“Islah bukan berarti kalah. Islah adalah tanda NU masih punya hikmah, masih punya adab, dan masih layak menjadi penuntun umat—hari ini dan di masa depan.”

CATATAN PINGGIR ROMADLON SUKARDI

KONFLIK di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), sejatinya tidak dapat direduksi menjadi sekadar perselisihan personal, manuver administratif atau perebutan otoritas struktural. Ini kompleks, dari berbagai dimensi: legitimasi konstitusional, wibawa moral para masyayikh, dinamika kekuasaan modern, serta emosi kolektif jamaah NU di tingkat akar rumput.

Dalam organisasi sebesar NU—yang bukan hanya jam’iyah, tetapi juga peradaban sosial-keagamaan—konflik internal selalu memiliki resonansi yang melampaui struktur. Ia menyentuh rasa memiliki, loyalitas batin, dan kepercayaan jamaah. Karena itu, membaca konflik PBNU dengan kacamata hitam-putih, menang-kalah, sah atau tidak sah semata, justru berisiko memperpanjang luka dan menggerus marwah jam’iyah itu sendiri.

NU lahir dan tumbuh dari tradisi hikmah, kehati-hatian, dan kearifan kolektif para ulama. Dalam tradisi itu, konflik tidak diselesaikan dengan saling menjatuhkan, tetapi dengan meninggikan adab, menurunkan ego, dan mendahulukan kemaslahatan yang lebih luas. Maka, jalan keluar terbaik bukanlah kemenangan sepihak, melainkan islah yang bermartabat, sebagaimana dawuh para masyayikh di Ploso dan Tebuireng, serta para Rais Syuriyah daerah yang kini mulai bersuara sebagai kompas moral jam’iyah. Mengapa karpet (luas) islah itu tidak dilewati?

Skenario Pertama, Eskalasi Legal–Administratif

Dalam skenario ini, konflik PBNU bergerak menjauh dari ruang musyawarah batin dan semakin mengeras di wilayah formal-legal. Dinamika organisasi tidak lagi didominasi oleh adab jam’iyah, melainkan oleh mekanisme surat-menyurat hukum, nota administratif, dan penguatan legitimasi kelembagaan ke hadapan negara. Setiap pihak berusaha menegaskan posisi dengan dokumen, pasal, dan prosedur, seolah-olah kebenaran dapat sepenuhnya dipastikan melalui stempel dan nomor agenda.

Seiring waktu, tafsir atas konstitusi organisasi menjadi arena tarik-menarik yang kian kaku. Pasal-pasal yang sejatinya disusun untuk menjaga ketertiban jam’iyah justru berubah menjadi senjata untuk saling mengunci ruang gerak. Dialog bergeser menjadi adu tafsir, sementara ruang kompromi menyempit. Pada fase ini, hukum tidak lagi menjadi wasilah untuk menjaga maslahat, tetapi berpotensi menjelma sebagai alat pembenaran bagi masing-masing kubu.

Puncak dari eskalasi ini adalah situasi paradoksal: PBNU mungkin tampil sah dan diakui secara hukum negara, namun pada saat yang sama mengalami keretakan secara sosiologis dan spiritual. Struktur organisasi tetap berjalan, rapat tetap berlangsung, keputusan tetap dikeluarkan, tetapi denyut keikhlasan dan rasa kebersamaan jamaah melemah. NU seolah hadir sebagai institusi administratif yang rapi, namun kehilangan kehangatan sebagai rumah besar umat.

Dampak paling nyata dari skenario ini adalah kebingungan di tingkat jamaah. Warga NU di akar rumput tidak hidup dari dokumen hukum, melainkan dari keteladanan dan ketenangan batin para pemimpinnya. Ketika elite bersitegang di ranah formal, PWNU dan PCNU pun berpotensi terpolarisasi secara diam-diam—bukan melalui deklarasi terbuka, tetapi melalui sikap menunggu, membisu, atau memilih jarak aman.

Dalam jangka panjang, risiko terbesar dari skenario eskalasi legal–administratif adalah terkikisnya energi khidmat NU. Tradisi melayani tanpa pamrih, merawat ukhuwah, dan mengutamakan maslahat bersama perlahan tergantikan oleh logika menang-kalah. NU tetap berdiri sebagai organisasi besar, namun kekuatan sejatinya—yakni kepercayaan jamaah dan keberkahan khidmah—berpotensi melemah jika konflik terus dibiarkan memuncak di jalur formal semata.

Skenario Kedua, Dominasi Narasi Sepihak

Dalam skenario ini, konflik PBNU bergerak menuju titik di mana salah satu pihak berhasil menguasai panggung formal organisasi. Dominasi itu diperoleh melalui kelengkapan dokumen, penguasaan forum resmi, serta absennya pihak lain dalam ruang-ruang pengambilan keputusan strategis. Secara administratif, arah organisasi tampak jelas; secara struktural, kepemimpinan terlihat solid dan terkonsolidasi.

Namun, kemenangan semacam ini menyimpan paradoks yang halus dan dalam. Kepastian struktural tidak otomatis menghadirkan ketenangan batin kolektif. Di balik rapi­nya keputusan dan legitimasi formal, tersisa rasa ganjil di kalangan jamaah dan sebagian elite moral NU: ada sesuatu yang “sah”, tetapi belum sepenuhnya “selesai”. Konflik tidak benar-benar berakhir; ia hanya berhenti diperdebatkan di ruang terbuka.

Pada fase ini, luka organisasi tidak mudah disembuhkan, melainkan disimpan. Konflik membeku dalam diam, bersembunyi di balik kesantunan formal. Risiko jangka panjangnya adalah lahirnya jarak emosional antara struktur dan jamaah—NU berjalan maju sebagai organisasi, tetapi sebagian warganya melangkah dengan hati yang tertinggal. Dalam tradisi NU, kondisi seperti ini sering kali lebih berbahaya daripada konflik terbuka, karena ia menggerogoti kepercayaan secara perlahan.

Skenario Ketiga, Dualisme Moral–Organisasional

Skenario ketiga menghadirkan wajah NU yang tampak stabil di permukaan, namun menyimpan kegelisahan di kedalaman. Secara formal, kepengurusan berjalan sebagaimana mestinya. Program terlaksana, rapat berlangsung, dan roda organisasi terus berputar. Namun di sisi lain, sebagian masyayikh dan wilayah memilih sikap diam aktif—tidak melawan, tetapi juga tidak sepenuhnya terlibat.

Diam dalam konteks ini bukanlah ketidakpedulian, melainkan ekspresi kegelisahan moral. Di banyak daerah, istighotsah dan doa bersama justru semakin menguat, seolah jamaah ingin mengatakan bahwa ada persoalan yang tidak cukup diselesaikan dengan keputusan administratif. Seruan islah bergema dari bawah, bukan sebagai tekanan politik, tetapi sebagai jeritan batin jam’iyah.

Puncak skenario ini adalah lahirnya dualisme yang halus namun nyata: PBNU sah secara aturan, tetapi terasa dingin secara spiritual. NU tetap besar, tetap kuat secara struktural, namun kehilangan sebagian aura keteladanan yang selama ini menjadi sumber wibawa moralnya. Jika dibiarkan terlalu lama, kondisi ini berpotensi menciptakan generasi jamaah yang patuh secara formal, tetapi berjarak secara emosional.

Skenario Keempat, Intervensi Moral Masyayikh

Skenario keempat menandai perubahan arah yang signifikan. Di titik ini, dawuh para masyayikh—baik dari pesantren besar seperti Ploso dan Tebuireng, maupun dari Rais Syuriyah daerah—tidak lagi dipandang sebagai suara pinggiran, melainkan sebagai kompas moral utama. Seruan islah bertransformasi menjadi kesadaran kolektif bahwa konflik ini terlalu mahal jika dibiarkan berlarut.

Intervensi moral ini bekerja bukan dengan tekanan, melainkan dengan keteladanan. Bahasa yang digunakan bukan bahasa pasal, tetapi bahasa adab. Narasi yang mengemuka bukan lagi siapa benar dan siapa salah, melainkan bagaimana marwah NU diselamatkan. Dalam atmosfer seperti ini, keberanian tertinggi bukanlah bertahan pada posisi, melainkan kesediaan untuk menurunkan ego demi maslahat yang lebih besar.

Puncak dari skenario ini adalah pergeseran orientasi konflik. Semua pihak mulai berhenti berbicara tentang menang-kalah dan mulai berbicara tentang warisan. Tentang NU seperti apa yang ingin ditinggalkan untuk generasi berikutnya. Pada titik inilah konflik menemukan peluang untuk berubah menjadi pembelajaran kolektif.

Skenario Kelima, Islah Rekonsiliatif Berbasis Khittah

Skenario kelima adalah muara yang paling memungkinkan sekaligus paling menyelamatkan NU. Islah tidak dipahami sebagai kompromi lemah, melainkan sebagai rekonsiliasi berkelas peradaban. Tidak ada pihak yang dicabut kehormatannya, tidak ada yang dipaksa mengakui kesalahan secara simbolik, dan tidak ada narasi pemenang atau pecundang.

Dalam skenario ini, semua pihak kembali kepada mandat Muktamar sebagai fondasi konstitusional, dengan penyesuaian etis dan organisatoris yang beradab. Islah menjadi ruang untuk menata ulang khidmah, memperjelas peran, dan memulihkan kepercayaan jamaah. Proses ini dipandu oleh masyayikh, bukan untuk menghakimi, tetapi untuk menenangkan.

Keindahan dari skenario ini terletak pada hasil akhirnya: semua merasa lega. Struktur tetap berjalan, marwah terjaga, dan jamaah kembali menemukan NU sebagai rumah besar yang teduh. Konflik tidak dihapus dari sejarah, tetapi ditransformasikan menjadi hikmah. Di titik inilah NU menunjukkan kelasnya—bukan sekadar sebagai organisasi besar, tetapi sebagai peradaban yang matang menghadapi perbedaan.

