Dr H Soekarwo, Gubernur Jawa Timur, notabene Ketua Partai Demokrat Jawa Timur. (FT/SUUD)

SURABAYA | duta.co – Akrobat elit politik jelang masa pendaftaran calon presiden dan wakil presiden pada pemilu presiden (Pilpres) tahun 2019, menarik dicermati. Ini pula menyita respon besar netizen hingga menjadi trending topik di media sosial.

Selain ada Dr TGH Muhammad Zainul Majdi, alias Tuan Guru Bajang (TGB) Gubernur Nusa Tenggara Barat, ada juga nama beken Dr H Soekarwo, Gubernur Jawa Timur yang akrab disapa Pakde Karwo.

Menariknya, kedua politisi itu sama-sama gubernur, sama-sama anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat, dan sama-sama menyuarakan dukungan terhadap Joko Widodo sebagai Capres 2019.

Padahal arah politik partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu berbeda, cenderung bergabung dengan koalisi Parpol pengusung Capres Prabowo Subianto yang akan menjadi rival Jokowi di Pilpres mendatang. Bahkan menawarkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) putra sulung SBY sebagai cawapres berpasangan dengan Prabowo.

Trend Pemimpin Daerah

Pertanyaannya: Akrobat politik elit partai demokrat daerah itu bagian dari diskursus dan dinamika politik yang berkembang? Atau justru bentuk perlawanan terhadap dominasi DPP (Jakarta) dalam wacana suksesi kepemimpinan nasional.

Pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Surokim Abdussalam, menilai ada trend pemimpin-pemimpin daerah yang berhasil, dan  layak diberi kesempatan naik menjadi pemimpin nasional sehingga mereduksi stok tokoh-tokoh nasional yang sudah ada.

“Trend ini dipicu oleh keberhasilan Pak Jokowi dari Walikota Solo kemudian naik menjadi Gubernur DKI Jakarta dan Presiden Indonesia,” ujar Dekan FISIP UTM saat dikonfirmasi Jumat (3/8/2018).

Surokim Abdussalam. (FT/SUUD)

Diakui Surokim, Pakde Karwo yang juga Ketua DPD Partai Demokrat Jatim termasuk salah satu kepada daerah yang cukup berhasil dan memiliki banyak prestasi.

“Saya kira wajar kalau ada orang yang mempromosikan Pakde Karwo naik kelas walaupun itu bukan hal yang mudah dan persaingannya ketat,” jelasnya.

Apalagi, masuknya nama JOWO (Jokowi-Soekarwo) menjadi trending topik media sosial itu bagian dari marketing public relations supaya nama Gubernur Jatim layak dipertimbangkan dan masuk dalam pusaran kepemimpinan nasonal.

“Kalau Pakde Karwo diam justru peluangnya semakin tertutup untuk naik kelas,” dalih Surokim.

Tak Bisa Dianggap Enteng

Kelebihan yang dimiliki Pakde Karwo dibanding kader-kader demokrat yang lain adalah bisa diterima semua kalangan dan lintas parpol. Bahkan suara demokrat di Jatim sangat bergantung pada sosok Soekarwo bukan sebaliknya.

“Vote DPD PD Jatim yang lebih mendukung Jokowi di Pilpres adalah bentuk bargaining Pakde Karwo supaya DPP memperhatikan aspirasi Jatim,” ungkap Surokim.

Masuknya nama Pakde Karwo dalam wacana kepemimpinan nasional jelas memiliki multiplayer effect bagi partai demokrat karena ada dinamisasi dan demokratisasi di tubuh partai demokrat yang tak lagi semua bergantung pada SBY atau masuk istilah Asal Bapak Senang (ABS).

“Kalau upaya Pakde Karwo dihargai demokrat, maka partai ini akan bisa menjadi partai modern untuk semua kalangan. Sebaliknya, jika demokrat membikin barier (penghalang) terhadap langkah Pakde Karwo, maka demokrat sulit menjadi partai modern,” tegas peneliti senior Surabaya Survey Center ini.

Terpisah, Pakde Karwo mengaku hingga saat ini belum menerima undangan dari DPP PD untuk mengikuti rapat Majelis Tinggi di Jakarta untuk membahas menentukan arah koalisi dan dukungan partai di Pilpres mendatang.

“Majelis Tinggi Demokrat akan menggelar dua kali rapat sebelum menentukan sikap. Rencananya Sabtu (4/8) besok tapi sampai saat ini saya belum terima undangan,” ujarnya.

Diakui Soekarwo, sebagai bagian struktur partai otomatis dirinya akan mengikuti instruksi yang akan diputuskan DPP Partai Demokrat. Namun secara pribadi itu tidak bisa dipublikasikan.

“Hasil suara Demokrat Jatim yang lebih mendukung Pak Jokowi sudah saya sampaikan ke DPP. Itu juga untuk melaksanakan instruksi DPP,” ungkap Pakde Karwo.

Tampak Pakde Karwo (dua dari kanan) dalam sebuah diskusi. (FT/SUUD)

Menurut Surokim jika DPP Partai Demokrat sengaja membikin barier atas sikap Pakde Karwo yang cenderung berseberangan, maka sejatinya Pakde Karwo telah memenangkan diskursus di internal demokrat. Terlebih publik juga sudah mengetahui bahwa demokrat menolak koalisi mendukung Jokowi adalah bukan alasan ideologis, tapi cenderung privat antara SBY yang berselisih dengan Megawati.

“Tapi bisa jadi semua akrobat politik elit demokrat ini sejatinya bagian dari permainan. Strategi politik tingkat tinggi yang, dimainkan oleh SBY dan Pakde Karwo yang tak bisa dipandang enteng dalam wacana kepemimpinan nasional mendatang,” pungkas Surokim Abdussalam. (ud)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry