KENAIKAN CUKAI ROKOK : Ratusan buruh tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) menggelar aksi di depan kantor Gubernur Jatim, Kamis (1/11). DUTA/ridhoi

SURABAYA | duta.co – Kenaikan cukai membuat banyak pihak resah. Terutama para pekerja sigaret kretek tangan (SKT).

Karena dengan kenaikan cukai itu, akan meningkatkan harga jual rokok di masyarakat. Akibatnya daya beli akan menurun.

Kalau sudah menurun, pabrikan rugi, maka pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan tidak bisa dihindari.

Karenanya, Kamis (1/11), ribuan pekerja SKT di Jawa Timur turun ke jalan. Mereka mengepung kantor Gubernur Jawa Timur di Jalan Pahlawan Surabaya.

Mereka menuntut pemerintah pusat agar tidak menaikkan cukai rokok di tahun 2019.

Sayangnya perwakilan pekerja tidak bisa menemui Gubernur Jatim Soekarwo. Mereka hanya ditemui Sekda Provinsi Jatim Heru Cahyono.

Hasil pertemuan antara pabrikan dan wakil tenaga kerja menghadap Gubernur yang diwakili Sekda Prov Jatim.

“intinya teman-teman komunitas rokok kretek tangan Indonesia meminta pemerintah pusat melalui Gubernur agar tidak naik memberatkan rokok,” ujar Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Kretek Tangan Indonesia, Joko Wahyudi usai bertemu Sekdaprov.

Apalagi saat ini harga rokok sudah mahal. Jika sampai kenaikan tetap diberlakukan maka hal ini pasti memberatkan konsumen.

Dampak selanjutnya, produksi rokok akan turun sesuai dengan turunnya permintaan.

Kalau hal itu sampai terjadi, maka akan ada PHK secara massal. Padahal menurut penjelasan Joko, selama ini pemerintah telah mendapatkan devisa dari rokok cukup besar.

Pada tahun 2017, total pendapatan pemerintah dari pita cukai rokok mencapai sekitar Rp 200 triliun.

Dipastikan pada tahun 2018 pendapatan dari cukai rokok tersebut akan bertambah dengan kenaikan produksi rokok nasional.

Saat ini, perusahaan rokok yang bergabung di MPS di Jatim mencapai 20 perusahaan dengan total produksi sekitar 135 ribu batang per hari per perusahaan.

Jumlah tersebut turun dibanding tahun 2015 yang masih sekitar 35 perusahaan dengan total produksi 200 ribu per hari per perusahaan.

Sementara jumlah tenaga kerja juga telah menyusut dari 2 ribu per perusahan di tahun 2015 menjadi 1.000 hingga 1.500 per perusahaan.

Agar tidak terjadi PHK massal dan kebutuhan pemerintah tercapai maka yang sudah ada ini harus dijaga. Karena pasti akan ada kenaikan tiap tahunnya sesuai dengan kenaikan produksi.

“Dan Saya kira kontribusi rokok ini cukup. Tapi kalau dinaikkan sesuai kebutuhan anggaran pemerintah maka semuanya tidak akan berhasil. Produksi anjlok, dan target pemerintah tidak akan tercapai,” ujarnya.

Jika memang harus dinaikkan, maka Joko memberikan toleransi tidak sampai melebihi inflasi, yaitu hanya sekitar 5 persen.

Seperti pada tahun lalu, kenaikan cukai rokok yang ditetapkan pemerintah sekitar 5 persen hingga 10 persen yang disesuaikan dengan kondisi dan jenis perusahaan.

“Harus ada perbedaan, rokok kretek tangan harus lebih rendah dibanding mesin. Kenaikan cukai rokok kretek tangan tidak lebih dari 5 persen karena padat karya. Satu mesin plan bisa menggantikan 1.000 tenaga kerja,” tandasnya.

Sementara itu, Ketua Pengurus Daerah Jawa Timur FSP RTMM-SPSI  Purnomo mengatakan bahwa kenaikan tarif cukai ataupun harga jual eceran rokok yang terlampau tinggi juga akan berdampak meningkatkan peredaran rokok ilegal.

juga  bisa menyebabkan menjamurnya rokok-rokok murah ilegal. Akibatnya, negara akan kehilangan penerimaan dari sektor cukai.

Berdasarkan studi Universitas Gadjah Mada, potensi penerimaan negara yang hilang akibat rokok ilegal dapat mencapai Rp 1 triliun.

Menurut RTMM, industri hasil tembakau sudah terbebani oleh kenaikan tarif cukai rokok di atas inflasi sehingga mengalami stagnansi sejak 2014.

Bahkan, sejak tahun 2016, industri yang menjadi tumpuan enam juta orang ini telah mengalami penurunan sebesar 1 persen hingga 2 persen.

Secara nasional, akibat kenaikan tarif cukai yang cukup tinggi di atas inflasi, maka dalam 8 tahun terakhir, banyak pekerja rokok yang terpaksa dirumahkan atau PHK.

PP FSP RTMM-SPSI mencatat, pada 2010 lalu, jumlah pekerja yang tergabung dalam organisasinya sebanyak 235.240. Lima tahun kemudian atau pada 2015, jumlah anggotanya turun menjadi 209.320 orang.

Penurunan terus terjadi pada 2017 lalu, yakni menjadi 178.624 orang. Itu artinya, selama 8 tahun terakhir, pekerja rokok yang kehilangan pekerjaan sebanyak 56.616 orang.

“Maka itu, kami berharap Yang Terhormat Bapak Soekarwo selaku gubernur Jawa Timur dapat membantu menyuarakan suara kami kepada pemerintah pusat,” tutup Purnomo. end

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry