Suasana Sarasehan Pendidikan Politik: Wawasan Kebangsaan Perspektif Aswaja, di kantor PCNU Jember. (FT/NUO)

SURABAYA | duta.co – Pilpres dan Pileg 2019 ternyata sudah menjadi rasan-rasan banyak pihak. Bukan hanya politisi, warga NU pun sudah mengambil ancang-ancang, bagaimana perjuangan politik Islam Aswaja di Indonesia di masa-masa yang akan datang.

Suara warga NU diyakini mencapai 36 persen secara nasional, dan itu belum pernah bersatu di era reformasi ini. Itulah sebabnya, PCNU Jember menggelar Sarasehan Pendidikan Politik: Wawasan Kebangsaan Perspektif Aswaja, di kantor PCNU Jember, Kamis (30/11) siang.

Salah satu harapan yang muncul dalam sarasehan itu, adalah bagaimana menyatukan suara NU dalam satu suara. “Kalau suara NU kuat, misalnya semua yang menjadi anggota NU, yaitu 36 persen, bergabung dalam satu partai, insyaallah partainya bisa nomor satu. Kalau partai nomor satu, pasti bisa mengusung presiden,” demikian disampaikan Kiai M.N. Harisudin, Katib Syuriyah PCNU Jember.

Dosen Pascasarjana IAIN Jember ini memaparkan pentingnya perjuangan Islam Aswaja di parlemen. Menurutnya suara parlemen yang kuat akan memudahkan regulasi untuk menguatkan perjuangan Aswaja di parlemen.  “Kita potong virus radikalisme melalui regulasi di parlemen,” tambah Wakil Ketua PW Lembaga Ta’lif wa AN-Nasyr  (LTN) NU JawaTimur itu sambil menyayangkan suara NU yang masih kecil, sehingga belum maksimal.

Sementara, anggota DPRD Jawa Timur, H Miftahul Ulum berpesan dalam pemilu nanti masyarakat menyampaikan aspirasi melalui partai yang peduli dengan kepentingan agama. Lebih-lebih yang menjadikan ajaran Aswaja sebagai landasan dasarnya. Selama ini, diakui atau tidak, banyak partai Islam yang sudah menjadi partai terbuka. Tidak lagi menjadikan Islam sebagai asas.

Ketua Umum PPKN (Pergerakan Penganut khitthah Nahdliyah), Mahfud M Nor, kurang setuju dengan pengelompokan nahdliyin dalam satu partai. Di samping impossible, bukan jamannya, partai yang mau dipilih sebagai satu-satunya wadah, sudah tidak ada.

“Kalau yang berasaskan Islam, ada PPP. Tetapi, di sana bukan hanya warga NU. Kelebihan PPP ada KH Maimun Zubair, seorang alim, faqih sekaligus muharrik (penggerak),” tegas Mahfud, Sabtu (02/12/2017) mengomentari Sarasehan Pendidikan Politik: Wawasan Kebangsaan Perspektif Aswaja di PCNU Jember.

Masih menurut Mahfud, saat ini hanya Mbah Mun yang patut menjadi imam politik. Di samping beliau konsisten berada di barisan PPP, beliau juga konsisten dalam menjaga khitthah NU. “Kita bisa lihat sendiri, betapa beliau santun berpolitik. Tidak ingin menarik pengurus NU untuk membesarkan PPP, berbeda dengan partai yang merasa paling NU, sehingga dengan seenaknya menjadikan pengurus NU itu sebagai pion politik,” tambahnya.

Siapa yang tidak mengenal KH Maimun Zubair, seorang alim, yang menjadi rujukan ulama Indonesia, dalam bidang fiqih. Mbah Maimun menguasai secara mendalam ilmu fiqh dan ushul fiqh. Beliau merupakan kawan karib Kiai Sahal Mahfudh, yang sama-sama santri kelana di pesantren-pesantren Jawa, sekaligus mendalami ilmu di tanah Hijaz.

Mbah Maimun lahir di Sarang, Rembang, pada 28 Oktober 1928. Kiai sepuh ini, mengasuh pesantren al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Beliau merupakan putra dari Kiai Zubair, Sarang, seorang alim dan faqih. Kiai Zubair merupakan murid dari Syaikh Saíd al-Yamani serta Syaikh Hasan al-Yamani al-Makky.

Santri Mbah Maimun menyebar di hampir seluruh pelosok negeri. Tidak salah, kalau kemudian nahdliyin menjadikan beliau sebagai imam politik saat ini. “Santri beliau ada di mana-mana. Kalau soal bagaimana perjuangan politik Islam Aswaja di Indonesia, maka, salah satu jalan adalah mengaji politik ke Mbah Maimun,” tegas Mahfud. (mky,nuo)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry