Wesiana Heris Santy, S.Kep,Ns.,M.Kep – Dosen Prodi Ners  Keperawatan Fakultas Keperawatan dan Kebidanan

SUNTIKAN vaksinasi yang dilakukan secara rutin sebanyak 20 kali sampai usia dua tahun, merupakan sumber utama yang menyebabkan terjadinya gangguan rasa nyaman (nyeri) pada bayi dan anak (Rusmil, 2010).

Rasa sakit tersebut adalah sumber penderitaan bagi anak-anak dan juga orang tua mereka. Jika tidak diatasi, rasa sakit ini dapat menyebabkan kegelisahan preprosedural, ketakutan  dan perilaku penghindaran terhadap perawatan kesehatan, termasuk jadwal vaksinasi berikutnya.

Ketakutan pada masa anak anak akan berdampak pada ketidakpatuhan terhadap perawatan kesehatan dimasa depan yang diperkirakan mencapai  25% pada orang dewasa  dan sekitar 10 % nya takut akan jarum (Taddio, 2010).

Masalah lain adalah  penanganan terhadap nyeri belum memadai, dilaporkan bahwa 35 % sampai 55% perawat meremehkan nyeri pasien dan 64% pasien tidak menerima obat sebelum atau selama prosedur yang menyakitkan di unit perawatan intensif (Sessler, 2008).

Dari pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, 3 bayi yang dilakukan tindakan invasif pada saat dilakukan pengambilan darah di RS. Dr Soetomo yang dilakukan perawat dan ibu hanya memfiksasi bayi saja, tidak ada upaya untuk memberi kenyamanan pada saat prosedur dilakukan.

Karena itu perawat perlu memperhatikan kenyamanan pasien dengan mengembangkan penatalaksanaan intervensi nonfarmakologi. Terapi non farmakologis direkomendasikan untuk mengatasi nyeri ringan karena efeknya jangka pendek dengan toleransi yang baik (Kashaninia, 2008). Pemberian ASI merupakan salah satu manajemen nonfarmakologi  (Haines, 2008).

Pemberian ASI mampu menurunkan respon nyeri pada bayi karena ASI mengandung laktosa 7 % dan hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut sebagai upaya menurunkan nyeri pada bayi (Scholin,2003).  Metode lain untuk menurunkan nyeri adalah effleurage atau usapan lembut dan berirama pada kaki.

Effleurage  pada kaki dapat membuat bayi merasa nyaman (Jain, 2009). Namun sampai saat ini pengaruh pemberian kombinasi  ASI dan effleurage pada kaki terhadap perbedaan respon nyeri pada bayi yang dilakukan imunisasi belum jelas .

Menurut SUPPORT (Study to Understand Prognoses and Preferences for Outcomes and Risks of Treatment), pada pasien yang di rawat di unit perawatan intensif hampir 50% pasien melaporkan nyeri, 15% dilaporkan sedang atau sangat parah rasa sakit yang terjadi setidaknya setengah dari waktu, dan hampir 15% tidak puas dengan kontrol nyeri mereka.

Dari studi pendahuluan yang dilakukan peneliti sebelumya yang menggunakan  RIPS (Riley Infant Pain Scale) untuk mengukur respon nyeri pada perilaku bayi yang meliputi  face, body movement, sleep, verbal, concolability.

Dari 10 bayi yang dinilai respon nyerinya terhadap suntikan vaksinasi, didapatkan tujuh bayi memiliki skala nyeri 8, dua bayi yang memiliki skala nyeri 5 dan 7, dan hanya satu bayi yang tidak merasakan nyeri (Intan, 2009). Berbagai literatur tentang respon terhadap noxious stimuli mengindikasikan bahwa tidak diragukan lagi bayi dan anak mengalami nyeri (Moore, 2001).

Bayi sebagai individu yang muda juga telah mampu merasakan nyeri, karena pada usia 26 minggu system saraf sentral telah memiliki anatomi dan kemampuan neurokimia untuk mempersepsikan nyeri  (Kashaninia, 2008).

Sebagai dasar dari mekanisme nyeri adalah adanya  penghantar nyeri, yang bekerja menerima impuls dari perifer, serta menghantarkannya ke susunan saraf pusat sehingga dapat diterjemahkan sebagai sebuah persepsi yang sensasi yang tidak menyenangkan atau mengancam.

Proses ini menyangkut empat kejadian yaitu transduksi, transmisi, persepsi dan modulasi, yang melibatkan berbagai macam struktur baik saraf sensoris perifer, medula spinalis serta struktur yang lebih tinggi di batang otak dan korteks  (Prasetyo, 2010). Proses yang kompleks ini melibatkan berbagai mediator kimia dan reseptornya.

Demikian pula dengan proses blokade nyeri yang berkaitan dengan usaha mengontrol atau mereduksi nyeri. Blokade ini dapat terjadi pada setiap tingkatan proses dari mekanisme terjadinya nyeri, baik di perifer, tingkat spinal ataupun supraspinal.

Blokade nyeri ini dapat merupakan hasil dari intervensi secara farmakologis ataupun non-farmakologis. Nyeri akibat imunisasi  dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan stres pada anak. Rasa nyaman yang diterima bayi sangat penting guna perkembangan rasa percaya, yang merupakan salah satu unsur tumbuh kembang pada usia bayi.

Perkembangan rasa percaya meliputi rasa percaya pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitarnya. Dalam jangka panjang keadaan ini akan megakibatkan gangguan interpersonal dan menarik diri, sehingga akan menghambat anak dalam mengembangkan rasa otonomi, dan anak akan mengalami stres yang ditunjukkan dengan perilaku yang sangat bergantung pada orang lain (Potter, 2005).

 Beberapa manajemen nyeri non farmakologi yang sudah banyak diteliti antara lain pemberian ASI, pemberian oral sukrosa, memeluk bayinya, pengalihan perhatian, effleurage kaki di dekat bekas suntikan (Haines, 2008). Dalam reviw jurnal CMAJ oleh  Tadio, (2010) mengatakan bahwa dengan pemberian ASI terjadi penurunan respon nyeri  pada 478 bayi yang diberikan imunisasi karena dengan pemberian ASI bayi tetap dalam  pelukan ibunya sehingga ada kontak antar kulit ibu dan bayi ,  adanya rasa manis dari ASI dan adanya sensasi  sucking reflec. Asupan ASI juga mampu memberikan efek analgetik sampai usia enam bulan dan pada anak dengan usia yang lebih tua dengan pemberian sukrosa dan lidokaim prilokain dapat menurunkan nyeri vaksinasi (Dilli, 2008).

Di mana ASI dapat menimbulkan stimulus persepsi sensori dengan adanya rasa manis dari laktosa. Stimulus ini akan dikirim ke korteks sesebri yang kemudian akan diteruskan ke hypothalamus. Hypothalamus akan mensekresi CRF dimana CRF akan mengaktifkan hipofisis untuk mensekresi opiate endogen yaitu β-endorphin dan enkefalin .

Kedua peptide opiate ini berfungsi sebagai pembunuh nyeru yang poten (pain killer) sehingga respon nyeri akan berkurang. Penelitian yang dilakukan oleh Carbajal, (2003) menemukan bahwa ASI cukup efektif dalam menurunkan respon nyeri selama prosedur invasif minor pada bayi neonatus cukup bulan. Neuspiel (2003), menyatakan pemberian ASI sama efektifnya dengan pemberian sweet solution dan pacifier.

Pemberian effleurage pada kaki juga efektif terhadap penurunan respon nyeri, karena effleurage lembut pada kaki dapat menghambat transmisi nyeri dengan menutup blockade nyeri atau dengan mengaktifkan jalur opioid endogen sehingga menurunkan respon nyeri  (Jain, 2006). Efektifitas pemberian ASI dan effleurage kaki yang dapat menurunkan   nyeri, maka peneliti ingin menggabungkan kedua intervensi tersebut sehingga penurunan nyeri diharapkan lebih optimal.

Caranya :

Pemberian ASI

1)    Ibu memberikan ASI kepada bayi 1 menit sebelum prosedur dan dihentikan pada saat imunisasi dilakukan.

2)  Lengan kanan ibu menopang punggung bayi, posisi leher bayi tegak lurus dengan bahunya, putting & areola masuk semua dalam mulut bayi (asosiasi ibu menyusui, 2007)

  1. Effleurage kaki

1)  Usapan lembut  ibu dari pergelangan kaki sampai paha yang dilakukan 1 menit sebelum dan sesudah jarum imunisasi dicabut sampai bayi tenang.

2)  Ibu menggunakan  telapak tangan sebelah kanan untuk melakukan usapan dengan lembut  dari pergelangan kaki sampai paha bayi (Becker, 2007). *

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry