SURABAYA | duta.co – Belakangan banyak orang bertanya, mengapa kita menggelar maulid (memperingati kelahiran nabi)? Mengapa tidak memperingati (haul) wafat Kanjeng Nabi, seperti haul para kiai?

“Saya tidak paham, mengapa kalau Kanjeng Nabi maulidnya yang diperingati, sementara kiai haulnya yang dikenang,” demikian pertanyaan anhud@ yang sampai ke redaksi duta.co, Kamis (30/1/2017).

Tidak semua paham, memang. Ada baiknya kita unggah kembali jawaban Maulana Habib Luthfi bin Yahya dalam acara memperingati Maulid Nabi saw. dan Haul KH Syafi’i Abdul Majid Pringlangu Pekalongan. Saat itu, Habib Luthfi menjelaskan, bedanya Haul dengan Maulid adalah, jika Maulid itu yang dimauludi awalnya baik, terus baik, sampai akhirnya pun baik. Dan itu hanya Kanjeng Nabi Muhammad saw.

Sementara, kalau Haul, yang dihauli itu awalnya belum tentu baik, adakalanya orang itu tidak baik diawalnya, tapi taubatnya diterima sehingga diangkat derajatnya oleh Allah swt. ”Orang seperti ini bisa juga menjadi pelajaran bagi yang hidup,” tegasnya.

Masih menurut Habib Luthfi, Haul adalah peluang yang luar biasa, menunjukkan bahwa pintu taubat itu tidak pernah tertutup. Merupakan fadhal Allah yang tak bisa ditebak-tebak. Contohnya di jaman dulu, ada Syaikh Malik bin Dinar, menjadi sulthanul arifin padahal dahulunya orang yang tidak baik. Di Jawa ada Sunan Kalijaga, setengah riwayat mengatakan beliau awalnya orang yang tidak baik. Tapi akhirnya menjadi orang yang luar biasa.

Tugasnya para wali saat di dunianya menjaga (nyangga) dunia, maka di dalam kuburnya pun masih bertugas hal yang sama. “Sedikitnya yang saya hafal ada 1.532 auliya (para wali Allah) yang dikubur di tanah Jawa,” terang Habib Luthfi bin Yahya.

Menghauli bukan sekadar menghauli seorang tokoh atau kiai atau wali tertentu. Tapi harus jelas siapa yang dihauli, tahu betul riwayat orang yang dihauli. Jangan sampai terjadi ‘mbah-mbuh’ (ungkapan untuk orang yang tidak tahu sejarah), kata Habib Luthfi yang disambut tawa hadirin.

Pentingnya menuliskan dan menjaga sejarah, sebagaimana Nabi Saw. singgung dalam sabdanya: “Mengingat orang-orang shaleh menjadi sebab turunnya rahmat Allah.” Apalagi jika yang disebut-sebut adalah para auliya, wali Allah swt. Dan jika ditarik ke atas lagi adalah Nabi Muhammad saw, sayyidul anbiya wal mursalin, nabinya para nabi dan rasulnya para rasul.

Bayangkan, Nabi saw sejak kecilnya sudah dijadikan yatim oleh Allah swt. Jangan sampai ketika mendengar kata ‘yatim’ seolah-olah orang yang patut dikasihani. Nabi saw tidak dididik seperti itu. Kedua orangtua Nabi saw diwafatkan sebelum balighnya bukan dalam rangka menyakiti beliau saw. Sebab, Nabi saat itu belum dibi’tsah (diutus sebagai nabi dan rasul). Bagaimana mungkin Sayyidatina Aminah dan Sayyid Abdullah akan bersyahadat pada anaknya sendiri yang belum dibi’tsah karena masih anak-anak, belum ada tuntunan dan caranya.

Dan bukan pula untuk menjelekkan, merendahkan dan menyakiti dengan mengatakan kedua orangtua Nabi saw wafat belum beriman.

Kalau ada yang beranggapan begitu, ini murni masalah politik yang terjadi karena ulah oknum-oknum pada jaman Bani Umayyah dan Bani Abbas. Lihat dalam kitab Asna al-Mathalib karya Mufti Mekkah Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, gurunya Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alattas, Hadhratus Syaikh KH M Hasyim Asy’ari, Mufti Betawi Habib Utsman bin Aqil hin Yahya, Kiai Mahfudz at-Turmusi dan banyak lagi para ulama lainnya dari Indonesia.

Ibu, ayah, kakek dan paman Nabi saw diwafatkan oleh Allah karena agar Nabi saw dididik langsung oleh Allah swt. Hal demikian untuk mengangkat derajat Nabi saw.

Setelah Nabi Saw. melakukan hijrah ke Madinah jumlah pengikutnya bertambah banyak. Saat memasuki Madinah Nabi saw. disambut dengan thala’al badru, bukan pedang untuk balas dendam. Kemudian Nabi saw menjawabnya dengan intelektualitas, yakni membangun perekonomian, menyatukan dan merekatkan masyarakat yang beragam, dengan aman dan sejahtera.

Setelah peristiwa hijrah, saatnya Nabi saw beserta para sahabat memasuki Mekkah, dikenal dengan peristiwa Fathu Makkah. Waktu itu ada salah seorang sahabat yang mengatakan, “Saatnya balas dendam!” sembari mengangkat pedangnya.

Dijawab oleh Nabi saw, “Kita masuk Mekkah dalam keadaan aman.” Lalu Nabi saw berpidato, diantaranya menyampaikan siapa yang masuk ke Baitul Haram maka dijamin keamanannya dan siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan –padahal waktu itu belum masuk Islam – dijamin keamanannya. Inilah akhlak nabi Muhammad saw. (mky,ibjmart.c)

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry