SAKSI: Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait saat menjadi saksi ahli di PN Surabya. (Duta.co/Henoch Kurniawan)
SAKSI: Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait saat menjadi saksi ahli di PN Surabya. (Duta.co/Henoch Kurniawan)

SURABAYA | duta.co – Sidang kasus dugaan kekerasan yang dituduhkan kepada terdakwa Hokky Handoyo kembali berlanjut di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kamis (9/2). Sidang kali ini cukup menarik dengan kehadiran Ketua Komnas Perlindungan Anak (PA) Aris Merdeka Sirait sebagai saksi ahli.

Sidang yang di Ketuai Majelis Hakim Isjuaedi ini mengagendakan keterangan saksi ahli atas dugaan penganiayan yang dilakukan Hokky terhadap dua anaknya, yakni Richard hokky dan Jessica Hokky. Dalam kesaksiannya, Arist mengatakan, kekerasan pada anak bisa dikatakan jika kejadian tersebut dilakukan secara berulang-ulang dan menimbulkan trauma maupaun luka pada anak.

Namun, dalam kasus ini Arist melihat dugaan penganiayaan yang dilakukan terdakwa Hokky terhadap kedua anaknya bukan masuk dalam kekerasan terhadap anak. Merujuk pada Pasal 80 ayat (1) UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, kategori kekerasan pada anak yakni apabila perlakuan tersebut dilakukan secara berkali-kali hingga menimbulkan luka badan dan psikis.

“Misalnya, orang tua bertanya kepada anaknya karena pulang jam 2 malam, tapi si anak menjawab dengan nada dan kata-kata kasar sehingga secara spontan orang tua menamparnya, itu bukan kategori Pasal 80 ayat 1. Hal itu merupakan tindakan nyata dari peran orang tua dan tanggungjawab orang tua kepada anaknya. Kecuali penamparan tersebut dilakukan berulang kali kalau si anak pulang malam, nah itu baru dinamakan kekerasan terhadap anak,” kata Arist dihadapan Hakim Isjuaedi.

Ennik Indraningrum dan Iwan Kuswardi selaku pengacara Hokky mengatakan, apabila orang tua menampar anak dengan tujuan mendidik, apakah termasuk dalam kekerasan terhadap anak ? Arist menjawab, apabila perbuatan itu dilakukan berulang-ulang dengan sengaja dan berlangsung lama, maka itu masuk kekerasan terhadap anak.

“Kalau konteksnya menampar secara spontan karena anak menjawab pertanyaan dengan kasar, maka itu tidak termasuk dalam Pasal 80 ayat (1),” jelas Arist.

Bahkan, lanjut Arist, meski si anak dalam keadaan orang tuanya berpisah, tapi tanggungjawab pengasuhan tetap ada kepada kedua orang tuanya. Jadi, alasan perceraian tidak bisa digunakan sebagai dasar kalau orang tua menampar anak berati ada dendam dengan perpisahan dalam rumah tangganya. “Tidak ada satu pun orang tua yang ingin menciderai anak,” ungkapnya.

Sementara itu, Hakim Isjuaedi bertanya, apakah dalam kekerasan harus dilihat dar latar belakang apakah itu dilakukan berkali-kali dan apabila dilakukan secara spontanitas, apakah masuk dalam Pasal 80 ayat (1)?

“Kalau pun orang tua menampar secara spontan, meskipun memar tapi tidak mengganggu aktivitas sehari-hari anak, maka tidak masuk unsur Pasal 80, melainkan bersifat mendidik,” ungkap Arist.

Mendengar penjelasan Arist, Hakim Isjuaedi kembali bertanya, bagaimana menyelesaikan kasus keluarga ini tanpa melalui ketukan Hakim? “Dalam konteks perlindungan anak, seorang anak merupakan amanah dan titipan Tuhan. Maka rekom saya yakni menyatuhkan kembali keluarga ini menjadi utuh. Jika diambil putusan cerai bukan melalui putusan Hakim, maka saya pribadi berpesan bagi kedua orang tua untuk tidak mengeksploitasi anak, melainkan tetap menjaga kekeluargaan,” pungkas Arist. eno

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry