Suasana diskusi MEP dengan lembaga Islam masyarakat, Benevelonce di Melbourne. (IST)

AUSTRALIA | duta.co — Australia-Indonesia Institute (AII) bekerjasama dengan Universitas Paramadina kembali memanggil tokoh Muda Muslim Indonesia untuk berpartisipasi dalam Australia-Indonesia Muslim Exchange Program (MEP) 2018.

MEP adalah program unggulan pemerintah Australia yang digelar semenjak 2002. Program tahunan MEP bertujuan untuk membangun hubungan baik antara masyarakat Muslim Australia dan Indonesia melalui peningkatan pemahaman dan pengertian peranan agama dalam masyarakat di masing-masing negara.

“Tiap tahun kami menerima ratusan lamaran untuk program MEP. Pesertanya selalu memiliki jaringan komunitas yang luas, dengan latarbelakang yang beragam dan menarik,” demikian disampaikan Direktur MEP, Rowan Gould pada releasenya yang diterima duta.co, Selasa (22/8/2017).

Hingga tahun 2017, tercatat sudah 68 alumni program yang berasal dari Australia dan 164 dari Indonesia. Mereka adalah tokoh dengan latarbelakang seperti para akademisi, pemimpin organisasi Islam dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), guru pesantren, seniman, penulis dan yang lain.

Peminat program diundang mendaftarkan diri melalui formulir yang terdapat di situs web Paramadina (bit.ly/mep2018upm) sebelum tanggal 8 September 2017. Syarat-syarat pendaftaran maupun formulir terdapat di situs web tersebut dan hasil proses seleksi tahap awal akan diumumkan pada tanggal 16 Oktober 2017.

Program ini meliputi kegiatan kunjungan selama dua minggu ke Australia oleh tokoh muda Muslim dari Indonesia dan kunjungan dua minggu ke Indonesia oleh mitra mereka dari Australia. Interaksi dan dialog langsung peserta dengan komunitas Muslim dan agama lain di kedua negara diharapkan dapat memberikan informasi dan pemahaman yang mendalam mengenai masyarakat di kedua negara.

Peserta dari Indonesia akan berkunjung ke Melbourne, Sydney dan Canberra untuk bertemu dengan para pemimpin agama dan masyarakat serta memperoleh pengalaman kehidupan multi budaya Australia.

Oki Setiana Dewi, Peserta MEP 2017 yang pernah membintangi film Ketika Cinta Bertasbih, menceritakan pengalamannya selama mengikuti program ini.

“Indonesia-Australia bertetangga, tapi saya merasa begitu ‘jauh’ dengan Australia. Saya belajar banyak tentang ‘celebrating diversity’ dari berbagai dialog yang dilakukan selama di Australia. Kunjungan saya membuka mata saya melihat betapa luasnya dunia.  Semua orang bebas menjelaskan keyakinannya masing-masing di ruang publik. Bersemangat untuk saling mengenal, saling terbuka, saling menghormati. (Australia) benar-benar masyarakat multi-budaya,” kisahnya.

Peserta MEP 2017 lainnya, Prosmala Hadisaputra, kepala program Dinniyah di Pondok Pesantren Selaparang, Lombok Barat, mengatakan bahwa melalui program ini, peserta dapat belajar untuk menghormati keberagaman, termasuk bagaimana masyarakat di Australia menghargai Islam sebagai salah satu agama yang dipraktikkan dengan bebas di sana.

Syamsul Arief Galib, Dosen di Universitas Islam Negeri Alauiddin Makassar yang juga peserta MEP 2017 juga menceritakan pengalamannya. “Saya belajar banyak hal dari program ini. Saya belajar bagaimana masyarakat (di Australia) menerima keberagaman secara terbuka dan tidak melihatnya sebagai ancaman bagi identitas mereka,” ujarnya.

Pengalaman menarik lainnya disampaikan oleh Umar Werfete, peserta MEP 2016 dari Papua. Sebagaimana yang ia sampaikan ke Australia Plus tertanggal 25 November 2016, Umar mengakui belajar banyak mengenai betapa pentingya mengenal dan berempati dengan kelompok minoritas.

“Saya mengunjungi komunitas Afghanistan yang sudah lama menjadi warga Australia. Tapi mereka terlihat bahagia dan tidak merasa diri mereka imigran lagi dan masyarakat di sana juga mendukung. Situasi ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan di Papua, bagaimana negara mengakui masyarakat asli dengan pendatang,” katanya.

Yanuardi Syukur, peserta MEP 2015, mengkompilasi narasi pengalaman dari 77 peserta MEP dari berbagai generasi dalam buku Hidup Damai di Negeri Multikultur yang diterbitkan Gramedia dan di-launching pada bulan Mei 2017 lalu di Jakarta.

Setelah menyelsaikan program ini, para peserta membawa pengalaman mereka ke dalam konteks masyarakat mereka masing-masing. Di sinilah pengalaman peserta memberikan kontribusi bagi masyarakat luas.

“MEP dampaknya luar biasa sekali. Walau setiap batch 5 orang, namun di belakang 5 orang itu ada ratusan bahkan ribuan orang yang akan mendapatkan manfaatnya,” ujar peserta MEP 2017 yang juga manager di program Dompet Dhuafa, Sekolah Guru Indonesia, Cicih Kurniasih.

Misalnya, Oki Setiana Dewi mengaku akan berbagi pengalamannya melihat kehidupan Islam di Australia dengan setidaknya 30 juta pemirsa program Islam Itu Indah yang dibawakannya.

Berbeda dari Oki, Umar Werfete menerjemahkan pengalamannya di Australia dengan menggelar kegiatan dialog lintas agama di kalangan anak-anak muda.

“Dalam pertemuan ini saya undang mahasiswa dan anak-anak muda yang berbeda iman dan keyakinan untuk bicara-bicara santai. Tujuannya agar mereka bisa saling mengenal dan berbicara satu sama lain. Ini langkah penting yang menurut saya perlu dilakukan agar mereka menjadi terbiasa, akrab dan terbuka satu sama lain,” ungkap tokoh muda asal Papua ini.

Para peserta sepakat bahwa MEP memiliki arti penting bagi peningkatan hubungan dan ke-saling-pahaman antara masyarakat kedua negara. Bagi Fahmi Syahirul Alim, peserta MEP 2017 dan Program Manager di lembaga swadaya Masyarakat International Centre for Islam and Pluralism (ICIP) Jakarta, MEP memiliki arti penting untuk memperkuat hubungan people-to-people antara Indonesia-Australia. MEP semakin memperkuat pemahaman Islam antara dua negara.

Cicih Kurniasih juga mengatakan bahwa MEP sangat dibutuhkan, yakni sebagai jembatan antara warga Indonesia dengan Australia secara personal, dan bahkan lintas agama. (rls)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry