“Ala kulli hal, tetap selalu ada optimisme pada kehadiran AI di ranah kebijakan publik.”
Oleh Rosdiansyah
WARGA sering berkeluh-kesah terkait layanan di kantor-kantor pemerintahan dari tingkat pusat, provinsi sampai daerah. Keluhan terutama pada kelambanan, kurang responsif dan tak cepat tanggap. Keluhan semacam itu sudah bertahun-tahun. Meski kini keluhan itu juga menjadi bagian dari upaya birokrasi mereformasi diri. Mengubah diri menjadi lebih cepat dan tanggap melayani warga. Terutama untuk menyajikan informasi layanan apa saja yang dibutuhkan warga.
Bayangkan, jika ada sebuah ”chatbot” yang ditaruh di depan meja layanan publik di sebuah kantor kelurahan atau kantor desa dalam sebuah kabupaten atau kota. Lalu, siapapun warga yang datang ke kantor itu dan butuh layanan yang disediakan kantor tersebut, bisa bertanya langsung ke ”chatbot”. Pengunjung bisa langsung berinteraksi ke ”chatbot”. Apapun pertanyaan warga pengunjung, dijawab ”chatbot”. Tidak ada kendala karena serumit apapun pertanyaan yang diajukan, langsung dijawab ”chatbot”.
Penerima manfaat (beneficiaries) layanan publik, seperti warga daerah, tak lagi dilayani staf atau petugas kantor kelurahan atau pegawai kantor desa. Warga dipersilakan bertanya apapun pada ”chatbot”, dan ”chatbot” spontan menjawab sesuai pertanyaan yang diajukan. ”Chatbot” semacam ini adalah wujud nyata hasil kajian-kajian terhadap kapasitas kognitif manusia yang secara spesifik dilakukan selama ini.
Dan kajian-kajian kognitif ini masuk ke dalam wilayah kajian kecerdasan buatan yang beken disebut ”Artificial Intelligence” (AI). Kantor-kantor pemerintahan perlahan namun pasti sudah mulai memakai jasa ”chatbot” tersebut. Tujuannya, demi efektivitas dan efisiensi. Ini mengulang keberhasilan manusia sekian abad silam, ketika pertama kali melakukan mekanisasi lewat mesin demi mendongkrak produktivitas, efektivitas dan efisiensi.
Jika kita pernah menonton film ”Iron Man”, kita menyaksikan bagaimana Tony Stark, sang Iron Man, berkomunikasi dengan JARVIS (akronim dari Just a Rather Very Intelligent System/ Sekadar sistem yang sangat cerdas). JARVIS karakter fiksi sebuah kecerdasan buatan yang mampu berinteraksi dengan manusia. Ia membantu Tony Stark mewujudkan berbagai impian. Termasuk membuat baju zirah pelindung canggih. Itu dalam film fiksi besutan Marvel.
Dalam dunia nyata saat ini, kita menyaksikan penggunaan AI sudah jauh menjangkau kebutuhan umat manusia. Penggunaan ”chatbot” mirip dengan peran serta fungsi JARVIS. Bedanya, ”chatbot” masih dalam ranah terbatas memenuhi informasi layanan publik. Istilahnya, ”Apa yang anda tanya, chatbot sanggup menjawabnya”. Dan pertanyaan-pertanyaan publik terkait layanan memang fokus serta terbatas pada layanan tersebut. Belum meluas pada berbagai opsi kemungkinan atau terobosan layanan publik. Kalau soal ini, perangkat AI belum tentu mampu menjawabnya.
Sebanyak 51 penulis mengupas berbagai dimensi AI itu dalam kebijakan publik di buku ini. Mereka berasal dari berbagai latar-belakang. Sebagian besar dari mereka adalah gurubesar berbagai disiplin keilmuan. Sebanyak empat bagian buku ini memuat 31 artikel menarik, yang bukan saja melihat dampak AI terhadap layanan publik atau pengaruhnya pada kebijakan publik. Namun, mereka juga melihat pengaruh kehadiran AI untuk merancang regulasi, aturan, prosedur serta bagaimana standar operasi pemakaian AI di lapangan.
Tentu saja, siapapun yang menggunakan AI tetap harus melihat ketersediaan infrastruktur di lapangan. Misalnya, jika kantor pemerintahan di sebuah desa ternyata masih kesulitan pasokan listrik, maka tentu saja ”chatbot” yang dipasang di kantor itu mendadak sekadar menjadi pajangan setelah diresmikan.
Ala kulli hal, tetap selalu ada optimisme pada kehadiran AI di ranah kebijakan publik. Setidaknya, kehadiran AI itu bisa memperkuat semangat reformasi birokrasi yang bertumpu pada adagium ”Jika bisa dipermudah, maka jangan dipersulit”.*