Agus Wahyudi, SSos, MPd – Dosen Program Studi PGSD FKIP

PERMASALAHAN lingkungan atau wawasan ekologi hampir tidak mendapatkan tempat dalam agama tak terkecuali Islam.

Agama “mampu” berbicara panjang lebar dan detail mengenai “dunia lain” (baca, alam akhirat beserta isinya: surga, neraka, malaikat, bidadari dll), ibadah ritual (salat, puasa, zikir beserta pernik-perniknya), teologi (sifat Tuhan, zat Tuhan dan setrusnya), moralitas individual dan lain-lain tetapi hampir-hampir tidak menyinggung masalah dunia ekologi (lingkungan hidup).

Padahal lingkungan adalah masalah yang sangat fundamental dalam kehidupan kita. Akibat orang tidak mengindahkan lingkungan, malapetaka terjadi di mana-mana.

Info Lebih Lengkap Buka Website Resmi Unusa

Bukankah banjir dan sejumlah penyakit mematikan seperti Demam Berdarah (DB), serta Virus Corona dimana saat ini menjadi ‘momok’ masyarakat dunia juga sangat terkait dengan masalah lingkungan?

Dunia dewasa ini tidak hanya terjangkit krisis ekonomi, krisis moneter, krisis moral, krisis politik, krisis iptek, krisis budaya dan sebagainya tetapi juga krisis lingkungan. Lihatlah pemandangan memerihkan dewasa ini: gempa, tsunami, banjir, tanah longsor, polusi, badai, cuaca yang labil dan sebagainya hampir datang bertubi-tubi, silih berganti.

Alam jagat raya ini seolah mengamuk dan destruktif sehingga menjadi ancaman serius bagi kehidupan manusia. Sudah tidak terhitung lagi berapa nyawa yang melayang, berapa jumlah anak yatim-piatu atau orang tua yang kehilangan buah hatinya yang masih tersisa, berapa jumlah harta benda dan properti lain yang amblas ditelan bencana.

Kenapa umat beragama (termasuk umat Islam) tidak menganggap penting masalah lingkungan sebagaimana ibadah ritual-individual? Kenapa umat Islam tidak tertarik melakukan penghijauan, kebersihan dan kegiatan lain yang bernuansa “ramah lingkungan” dan mencegah berbagai madlarat (ekses negatif) yang mungkin ditimbulkan dari alam yang tidak sehat?

Sebaliknya, kenapa umat Islam lebih bergairah mengikuti aktivitas rohani: pengajian, dzikir nasional, istighatsah dan semacamnya? Kenapa, meskipun bencana alam sudah terjadi sejak zaman purba bersamaan dengan kehidupan manusia, umat beragama tidak kunjung merenovasi wawasan keagamaan dan teologinya—sebuah wawasan keagamaan atau teologi yang berbasis ekologi atau katakanlah wawasan eko-teologi?

Dan kenapa pula setiap terjadi bencana atau malapetaka, umat beragama dengan enteng tanpa beban dan perasaan dosa sedikitpun menganggap (menuduh?) sebagai takdir Tuhan? Sebagai cobaan atau azab dari Tuhan.

Tuhan selalu “dikambinghitamkan” setiap terjadi malapetaka. Hampir-hampir tidak pernah, kita, menuduh diri kita sendiri sebagai subyek yang bertanggung jawab terhadap malapetaka dan bencana tadi. Karena adanya keyakinan bahwa setiap malapetaka sebagai “siksa” atau “cobaan” dari Tuhan, maka setiap kali terjadi peristiwa yang menyayat kalbu itu, yang dilakukan umat beragama adalah berdo’a, mohon ampun, istighatsah, menggelar zikir nasional sambil nangis-nangis dan seterusnya.

Saya tidak meremehkan aktivitas ritual batin semacam ini akan tetapi “terapi spiritual” jenis ini di samping merendahkan (bahkan “mengolok-olok”) martabat Tuhan karena menganggap-Nya sebagai zat yang “Maha Buas”, juga dengan cara demikian berarti kita hendak “cuci tangan”—melepaskan tanggung jawab—dari musibah kemanusiaan itu.

Padahal, jika kita menggunakan perspektif Schumacher dalam A Guide for the Perplexed, masalah krisis lingkungan ini sangat terkait dengan krisis kemanusiaan, dengan moralitas sosial serta krisis orientasi kita terhadap Tuhan! Mengikuti kerangka berpikir Schumacher ini, maka seharusnya kita—manusia—yang dipersalahkan dan bukannya Tuhan.

Kitalah yang melakukan berbagai tindakan destruktif terhadap alam semesta. Perusakan lingkungan, penebangan liar, eksploitasi properti alam secara besar-besaran dan segala tindakan merusak alam lain merupakan “sumber” malapetaka dan bencana tadi. Bukankah Alqur’an sendiri juga telah mengingatkan bahwa “Kerusakan di darat dan laut adalah akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab”? Jika Alqur’an sendiri menganggap manusia sebagai “master mind” dari kerusakan lingkungan, lalu kenapa kita justru menyalahkan Tuhan?

Bukankah, kita umat manusia—jika mengikuti alur cerita kitab-suci Agama Semit—pada dasarnya “terlempar” ke dunia yang gersang dan tandus ini juga akibat kecerobohan Adam yang tidak mengindahkan ajaran fundamental Tuhan, yakni kearifan ekologis? Sebab Adam dan Hawa (Eva) telah memakan dan merusak pohon kekekalan. (*/bersambung)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry