Tampak Anas (kiri) dan Kiai dalam sebuah pertemuan. (FT/Beritajatim.com)

“Mundurnya Anas ini boleh dianggap babak penting pada drama politik Jumanji. Siapa penulis skenario dan sutradara drama politik Jumanji, ini tidak jelas. Ada yang menduga EEp Syaifullah Fatah, think tank Gus Ipul. Ada yang bilang Hasto Kristianto, Sekjen PDIP. Ada yang menduga Luhut Panjaitan dan masih banyak lagi nama.”

Oleh Anwar Hudijono

PERNAHKAH nonton film Jumanji? Film pertama diproduksi tahun 1995 dengan sutradara Joe Johnston. Film kedua, Jumanji: Welcome to the Jungle yang diputar di gedung-gedung film Januari 2018 ini. Film ini disutradarai Jake Kasdan.

Kedua film ini tentu saja berbeda, baik artis, alur cerita maupun kemasannya. Namun ada titik-titik persamaan yaitu kedua film tersebut bertutur tentang permainan yang sekenario dan sutradaranya adalah sosok invisible. Para pelaku, mau tidak mau atau suka tidak suka, harus memerankan peran yang sudah ditentukan.

Film ini mampu menyeret penonton luruh ke dalam alur cerita karena ada dimensi kegaiban, mistikisme, di samping ada guyonan, aroma asmara, juga keluguan apa adanya.  Di situ penonton juga diberi garapan teka-teki yang jawabannya akan didapat ketika pemutaran film selesai.

Saya menonton kedua film itu. Dan, entahlah, saya seperti ketok-ketoken (terbayang-bayang red.) Jumanji. Keterbayangannya sangat kuat melebihi keterbayangan kepada Julia Perez atau Juminah gadis kampung sebelah.  Perasaan ini masih seperti sedang mengikuti cerita Jumanji tetapi bukan di gedung film atau teve, melainkan pada proses Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jatim 2018.
Adalah kisah Abdullah Azwar Anas yang mundur sebagai calon Wakil Gubernur berpasangan dengan Gus Ipul seperti babak sentakan pada film Jumanji. Sebagai penonton yang duduk manis sambal ngemil jagung goreng yang, istilah kerennya pop corn, tiba-tiba saya dikagetkan adegan yang sangat menyentak, sampai saya harus lompat dari kursi dan berteriak histeris.
Betapa tidak, mundurnya Anas itu benar-benar bagikan petir di siang bolong. Bayangkan, dia sudah menyatakan oke tanpa reserve apa-apa. Sudah melakukan gebrakan pra kampanye. Publik sudah mulai miling-miling dia untuk dipilih. Tiba-tiba dia mundur tanpa memberi peluang untuk dipertimbangkan kembali alias sudah final.
Mundurnya Anas ini boleh dianggap babak penting pada drama politik Jumanji. Siapa penulis skenario dan sutradara drama politik Jumanji, ini tidak jelas. Ada yang menduga EEp Syaifullah Fatah, think tank Gus Ipul. Ada yang bilang Hasto Kristianto, Sekjen PDIP. Ada yang menduga Luhut Panjaitan dan masih banyak lagi nama.

Yang pasti tidak  ada yang menyebut nama kawan saya Muhammad Kaiyis (duta.co) meski dia jago memelototi strategi politik. Saya sendiri memilih kata kunci: wallahu a’lam bissawab.
Untuk lebih jelas,  bisa flashback beberapa bentar untuk melihat kembali proses politik sampai akhirnya muncul Anas menjadi cawagub untuk berkompetisi di Pilgub Jatim tahun 2018.

Adalah Saifullah Yusuf yang akrab dipanggil Gus Ipul (GI).  Dia adalah tokoh yang sudah lama disebut-sebut calon gubernur yang sangat kuat untuk menggantikan Pakde Karwo. Betapa tidak, lebih kurang selama sepuluh tahun dia melakukan sosialisasi diri memanfaatkan waktu yang cukup banyak sebagai Wakil Gubernur Jatim.
Pada periode pertama, dia sosialisasi untuk kemungkinan maju sendiri sebagai cagub di Pilgub tahun 2013. Namun urung, karena memilih maju lagi menjadi cawagub dengan Pakde Karwo lagi. Selama jadi wagub periode kedua, dia tetap rajin sosialisasi diri. Wajar kalau elektabilitas dan popularitasnya tertinggi.

