Arvin Widiawan (tiga kanan) memberikan buku yang ditulisnya Epilepsi : Kawan atau Lawan kepada CEO National Hospital Ang Hoy Tiong (tiga dari kiri) saat Peringatan Hari Epilepsi, Rabu (29/3/2023). DUTA/ist

SURABAYA | duta.co – Epilepsi atau ayan sampai saat ini masih distigma negatif di masyarakat. Padahal penyakit ini bisa disembuhkan dan penderita bisa hidup normal seperti orang-orang lainnya jika ditangani dengan benar dan didukung orang sekitar.

Itulah yang dirasakan Alvin Widiawan. Sebagai penderita epilepsi,  Alvin menuliskan pengalaman hidupnya dalam sebuah buku berjudul Epilepsi : Kawan atau Lawan. Buku itu diperkenalkan di ajang Ngabuburit Memperingati Hari Epilepsi di National Hospital, Rabu (29/3/2023).

Dalam buku itu, Arvin ingin mengajak orang-orang agar mengubah stigma negatif tentang epilepsi.
“Semua orang akan beranggapan epilepsi itu sebagai lawan karena diderita jangka panjang, bertahun-tahun. Jika dianggap lawan maka orang dengan epilepsi (ODE) akan down, kecewa, sedih dan sebagainya, bahkan bisa depresi. Namun jadikan epilepsi sebagai kawan karena dengan begitu maka penderita akan berdamai dengan keadaannya,” ujar Arvin.

Arvin mengaku pernah merasakan kondisi down itu bahkan mencapai titik depresi. Hal itu karena dia dijauhi teman-teman dekatnya setelah mengetahui dia sering mengalami kejang dengan tiba-tiba. Mulai dari sekolah dasar hingga di bangku kuliah.

“Saya kejang pertama kali pada 6 Juni 2006 dan berani menjalani bedah otak pada 13 Desember 2021,” kata pria 28 tahun itu.

Selama 15 tahun Arvin sebagai ODE. Banyak hal yang dialaminya. Semua pengalaman buruk itu membuatnya tersiksa. “Jangan jauhi ODE. Karena penyakit ini bisa disembuhkan,” katanya.

Terbukti, Arvin bisa berkarya. Kini dia bekerja sebagai dosen manajemen perhotelan. “Tidak mudah bagi saya untuk menerima keadaan ini. Butuh waktu sampai akhirnya saya menerima itu semua,” tukasnya.

Dokter Ahli Bedah Syaraf National Hospital, dr Dr Heri Subianto, SpBS mengatakan epilepsi yang dialami Arvin adalah epilepsi temporal. “Ada kelainan perkembangan sel otak. Dan setelah dioperasi sudah tidak pernah kejang lagi,” katanya.

Dokter Heri mengaku ada banyak penyebab epilepsi. Ada karena kelainan di otak dan sebagainya. Penyakit ini menjadi penyakit nomer tiga terbanyak di bidang syaraf. Jumlahnya bisa setengah hingga satu persen dari populasi. “Di Surabaya bisa mencapai 35 ribu. Ini sangat besar dan mereka cenderung menutup diri karena stigma negatif itu,” jelasnya.

Gejala yang utama dari penderita epilepsi adalah kejang. Namun ada gejala lain yang juga perlu diwaspadai seperti merasa blank, tidak nyaman di perut, mata berputar-putar dan muntah-muntah. “Ada juga yang gejalanya kesemutan, malam suka ngompol dan sebagainya,” tuturnya.

Di Hari Epilepsi ini, dr Heri mengajak masyarakat untuk lebih membuka wawasan agar stigma negatif tentang epilepsi bisa diubah. “Karena epilepsi itu bisa ditangani. Dan di National Hospital memiliki alat yang bisa mendeteksi dan menangani epilepsi dengan baik,” jelasnya. end

Bagaimana Reaksi Anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry