Oleh: Suparto Wijoyo*

PEKAN ini saya menangkap  seberkas cahaya yang berpendar dari ruang-ruang Pemda. Senyum yang mengembang berbarengan dengan paparan mengenai inovasi yang ditawarkan untuk melakukan reformasi birokrasi dari para peserta  Diklat Kepemimpinan, amatlah membahagiakan. Esok akan hadir Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memahami kebutuhan zaman now melalui leadership yang berintegritas, jujur, kompeten, serta profesional. Karakter yang dibangun adalah kapasitas yang andal dengan perilaku terhormat. Mereka berkomitmen menempuh jalan  yang bermartabat sambil mengacungkan janji tidak mengingkari sumpah jabatan yang diucapkan dengan menyebut nama Illahi.

Betapa “sinar terang” dari batin para ASN yang merepresentasikan gelora pegawai negeri Indonesia yang berikrar mewujudkan NKRI bebas KKN  itu, sontak membuat saya tersentak bersamanya seperkilatan  hadirnya Paslon Pilkada yang dijadikan tersangka korupsi oleh KPK. Kejadian  penyelenggara negara terlibat korupsi sudah cukup banyak diberitakan secara vulgar,  apalagi yang terkena   OTT KPK. Kini semakin riuh dibisikkan adanya dua calon wali kota di Jawa Timur yang tengah berlaga terkena Tupoksi KPK, dan publik mengerti siapa dia meski Timses selalu berkata “jagonya bersih dari korupsi”.

Mengapa  “suguhan rasuah” tidak kunjung usai memungkasi tumindak   ngentit uang negara? Kabarnya KPK pun bertekad tak henti  menayangkan aktor koruptor  yang pentas di Pilkada. Bahkan ada indikasi puluhan persen Paslon  Pilkada adalah para koruptor. Hal ini membawa perenungan kepada khalayak tentang kelanjutan “mekanisme demokrasi”  ini.  Keabsahan Pilkada secara ideologis layak dipertanyakan karena mengabaikan arti penting “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyaratan/perwakilan”. Nilai musyawarah dalam  Pancasila “ditumbangkan” dengan agenda pemilihan yang mengkristalkan persekongkolan dengan memimjam tangan untuk “meneken rekomendasi” para petualang. Warta yang terbaca adalah korupsi “memberkat dana umat”.

Hadirnya Paslon koruptor ini  merupakan fenomena yang amat “brutal” dalam bernegara. Inilah wajah Paslon  yang  menginstitusi dalam pesta besar “madu beracun” yang bernama korupsi. Kisah “kesedihan rakyat dalam Pilkada sekarang ini  nyaris serupa cerita hidup yang dituang David Albahari, cerpenis asal Serbia, dalam karyanya Trash is Better, Cinta Semanis Racun (2016). Perwujudan kasmaran harta yang mematikan. Apa yang dapat dibanggakan dari Pilkada yang dilumuri  korupsi?  Pemilih sungguh  terhenyak  tidak mampu beranjak. Rasa geram  sebagai warga negara sejatinya telah menimbulkan kekesalan paripurna.

Langkah KPK membongkar korupsi Paslon telah menggelegarkan dentuman besar, karena aktornya “orang-orang top” yang mencoba menapaki tangga politik. Saya menjadi teringat  ungkapan  Arnold J Heidenheimer dan Michael Johnston dalam bukunya Political Corruption (2009) yang menganalisis kedudukan finansial partai politik, sistem kampanye dan kompetisi politik, acap menggiring ke lahan kekuasaan  yang bernama korupsi. Terdapat kelindan  seperti disindir oleh Pramoedya Ananta Toer sejak 1957 melalui novel Korupsi, bahwa korupsi telah bergerak dari urusan moral individual menjadi masalah sosial politik  yang membudaya.

Realitas yang amat tragis hingga budaya korupsi itu harus “diamputasi”.   Proses hukum yang dilakukan  KPK memberikan pelajaran besar kepada bangsa ini untuk melawan budaya korupsi.  Referensi  akademik memberikan pekabaran yang sangat terang atas ajaran Plato (427-347 SM) yang merekomendasikan agar kekuasaan polis (negara kota) dipegang  seorang filosof. Philoshoper memiliki cakrawala pandang yang komprehensif dan diniscayakan sanggup menampung segala beban rakyat.   Pemimpin yang filosofis diyakini mengerti dan mengamalkan falsafah negaranya.

Untuk itulah, tidaklah elok dalam negara Pancasila yang menormakan sumpah pejabatnya “dengan menyebut nama Allah”, ternyata ada tindakan korupsi. Negara yang ber-Pancasila pantang menoleransi korupsi.  Plato menambahkan  pula dalam buku dialogis klasiknya, Republik, bahwa kepemimpinan orang yang jujur jauh lebih menguntungkan. Jujur dan berintegritas adalah watak dasar pemimpin yang tidak akan tergoda gemerlap korupsi. Teladan utama hal ini adalah Kanjeng Nabi Muhammad saw yang sejak mulanya beratribut: siddiq – jujur.

Negara yang bernorma dasar  (staatsfundamental norm) Pancasila tidaklah pantas  dipameri tingkah pola korupsi yang berkelanjutan. Dalam Tap MPR No VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa telah diamanatkan   Etika Politik dan Pemerintahan yang mengandung misi kepada setiap pejabat dan elite politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.  Betapa agungnya  orientasi kolektif bernegara tersebut.   Apabila sekarang, akhlak semakin terdegradasi dengan korupsi,  mestinya Pilkada  inilah penyelia ruang  agar rakyat mendapatkan  pemimpin bersih.

Khusus untuk para pejalan korupsi,  terdapat  renungan yang dinarasikan dalam  Hikayat Arabia Abad Pertengahan (Tales of The Marverios)  yang serupa legenda 1001 Malam (The Arabian Nights) seperti diterjemahkan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Inggris oleh Malcolm C Lyons (2014), berbunyi: “Pada mayat yang terbungkus, tergantung tablet dengan tulisan: Akulah Syaddad yang Agung. Aku menaklukkan seribu kota; seribu gajah putih dikumpulkan untukku; aku hidup selama seribu tahun dan kerajaanku menjangkau timur dan barat. Tetapi ketika kematian datang kepadaku, tak satu pun dari semua yang aku kumpulkan berfaedah bagiku. Engkau yang menyaksikanku dapat mengambil pelajaran: waktu tak bisa dipercaya”.

Tidak yakinkah kalau korupsi itu  jalan sengsara? Mengikuti Gao Xingjian, sastrawan kelahiran Ganzhou, 1940 dan pemenang Hadiah Nobel Sastra 2000, dalam cerpennya One Man’s Bible, saya pun ikut bertanya: Apa lagi yang mesti dicari? Sudahlah.

* Kolomnis dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry