Dr H Achmad Muhibbin Zuhri (kiri) dan Yusril Ihza Mahendra (FT/IST)

SURABAYA | duta.co – Presiden Joko Widodo menegaskan tidak ada tawar-menawar dengan siapapun yang mencoba mengubah UUD 1945 dan Pancasila. Ini disampaikan dalam pertemuan dengan para pemimpin redaksi sejumlah media massa nasional di Jakarta, kemarin. Ketegasan presiden ini menuai pro-kontra.

“Betul! Sudah seharusnya begitu.  Tapi hendaknya adil dan diterapkan bagi siapa pun dari pihak mana pun yang mengusung agenda perusakan konstitusi kita harus digebuk. Sebab pada dasarnya konstitusi adalah komitmen bersama atau kesepakatan antar warga bangsa. Mengingkari, berarti pengkhianatan,” demikian disampaikan Ketua PCNU Surabaya, Dr H Achmad Muhibbin Zuhri kepada duta.co, Jumat (19/5/2017).

Yang dimaksud adil itu, lanjut Cak Ibin panggilan akrabnya, adalah melihat secara obyektif dan cermat bahwa potensi perusakan itu tidak hanya dari kelompok-kelompok sektarian berbasis agama, tetapi juga dari orientasi ideologi kiri sekular, liberal atau neo-liberal yang didukung oleh kapitalisme global.

“Yang saya sebut terakhir ini, bahkan sejak reformasi telah berhasil memasukkan agenda-agenda politiknya melalui berbagai perubahan dalam konstitusi kita,” tambah Direktur Museum Nahdlatul Ulama ini.

Diakui atau tidak, sejak reformasi perubahan konstitusi sudah memprihatinkan. HTI pun masuk atau semakin mendapatkan ruang pada momentum reformasi tersebut. Pemerintah kedodoran menghadapi gelombang perubahan. Akhirnya sampai terbit Keputusan Menkum HAM Nomor AHU-00282.60.10.2014, Pengesahan Hizbut Tahrir Indonesia sebagai Badan Hukum, padahal jelas-jelas mengusung konsep khilafah. Apalagi dari nama saja sudah jelas, hizb berarti partai.

“Saya kira pemerintah tidak paham, tidak mengerti bahasa Arab, he he he…. Sehingga waktu itu HTI bisa diterima sebagai Ormas? Padahal dari namanya saja “Hizb” (Partai). Mestinya diarahkan mendaftar sebagai Parpol dan biar mengikuti saja persyaratan Parpol kalau dia punya agenda politik,” tambah Cak Ibin.

Hal yang sama disampaikan Dr Salim Said. Menurut pengamat militer ini, ancaman Presiden Jokowi menegaskan itu memang harus dilakukan. “Memang mestinya begitu. Mestinya sudah lama beliau bicara begitu. Dan bukan hanya bicara, tetapi juga bertindak,” kata Salim Said.

Kepala negara memakai diksi ‘gebuk’ itu menunjukkan keseriusan. Diksi pernah menghebohkan Indonesia pada 1989 dan 1997 ketika presiden kedua RI Soeharto menggunakan kata ‘gebuk’ dalam sejumlah kesempatan. Target penguasa Orde Baru saat itu adalah pihak-pihak yang ingin merongrong pemerintahan.

“Persoalannya, sekarang berbeda dengan zaman Pak Harto atau Orde Baru. Sekarang, kalau mau menggebuk, itu caranya secara hukum karena ini negeri demokrasi. Kalau zaman Pak Harto kan main gebuk, tangkap orang. Enggak ada yang berani ngomong, kan?” ujar penulis buku Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto itu.

“Jadi, sekarang ini, saya mendukung pernyataan Pak Jokowi. Hanya, Pak Jokowi atau pemerintah harus ingat, semua tindakan gebuk itu harus berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kekuasaan politik,” katanya.

Pengamat Politik Universitas Padjadjaran (Unpad), Muradi juga menilai positif pidato yang disampaikan Presiden Jokowi. “Poinnya lebih kepada soal positif. Karena selama ini bahwa kita menganggap pemerintah tidak tegas. Langkah tegas juga bukan hanya pada PKI tapi juga pihak lain yang hendak merongrong konstitusi negara,” katanya.

Berbeda dengan Pengamat Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra. Menurut Yusril presiden tidak bisa semena-mena membubarkan Organisasi Masyarakat (Ormas) dengan Keppres tanpa proses pengadilan. Indonesia sebagai negara hukum demokratis, tidak ada tindakan penyelenggara negara yang dapat dilakukan tanpa landasan hukum, termasuk pembubaran Ormas.

“Membubarkan Ormas dengan cara ‘menggebuk’ jika hal itu diartikan sebagai tindakan di luar hukum positif yang berlaku, akan membawa implikasi politik yang luas,” jelasnya dalam keterangan tertulis, Kamis (18/5).

Yusril mengatakan, terkecuali dalam hal yang sangat genting memaksa presiden Jokowi mengambil tindakan revolusioner dalam keadaan tidak normal. Selain itu, kata dia, jika pemerintah melakukan pembubaran tanpa landasan hukum, hal tersebut akan membuka pintu bagi presiden untuk bertindak sewenang-wenang di luar hukum.

“Karena sumpah jabatan Presiden mengatakan akan berlaku adil serta memegang teguh undang-undang dasar, undang-undang dan segala peraturannya dengan selurus-lurusnya. Pelanggaran sengaja atas sumpah jabatan bisa membuka peluang pemakzulan,” jelasnya. (hud,rep)

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry