Keterangan foto /www.antaranews.com
“Meskipun wacana MLB semakin sayup suaranya, apalagi memang belum ada preseden MLB semacam ini,  tidak ada salahnya jika PBNU mengambil pelajaran berharga dari kritik ini.”
Oleh Muzakki Cholis*

WACANA Muktamar Luar Biasa (MLB) Nahdlatul Ulama (NU) beberapa waktu lalu sempat mengemuka dan menjadi trending topik di jagad perpolitikan tanah air. Beberapa unsur kiai muda terlibat aktif dalam kampanye MLB tersebut, sebagai wujud kekecewaan atas kepemimpinan PBNU saat ini.

Dari catatan wacana yang dilontarkan ke publik,  semangat untuk penggantian pimpinan PBNU melalu MLB ini dilatari kekecewaan terhadap pola kepemimpinan PBNU dibawah komando Gus Yahya sebagai ketua umum yang dinilai cukup arogan dalam menjalankan organisasi.

Di bawah kepemimpinannya tercatat banyak pemecatan dilakukan terhadap pengurus NU di wilayah dan cabang. Yang paling fenomenal tentu pemecatan Ketua PWNU Jawa Timur KH Marzuki Mustamar. Saat itu ditengarai sang ketua dianggap condong ke salah satu kandidat capres 2024. Kini PWNU Jawa Timur telah memiliki pemimpin baru, dari Tebuireng Jombang, Gus Kikin.

Memang, suara-suara bernada kekecewaan terdengar dari berbagai pengurus wilayah dan cabang NU. Catatan paling kritis adalah soal keberpihakan PBNU terhadap semua kebijakan Presiden Jokowi saat itu. Seolah tanpa reserve, NU tampil bagaikan instrumen kekuasaan Jokowi yang sangat patuh. NU dibawah nahkoda Gus Yahya telah menjelma menjadi fakta politik yang tidak memiliki kemandirian sikap sebagai kekuatan civil society.

Gus Yahya sering mengaku sebagai kader Gus Dur, padahal Gus Dur saat itu berhasil memposisikan diri sebagai kekuatan mandiri vis a vis pemerintahan Suharto yang otoriter. Sebagaimana kakek beliau Mbah Kiai Hasyim Asy’ari, Gus Dur menempatkan NU sebagai faktor politik yang mempengaruhi proses dan peta kekuatan politik.

Saking berhadapannya (waktu itu), banyak kiai yang cukup ngeri dengan sikap berbahaya, vivere pericoloso ala Gus Dur. Tapi sang kiai sungguh maestro sejati, ia berhasil membawa kapal besar NU menaklukkan ombak besar rejim Orde Baru.

Saat itu Gus Dur dan PBNU telah menjelma menjadi simbol perlawanan civil society, bahkan mendirikan Forum Demokrasi yang lalu menjadi musuh utama rejim Orde Baru. Namun secara pribadi hubungan Gus Dur dan Pak Harto cukup baik, bahkan ketika Gus Dur menjadi Presiden beliau menyambangi rumah Pak Harto sebagai sesama negarawan.

Namun apakah semangat serupa ditunjukkan oleh Gus Yahya yang sering menyebut sebagai kader Gus Dur? Mengingat sikapnya terhadap pemerintah Jokowi saat masih menjabat membuat banyak pihak kecewa terhadap NU.

Beberapa kasus ketika masyarakat sipil berhadapan dengan kepentingan oligarki kekuasaan, PBNU alih-alih mengambil teladan Gus Dur, justru pasang badan untuk rejim Jokowi yang makin kesini terbukti kebijakannya banyak merugikan negara.

Lalu apa yang diteladani Gus Yahya dari Gus Dur selain hanya klaim retorika semata? Klaim glorifikasi dari saat menjelang muktamar Lampung hingga saat ini. Apalagi sikap yang kaku dalam berorganisasi sangat kontras dengan Gus Dur yang sangat santai dan akomodatif. Pun, kekuatan yang digunakan untuk membangun infrastruktur NU di bawah melalui Kementerian Lapangan Banteng semakin hari semakin berkurang kekuatannya sejak sang adik tidak lagi menjadi menteri Agama.

Saya sendiri bingung di sisi apa Gus Yahya meneladani Gus Dur. Ya keberpihakan politiknya, gaya memimpin organisasi, gaya komunikasi, dan lainnya yang seakan bumi dan langit.

Meskipun wacana MLB semakin sayup suaranya, apalagi memang belum ada preseden MLB semacam ini dalam sejarah jatuh bangunnya NU,  tidak ada salahnya jika PBNU mengambil pelajaran berharga, menjadikan fenomena ini sebagai sebuah otokritik membangun, dan tentunya agar mampu memperbaiki kekurangan yang banyak dikeluhkan di akar rumput NU. Ketua umum PBNU harus semakin membumi, bukan melulu bicara peradaban namun kedalam justru kedodoran.

Salam.

*Muzakki Cholis adalah aktivis NU DKI Jakarta

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry