Oleh Aguk Irawan MN.
POLITIK adalah dunia intrik-kekuasaan, apapun bisa dihalalkan. “Ketika seseorang masuk dunia politik jika ia tak bisa membawa diri, maka sepenuhnya ia masuk pada lorong kebebalan dan nafsu”, demikian tulis Vince Cable dalam buku How To Be a Politician (2022).
Vince terkenal sebagai pemimpin partai politik Demokrat Liberal 2017-2019. Kenyang pengalaman di parlemen dan pernah masuk kabinet PM Inggris David Cameron sebagai Menteri Perdagangan (Secretary of State for Business and Trade).
Meski dalam doktrin agama (baca fiqih), politik adalah sarana, bahkan Imam Ghazali berpendapat bahwa politik itu saudara kembar agama (tau-amani mitslu akhawaini waladan min bathni wakhidin). Memang bagi Al-Ghazali, Al-Mawardi, Al-Juwaini, Ibnu Qudamah dan At-Thurthusi dan mama-nama lainnya dalam fiqih turosnya, berpolitik itu keniscayaan.
Karena menurut mereka, agama itu berisi struktur yang direkatkan oleh doktrin. Maka agama juga butuh batu-sangga yang menopang dan mempertautkan bagian-bagian bangunan itu. Maka batu-sangga itu tidak lain adalah politik. Meski demikian, tak sedikit sedikit yang mengatakan, bahwa bahwa politik itu kotor. Disebut kotor karena orang-orang di dunia politik yang telahnya membuatnya kotor.
John F Kennedy Presiden Amerika Serikat pernah berkata, “jika politik itu kotor, maka puisilah yang membersihkannya!” dan almarhum Mas Eman Hermawan dalam buku antologo puisinya “Kitab Putih Politisi” ini penting dimaknai sebagai bagian yang ikut membersihkannya.
Karena dalam karya-karyanya ini beliau menghadirkan perlawanan simbolis dan naratif- terhadap situasi politik, terutama terkait relasi rakyat, kekuasaan dan kemaslahatan yang masih sering absurd, setidaknya dari sudut pandang dirinya sendiri sebagai politisi.
“Eman istirahatlah sejenak dari menakut-nakuti diri sendiri saatnya istirah memburu malam
yang gelap seperti di rahim sang Ibu.” Jakarta, 2009-2008.
Demikian suatu hari Mas Eman pernah disergap oleh kegelisahannya saat menghawatirkan bangsa yang amat dicintainya akan berkeping dan menjadi negara kecil, seperti yang terjadi pada sejarah negara Unisovyet, ia tak kuat membayangkan kalau-kalau ada pembangkan rakyat sipil dan mereka tak sudih lagi pada negera (pemerintah)? Sehingga semuanya terpuruk dan ia butuh istirah sebagai “ekspresi” protes terhadap berbagai bentuk penindasan.
Dalam puisi-puisi Antlogon ini Mas Eman sayup-sayup berusaha menyampaikan bahwa demokrasi yang sedang berjalan, bahkan hingga saat ini– bisa dimaknai bukan lagi sebagai ekspresi penguatan civil society, melainkan berjalan ke arah jurang yang amat suram. Karena kendali para kapitalis dan oligorki. Hal ini terbaca jelas dalam sajak Negeri Sirkus 1, II dan III.
“Untunglah kita hidup di negeri sirkus. selama pertunjukkan tetap berlangsung dan nasi sebakul tetap mengepul tak akan ada yang merebut kursi yang coba kita miliki.” Tulisnya diujun sajaknya, Sajak Sirkus I.
Kita tahu sirkua dalah akrobat tingkat tinggi. Ia bermain semata demi menghibur penontonnya. Sirkus ini, siapa lagi yang dituju Mas Eman kalau bukan para politisi? Sebab disana ada kursi yang dijadikan simbol dari kekuasaan, serta kritik pada oligarki yang menerlenakan rakyat dan gerakan civil soceity dengan bantuan “nasi sebakul-nya?” Sungguh pembacaan yang cermat.
Kenapa Mas Eman bisa secermat ini melihat peristiwa politik? Jawabannya, karena selain dirinya sebagai subyek, yaitu seorang politisi PKB, juga seorang pecinta puisi, maka ia terus melatih kepekaan rasa terhadap peristiwa sekitar. Dengan sering menulis puisi berdasarkan peristiwa di sekelilingnya, lambat laun daya tangkapnya smenjadi lebih sensitif dan tajam. Ia tidak serta merta mudah terhanyut perasaan saat melihat sebuah peristiwa karena terlatih untuk berjarak dengan peristiwa tersebut.
Itu sebabnya (puisi) sastra selalu penting, meski sering disepelekan dalam zaman serga digital ini dan Mas Eman mengingatkan kita, bahwa diri kita ini adalah homo fabulans: makhluk bersastra—karena di dalamnya selain ada unsur emosional, juga spiritual, yang membawa hidup menjadi lebih bermakna. Maka ketajaman (dan juga kepekaan) menangkap peristiwa dari sudut pandang aktifis dan politisi seperti Mas Eman inilah sekarang yang harus dilanjutkan.(*)
Bantul, 27 Juli 2024