Masalahnya, GI itu seperti barang yang sangat ciamik, tapi tidak punya gerai sendiri untuk menjual. Sementara gerai-gerai yang ada, sampai beberapa bulan lalu, belum ada yang tertarik untuk menjual. Atau ibarat orang mau pergi ke suatu tempat, sangu sangat banyak, sehat, tetapi tidak punya kendaraan sendiri. Tidak ada satu pun kendaraan yang menawarkan diri untuk dicarter.
Secara ‘kebetulan’ – insya Allah bukan suatu penggalan babak dalam drama politik Jumanji – ada sekelompok kiai yang ingin GI menjadi cagub. Pucuk dicinta ulam tiba. GI pun sami’na wa atha’na, mendengar dan patuh. Tentu saja GI mafhum bahwa kelompok itu bukan partai yang memiliki otoritas mendaftarkan dirinya ke KPUD. Tetapi ibarat orang hendak ke Jakarta dengan menggunakan pesawat melalui Bandara Juanda, kelompok itu ibarat mobil  yang membawanya ke Juanda. Jadi kendaraan antara, begitulah.
Lantas kelompok kiai ini menyampaikan jagonya, GI-Anas, ke PKB dan PDIP. PKB tidak bisa menolak usulan para kiai karena kiai itu berperan sangat penting bagi kehidupan PKB. Ibarat rumah, kiai itu sokogurunya. Bisa dibayangkan kalau rumah itu ditinggal sokogurunya, bukan hanya reyot tapi bisa roboh.
Bisa jadi sebenarnya sangat berat bagi PKB untuk menerima Ipul-Anas. PKB sebenarnya ingin kadernya sendiri, terutama Halim Iskandar, Ketua DPW PKB Jatim. Jika elektabilitas tetap tidak bisa merangkak naik, justru bisa mengusung Muhaimin Iskandar sendiri. Mesti target Muhaimin adalah cawapres 2019, tetapi tidak masalah gubernur sementara kemudian jadi Wapres seperti Jokowi dari gubernur DKI selama 2 tahun lantas jadi Presiden.

GI bukan kader PKB. Semasa mudanya terlibat kontes rivalitas dengan Muhaimin meski ada hubungan kekerabatan. Tetapi dalam belantika politik kontes rivalitas itu biasa belaka. Sementara Anas memang kader PKB tetapi juga ada catatan hubungan yang tidak harmonis dengan Muhaimin. Untuk itulah ketika maju jadi cabup Banyuwangi periode kedua, dia menggunakan kendaraan PDIP.
Tetapi sekali lagi berpantang bagi PKB tidak tawadlu’ kepada kiai. Apalagi terdapat kiai-kiai besar seperti KH Anwar Iskandar dll. Sekaligus mekanisme pencalonan dimunculkan dari ‘kelompok kiai’ bisa jadi semacam jurisprudensi atau preseden untuk pencalonan Muhaimin ke Wapres 2019. Artinya nanti nama Humaimin diusulkan sekelompok kiai kepada capres.
PDIP diduga juga menerima usulan sekelompok kiai ini dengan ‘setengah hati’. Karena sebagai partai besar kedua, PDIP ingin mengusung kadernya sendiri. Sejumlah nama sudah disebut seperti Risma, Djarot Syaiful Hidayat. GI sendiri masih dicatat politisi ‘kutu loncat’ yang pindah dari PDIP ke PKB.

Jika terpaksa harus Gus Ipul, cawagubnya harus kader PDIP tulen. Nama yang paling disebut adalah Kusnadi, Kanang. Anas sendiri masih kader PKB. Tetapi saat ini PDIP butuh pengayoman kiai dalam kaitan perkembangan politik seperti kasus Ahok. Di samping itu, PDIP membutuhkan partner kiai di pemilu 2019.
Ketika Megawati mendeklarasikan GI-Anas, sebenarnya terjadi gejolak protes di arus bawah yang pada suatu saat akan menjadi ancaman kohesivitas dan loyalitas partai. Inilah yang ditangkap sebagian elite PDIP untuk merevisi GI-Anas. Sampai ada yang bilang, jangan-jangan pendorong Anas mundur justru dari PDIP sendiri.

Yang jelas, jika mau mengikuti proses politik pasca mundurnya Anas ini bikin saja seperti menonton film Jumanji. Tonton secara santai.  Tidak usah dibikin serius. Sambil ngemil marning jika tidak ada pop corn. Sambil ngopi dengan ditemani juadah. Tidak usah ikut larut dalam permainan. Bukankah: wamal hayatat dunya illa laíb wa lahwun (dan kehidupan dunia ini hanyalah main-main dan senda gurau). Setelah nonton lebih sip nyanyi lagunya Waljinah: ayo ngguyu. Huahaaaaaa (*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry