dengan nyata. Ini justru membuktikan bahwa kerugian negara dibesar-besarkan,” tegas Ridlwan kepada wartawan usai sidang.
Lebih jauh, Ridlwan juga mengungkap bahwa perhitungan dari KAP dilakukan bukan berdasarkan temuan independen, melainkan bersumber dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) milik penyidik Kejaksaan.
“Prosedurnya terbalik. Mestinya dihitung dulu kerugian negara baru dilakukan penyidikan. Kalau penyidikan dulu baru dihitung berdasarkan BAP, ini kan rawan rekayasa. KAP tidak independen lagi,” ujarnya.

Dalam sidang juga terungkap fakta bahwa terdakwa Moch. Wahyudi tidak menerima aliran dana sepeser pun dari proyek tersebut. Para saksi yang dihadirkan JPU pun menjelaskan bahwa Wahyudi hanya menjalankan tugas administratif sebagai PPK dan dikenal berintegritas baik.
“Niat jahat yang seharusnya dibuktikan dalam perkara korupsi ini tidak terbukti. Bahkan kerugian negara yang disebut-sebut juga tidak jelas,” tambah Ridlwan.
Menariknya, pernyataan salah satu hakim anggota, Ibnu Abbas Ali,S.H turut menyoroti inkonsistensi hasil audit dalam proyek yang sama.
“Proyek yang sama diaudit di tahun berbeda, tapi hasilnya berbeda pula. Ini menunjukkan ketidakpastian hukum yang sangat merugikan terdakwa. Ini menyangkut nasib orang,” ucap Hakim Anggota Ibnu Abbas Ali dalam penutupan sidang.
Sebagai informasi, proyek RPHU tersebut sebelumnya telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan ditemukan kerugian sebesar Rp92 juta. Jumlah tersebut telah dikembalikan oleh pihak rekanan pada 2023. Namun, penyidik justru kembali menghitung kerugian melalui KAP pada 2024, termasuk mengulang perhitungan pada sejumlah item yang sudah dihitung oleh BPK sebelumnya.
Ridlwan menyebut kasus ini sebagai bentuk kriminalisasi terhadap proyek strategis yang telah memberikan dampak nyata bagi masyarakat dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). “RPHU ini bukan proyek mangkrak. Justru terbukti telah meningkatkan PAD. Ini proyek strategis. Tapi yang terjadi, proyek seperti ini malah dikriminalisasi,” tandas Ridlwan.
Ia pun mengingatkan agar penegakan hukum tidak menimbulkan ketakutan di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tengah menjalankan tugasnya.
“Kasus ini hanya akan menimbulkan efek jera negatif bagi ASN. Banyak yang nanti akan takut menandatangani atau menjalankan proyek, karena khawatir dikriminalisasi,” pungkasnya. (gal)




