Jika ditarik ke hulunya, konflik PBNU bukan tentang siapa menjabat apa, melainkan siapa yang paling sungguh menjaga khittah NU, siapa yang paling konsisten memelihara adab jam’iyah dan bagaimana NU tetap menjadi rumah besar yang teduh, inklusif, dan bermartabat.

Karena itu, muara konflik bukan di pengadilan, bukan di media, dan bukan diadu soal kelengkapan dokumen. Muara konflik ada di meja islah, yang dipandu oleh masyayikh dengan kejernihan hati dan pandangan jauh ke depan.

Sebagaimana pesan yang kini bergema dari banyak penjuru NU “Semakin banyak yang menyerukan islah, semakin cepat ia terwujud.” NU tidak dibesarkan oleh konflik, melainkan oleh kemampuan mengakhiri konflik dengan bermartabat. Dalam tradisi NU, yang paling mulia bukan yang paling keras mempertahankan posisi, tetapi yang paling ikhlas menjaga persaudaraan.

Islah bukan berarti kalah. Islah adalah tanda NU masih punya hikmah, masih punya adab, dan masih layak menjadi penuntun umat—hari ini dan di masa depan. Berikut pengembangan narasi yang utuh, mengalir, dan berkelas, disusun dalam paragraf-paragraf reflektif, dengan bahasa elegan, human interest, futuristik, komprehensif, dan terpadu, tanpa menghilangkan ruh pesan yang Anda kehendaki.

Bukan Berebut Kuasa Melainkan Marwah

Jika ditarik hingga ke hulunya, konflik yang terjadi di tubuh PBNU sejatinya tidak berakar pada persoalan siapa menjabat apa, atau siapa lebih berhak atas posisi tertentu. Akar persoalan yang sesungguhnya jauh lebih dalam dan lebih halus: soal marwah jam’iyah. Ia menyentuh wilayah nilai, adab, dan tanggung jawab sejarah—bukan sekadar administrasi kekuasaan.

Pada titik ini, pertanyaan yang relevan bukan lagi tentang struktur, melainkan tentang siapa yang paling sungguh menjaga khittah Nahdlatul Ulama sebagai jalan perjuangan keagamaan dan kebangsaan. Siapa yang paling konsisten memelihara adab jam’iyah, menempatkan etika di atas ego, serta sanggup menahan diri demi kemaslahatan yang lebih luas. Dan yang tak kalah penting, bagaimana NU tetap hadir sebagai rumah besar yang teduh, inklusif bagi semua warganya, serta bermartabat di hadapan umat dan sejarah.

Karena itulah, muara konflik PBNU tidak pernah benar-benar berada di pengadilan, di ruang media, ataupun di adu dokumen administratif. Semua itu hanyalah jalan samping yang bersifat sementara. Muara sejatinya ada di meja islah—ruang sunyi tempat akal sehat bertemu kejernihan hati, dipandu oleh masyayikh yang memiliki pandangan jauh ke depan, melampaui hiruk-pikuk sesaat.

Islah Membuat Semua Lega

Islah yang dibutuhkan NU hari ini bukanlah islah prosedural, melainkan islah peradaban—yang menyentuh struktur sekaligus batin kolektif jam’iyah. Islah yang tidak melahirkan pemenang dan pecundang, tetapi menghadirkan kelegaan bersama.

Pertama, islah berbasis dawuh masyayikh. Dawuh dari pesantren-pesantren rujukan seperti Ploso dan Tebuireng, serta suara para Rais Syuriyah daerah, berfungsi sebagai payung moral yang menaungi seluruh proses. Dalam tradisi NU, dawuh bukan sekadar nasihat, melainkan kompas etik. Ketika dawuh dijadikan pegangan, semua pihak nderek, bukan berdebat; tunduk bukan karena kalah, melainkan karena sadar akan kemuliaan adab.

Kedua, rekonsiliasi tanpa pemakzulan simbolik. Islah yang matang menolak logika mempermalukan. Tidak ada istilah “dikalahkan”, tidak ada ritual rehabilitasi paksa yang justru membuka luka baru. Yang dilakukan adalah penataan ulang khidmah—mengembalikan semua pihak pada niat awal ber-NU: melayani, bukan dilayani; mengabdi, bukan menguasai.

Ketiga, konsolidasi nasional PWNU–PCNU sebagai jembatan pemulihan kepercayaan jamaah. Istighotsah serentak bukan hanya doa, tetapi pesan simbolik bahwa NU menyelesaikan persoalannya dengan cara NU. Pernyataan bersama menjaga persatuan menjadi penanda bahwa elite tidak abai pada kegelisahan akar rumput. Dari sinilah rasa aman dan percaya jamaah perlahan dipulihkan.

Keempat, Muktamar sebagai katarsis kolektif. Muktamar bukan medan balas dendam atau ajang menghitung luka lama, melainkan ruang penyucian organisasi. Ia menjadi momentum pembaruan energi jam’iyah, tempat NU menata ulang arah, menyegarkan visi, dan menegaskan kembali perannya sebagai kekuatan moral bangsa di tengah tantangan zaman yang kian kompleks. (*)

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry