“Nah, jadi, kalau sekarang ada desakan kuat GP Ansor harus dibubarkan, itu adalah copy paste D.N. Aidit. Saya tidak yakin mereka yang mendesak itu karena benci pada GP Ansor.”

Oleh: Choirul Anam*

BARU kemarin sore, beberapa tokoh Banser dan Ansor tua mendatangi saya dengan sikap sempura, tegak dan hormat.

Setelah saya persilahkan duduk, mereka lalu mengungkapkan  keprihatinan dan kesedihannya melihat tingkah laku Ansor sekarang ini yang, kian menyimpang, dari nilai-nilai dasar perjuangannya.

Puncak kesedihannya, ketika mereka melihat video pembakaran bendera tauhid oleh sejumlah anggota Banser.

“Saya yakin itu pembakar bendera tauhid bukan Banser beneran. Itu pasti Banser palsu, selundupan, orang susupan dan harus diusut tuntas,” kata mantan Komandan Batalyon Banser yang pernah saya bangunkan dari tidur lelapnya di era 90-an.

Memang, ketika saya mulai aktif memimpin GP Ansor Jawa Timur di tahun 1990, sempat membangunkan Banser dari tidurnya hingga mencapai satu devisi, sekitar 120 ribu personel.

Semua tercatat dan terdokmentasi serta terintegrasi dengan Polri dan TNI, terutama dalam bidang pelatihan. Ada saksi hidup yang pasti masih ingat, di antaranya: Pangdam V/Brawijaya Jenderat Haris Sudarno, Jenderal Djaja Suarman, Jenderal Riyamizar Riyacudu.

Bahkan Jenderal Haris pernah bertanya: Berapa jumlah anggota Banser? Saya jawab 120 ribu personel, Jenderal. Beliau pun geleng kepala. Waktu itu saya terinspirasi terbentuknya pasakukan Hizbullah Jawa Timur, di bawah komando Panglima Devisi Kiai Wahib Wahab, yang ikut bertempur habis-habisan dalam perang 10 November 1945 di kota pahlawan.

Karena itu, kawan-kawan Banser dan Ansor tua tadi itu mendesak saya untuk meluruskan langkah GP Ansor dan Banser yang mereka nilai telah melenceng jauh dari khitthah perjuangannya.

Pimpinan Ansor dan NU sekarang ini kemelinthi, mekithik-mekithik, kata mereka. Sukanya berteriak “NKRI harga mati”.  “Malu, malu kita, kok kayaknya paling NKRI sendiri,” kata mereka menggebu lalu saya hibur: tenang…dan sabar, Balanda masih jauuuh.

Bukan cuma mereka yang risih mendengar teriakan “NKRI harga mati”, tapi kawan-kawan Muhammadiyah juga terkekeh-kekeh mendengarnya. Karena, tampak sekali kalau mereka yang teriak-teriak itu tidak mengerti sejarah bangsa.

Coba baca buku-buku sejarah nasional, pasti mereka akan tahu, bahwa tertundanya sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 lantaran ada gugatan kelompok radikal dengan ancaman akan memisahkan diri dari NKRI, jika UUD yang telah disepakati bersama dalam BPUPKI dan akan segera disahkan oleh PPKI itu, tidak dilakukan perubahan.

Akhirnya, tulis buku-buku sejarah, Soekarno meminta Kiai Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah), ditambah Kasman Singodimedjo dan Teuku Muhammad Hasan (Gubernur Sumatera) untuk berunding menyelesaikan gugatan kelompok radikal tersebut demi keutuhan NKRI.

Apa yang terjadi? Dengan sangat cepat diubahlah rumusan Sila Pertama dengan menilangkan tujuh anak kalimat, dan beberapa pasal serta ayat dalam batang tubuh UUD juga mengalami perubahan, antara lain: syarat calon presiden “Orang Indonesia asli dan beragama Islam”, dan beragama Islam-nya dicoret.

Jadi, pelopor penyelamatan keutuhan NKRI itu adalah NU dan Muhammadiyah serta seluruh anggota PPKI. Nah, Ansor jangan merasa paling NKRI, ngisin-ngisini.

Lagi pula, penjaga NKRI itu TNI dan sudah dipersenjatai. Dan untuk mengatur ketertiban, misalnya memperingati hari Santri dengan membawa bendera tauhid, itu domain Polri. Lha kok Banser malah membakar bendera tauhid dengan alasan bendera HTI.

Kalau memang HTI dan Wahabi dianggap membahayakan NKRI, serahkan pada Polri dan TNI. Pimpinan NU dan Ansor jangan melindungi tindakan anaskis. Indonesia negara hukum, jangan mengajari babarisme. Kalau tidak bisa memimpin Ansor dengan baik, lebih baik mundur. Masih banyak kader yang bisa memimpin Banser, agar tidak bikin gaduh terus.

Banser itu dulunya bernama Panser. Muhammad Zainuddin Kayubi (M.Z. Kayubi) yang punya ide mendirikan Panser (Pasukan Ansor Serbaguna). Ketua GP Ansor Blitar yang juga merangkap sebagai Ketua Korda eks- Karesidenan Kediri (meliputi: Kab-Kota Kediri, Kab-Korta Blitar, Kab Trenggalek, Tulungagung dan Nganjuk) ini,  kemudian menggelar Konferensi Korda pada pertengahan tahun 1964.

Ide mendirikan Panser disepakti semua pimpinan Cabang GP Ansor se-wilayah Korda Kediri. Karena, hampir seluruh anggota GP Ansor di wilayah Korda Kediri, sejak tahun 1963 terlibat bentrok dengan aksi sepihak yang dilancarkan PKI dan BTI.

Setiap aksi PKI dan BTI membagi-bagi tanah milik para haji dan kiai serta pejabat setempat, selalu saja digagalkan oleh GP Ansor. Maka dari itu, Ide pendirian Panser langsung disambut dengan gegap gempita oleh pimpinan NU maupun Ansor se-wilayah eks-karesidenan Kediri.

Setelah disepakai, MZ Kayubi kemudian mengutus Sekretaris Korda, M. Fadil untuk konsultasi dengan pihak keamanan, Resort Kepolisian Blitar.

Diceritakan Abdul Wahid Wilis yang ikut membidani lahirnya Banser dan kemudian menjadi komandan di wilayah Kabupaten Trenggalek, bahwa pihak Kepolisian sepakat, tetapi minta agar tidak menggunakan nama “Panser”.

Karena, selain Panser itu kendaraan tempur lapis baja ABRI, juga kata PASUKAN menyerupai Pasukan yang digunakan di lingkungan ABRI (kini TNI). Akhirnya, Kepolisian Blitar sepakat diganti dengan BARISAN, maka jadilah Barisan Ansor Serbaguna, BANSER.

Namun, sebelum pendirian Banser itu dibawa ke Konferensi GP Ansor tingkat Jawa Timur untuk disahkan, ada desakan kuat agar GP Ansor dibubarkan. Desakan ini dipicu oleh tindakan Ansor Korda Kediri pimpinan M.Z. Kayubi yang menggaglkan setiap aksi sepihak PKI/BTI dan diwarnai bentrok fisik.

Dalam suatu Sidang Kabinet, D.N. Aidit Ketua CC.PKI, waktu itu, Menteri Kordinator dan Wakil Ketua MPRS, melaporkan kepada Presiden Soekarno bahwa di Jawa Timur telah terjadi tindakan kontra revolusi dari GP. Ansor. Mereka menghambat pelaksanaan landreform, memusuhi rakyat, memusuhi petani dan buruh tani. Karena itu, D.N. Aidit meminta Soekarno untuk membubarkan GP Ansor. Usulan itu disertai satu bendel laporan tertulis.

Kemudian Presiden Soekarno meminta pendapat Kiai Idham Chalid yang juga ikut dalam sidang kabinet. “Saya jelaskan kepada Presiden, bahwa  yang terjadi di Jawa Timur adalah adanya aksi sepihak PKI/BTI, yang secara tidak sah dengan paksa menduduki dan mengasai tanah hak milik orang lain. Rakyat dan GP Ansor mengadakan perlawanan untuk mempertahankan hak milik. Sebagai Ketua PBNU, saya tidak pernah memerintahkan GP Ansor menampar orang. Tapi kalau Ansor ditampar PKI/BTI, haram hukumnya bagi saya untuk melarang membalasnya. GP Ansor tidak dapat dibubarkan, justru PKI/BTI yang harus dbubarkan karena aksi sepihak adalah perbuatan melawan hukum,” tegas Kiai Idham Cholid seperti dipidatokan pada rapat Akbar NU  di Bitar, awal tahun 1964.

Kesimpulan sidang kabinet, Pimpinan GP Ansor Jawa Timur beserta seluruh pimpinan Cabangnya akan dipanggil ke Jakarta untuk dihadapkan kepada Dr. Soebandrio selaku Kepala BPI (Badan Pusat Intelejen—kini BIN).

Pada April 1964, seluruh pimpinan GP Ansor Jawa Timur di bawah komando Ketua dan Sekretaris (Koen Solehuddin dan Hizbullah Huda), didampingi Ketua dan Sekjen PP GP Ansor (Yahya Ubaid, SH dan HA. Chalid Mawardi) serta KH. Yusuf Hasyim dari PBNU, menghadap Waperdam yang juga Kepala BPI, Dr. Soebandrio.

Diceritakan oleh Abdul Hamid Wilis yang, kala itu, ikut pertemuan, bahwa Dr. Soebandrio sempat mengingatkan GP Ansor, antara lain, begini: ”Di bidang intelijen, GP Ansor kalah dengan PKI. Orang PKI tahu di mana saudara berada sekarang. Bahkan juga tahu di mana KH. Idham Cholid dan tokoh-tokoh lainnya berada. Tapi saudara pasti tidak tahu di mana D.N. Aidit berada sekarang. Jadi, saudara GP Ansor dan PBNU harus mengerti hal ini,” kata Soebandrio menggambarkan secara singkat kehebatan PKI dalam hal mata-mata.

Tapi, M.Z. Kayubi tidak gentar sedikitpun. Ia telah menyiapkan “BUKU PUTIH” mengenai peristiwa bentrokan dengan PKI/BTI di wilayah tugasnya dengan detail dan dilengkapi alat bukti cukup. Sehingga Soebandrio tidak bisa lagi melarang GP Ansor untuk terus bergerak sesuai program yang direncakan bersama. Dan GP Ansor tidak jadi dibubarkan, malah bergerak cepat mendirikan BANSER di seluruh Jawa Timur yang kelak ikut menumpas G 30 S/PKI.

Nah, jadi, kalau sekarang ada desakan kuat GP Ansor harus dibubarkan, itu adalah copy paste D.N. Aidit. Saya tidak yakin mereka yang mendesak itu karena benci pada GP Ansor. Tapi mereka hanya merasa tersinggung oleh oknum berseragam Banser yang membakar bendera tauhid, yang pastinya tauhid itu juga melekat rapat di hati Gp Ansor.

Di sinilah perlunya syarat pemimpin GP Ansor cerdas dan mengerti sejarah perjuangannya. Jangan mekithik seperti jangkrik yang mudah diadu anak-anak kecil.

Kanjeng Nabi dawuh: matsalul mukmin, kamatsalin nahlah…tidak pernah ada matsalul mukmin kamatsalil jangkrik. Kalau masih sulit diingatkan, Ansor dan Banser tua Jawa Timur masih sanggup turun membenahinya. (*)

*Drs H Choirul Anam adalah Mantan Ketua GP Ansor Jawa Timur dan Penulis Buku ‘Gerak Langkah Pemuda Ansor’ – Sebuah Percikan Sejarah Kelahiran-1990.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry