“Mestinya negara inilah yang harus tanggap dengan membuat instrumen teknologi untuk mampu “mendengarkan celoteh ombak, angin, gunung, laut, termasuk Selat Sunda.” 

Oleh: Suparto Wijoyo*

SOROT mata khalayak, meski dengan samar yang tergenangi jerit tangis takdirnya, kini tertuju ke Selat Sunda. Air laut itu menggelombangkan duka dengan menepikan diri seolah menikmati indahnya pantai.

Banten, Lampung dan Jabar menyatukan diri dalam gelisah atas sebaran air yang meggelegakkan  perkasa yang sangat dahsyatnya. Pantai-pantai di sisir mengikuti “celoteh” bibir lautan yang merebahkan badan dengan telungkup Selat Sunda.

Adakah ia menemukan tempat bersandar? Tsunami menderu tanpa tanda seru yang diniscayakan memberikan sapanya kepada siapa saja yang dilaluinya. Lantas manusia menamainya sebagai bencana dengan korban jiwa raga serta harta benda. Ruh mengangkasa guna memenuhi jalanan cakrawala sebelum akhirnya bersimpuh  mengetuk pintu langit ke alam yang sangat jauh bentangnya.

Kisaran angka 500 nyawa melayang dan seputaran 1.500 orang luka ditambah 154 hilang. Belum lagi seperlangkah di depan ribuan lainnya mengungsi. Angka yang terberitakan nyaris sempurna 16.000 insan terlunta sambil menepikan setiap cita-citanya untuk bergembira saat liburan, kecuali permohonan melanjutkan kehidupan.

Segala analisis diwartakan dan semua sebab musabab dikumandangkan pada sebuah titik bahwa Gunung Anak Krakatau tengah “berulah”. Lelongsoran  bagian gunung yang mencapai luasan material 64 hektar adalah  perspektif yang lazim dengan konsekuensi bersedaknya lautan Selat Sunda.

Gelisah, perih dan luka yang mendalam serta derita yang membekas merupakan pilahan sejarah yang akan dikenang oleh seluruh keluarga besar korban. Untuk kemudian segenap anak bangsa memberikan bela sungkawa dan rasa duka yang mendalam diucapkan berbarengan dengan kerumunan kaum penolong yang tanpa lelah.

Betapa ada sisi hikmah yang senantiasa tertorehkan bahwa bencana itu telah membangunkan kesigapan anak-anak negeri ini lintas golongan. Ormas yang selama ini kerap dicibir dengan aksi-aksi yang memberantas kemaksiatan melalui caranya yang berbeda tampak memberikan pertolongan pada derap terdepan. Meski hal ini juga viral dan tetap saja ada yang nyinyir karena memang para penyinyir itu  tidaklah hendak mau menjemput hidayah kesadaran, selain keasyikan untuk berkubang dalam curiga.

Apa yang sejatinya terjadi memang berpulang kepada kondisi “riang-gembiranya” si anak yang selama ini nyaman dipangku ortunya. Krakatau tampak berdiri laksana dalam balutan lautan yang  semakin menua, sementara itu  anak tersebut harus tampil perkasa sebagaimana dirinya. Tanda sebuah gunung adalah hidup sehingga dinamakan gunung berapi adalah kemampuannya untuk menakarkan karakter hidupnya. Kepulan asap yang membubung ke ruang langit adalah langkah paling realistis untuk membuka jalan bagi gelora kobaran larva yang menyala. Ini merupakan identitas yang musti di kenali.

Jadi manusia jangan hanya sedemikian sibuk tetapi lupa mengidentifikasi energi  gunung, pantai dan lautan yang menghadirkan ombak yang bergulung atau selancar. Cermatilah bahwa Gunung Anak Krakatau sejatinya sedang “memberikan isyarat kepada kita” atas jatidirinya. Letusan yang biasa dikenal sebagai erupsi merupakan “keakuannya yang paling faktual” yang harus dipertontonkan olehnya sebagai wujud penanda gunung Anak Krakatau itu berapi. Dia sendiri pasti tidak hendak memberikan sengsara kepada siapapun, apalagi manusia yang sejak mula penciptaannya dimaksudkan sebagai khalifah fil ard, tentu gunung-gunung itu sungkan apabila menyengsaran.

Berlari Bukan untuk Menghindari

Hanya saja manusia tidak pernah peka dengan isyarat-isyarat yang diberikan oleh gunung, lautan dan ombaknya. Ketidakpekaan itu hilang karena profesi nelayan dan penjaga pantai tidak lagi mampu mendengar ucap lirih angin. Mereka sibuk dengan HP dan membaca grup-grup WA tanpa menyadari pengembangan dirinya yang kian renta menapaki zaman. Untuk itulah ada nasehat sejak di Aceh, Lombok, Palu, maupun longsor-longsor di Jatim, yakni agar manusia membentuk negara yang fungsional.

Mestinya negara inilah yang harus tanggap dengan membuat instrumen teknologi untuk mampu “mendengarkan celoteh ombak, angin, gunung, laut, termasuk Selat Sunda. Oh … oh … ternyata institusi negara itu saling lempar tanggung jawab sambil mengatakan alat-alat pendeteksi bencana itu hilang atau rusak. Ini memberikan sinyal tentang  pegawai negara yang tidak peduli dengan nasib rakyatnya alias abai dengan tanda-tanda alam.

Kalau mereka terus acuh tak acuh  selaku abdi negara terhadap “calon korban bencana”, maka akan terekam di esok hari tentang  ragam peristiwa gejolak alam berikutnya. Apalagi NKRI ini berada dalam lingkar cicin api aktif  yang mana kondisi ini memiliki implikasi   berupa bencana alam. Tengoklah catatan lama mengenai  erupsi Gunung Kusatsu-Shirane, Jepang; gempa 6,2 SR di Aomori, Jepang; erupsi Gunung Mayon, Filipina, erupsi Gubnung Agung, Bali; gempa 6.4 SR di Lebak, Banten, gempa 7.9 SR di Alaska, Amerika Serikat; gepa 4.9 SR di Pulau Seram, Ambon; gempa 5.1 SR di Simeulue, Aceh, gempa 5.4 SR di Tarapaca, Cile, gempa di Lombok, dan Palu.  Cincin Api ini memanjang 40.000 km yang membentang dari Selandia Baru melewati Indonesia, Jepang, Amerika Utara sampai Amerika Serikat.

Akankah bencana setiap jelang akhir tahun ini hendak kita rayakan ataukah pungkasi dengan  berikhtiar melalui kesadaran betapa kecil manusia di hadapan kuasa Tuhan. Dengan terus berulangnya tragedi akibat gempa maupun gunung yang rajin “bersilaturahmi” di berbagai titik geografis Bumi, semua negara harus terjaga dan siap berlari. Berlari bukan untuk menghindari, tetapi berlari guna memenuhi hak-hak rakyat agar  selamat dari bencana di hari-hari mendatang melalui road map kegempaan, bukan sibuk berpose di tepian lautan. Siapapun yang memanggul amanat negara, pastilah terpanggil   membangun wilayah yang berkeselamatan. (end)

 

*Suparto Wijoyo adalah Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry