Warga pemegang Sura Ijo di Kota Surabaya terus ‘menggempur’ BPN. Mereka demo. Mungkinkah Pemkot Surabaya luluh? Catatan Dr Sukaryanto (alm) soal konflik ini menari dicermati. Catatan tersebut disadur ulang Dr Taufik Iman Santoso. Berikut diturunkan duta.co secara bersambung:
Konflik Tanah Surat Ijo di Surabaya (Sebuah Perspektif Teoretik-Resolutif)
Oleh Alm. Dr. Sukaryanto
Disadur kembali Oleh Dr,Taufik Iman Santoso SH,Mhun
SELAMA ini, paradigma tata kelola tanah di Indonesia masih jauh dari sempurna, masih terpengaruh oleh spirit paradigma pengelolaan tanah zaman kolonial yang berasaskan domein verklaring.
Sebagai dampaknya, banyak terjadi ketidakadilan bagi warga pribumi. Peristiwa-peristiwa gerakan sosial seperti gerakan Ratu Adil, mesianistik, kepribumina/natvistik, dan lain-lain yang terjadi selama Abad XIX hingga paruh pertama Abad XX merupakan indikasi terjadinya ketidakadilan.
Pemerintah kolonial telah secara nyata memposisikan rakyat pribumi sebagai obyek, bahkan sebagai “stranger” di negeri sendiri.
Kasus tanah surat ijo merupakan satu fenomena kekinian yang tidak lepas dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia, khususnya dalam hal tata kelola tanah.
Paradigma penyewaan tanah di kota Surabaya yang didasarkan pada Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 22 Tahun 1977 tentang Ijin Pemakaian Tanah merupakan indikasi masih bercokolnya semangat kolonialisme pada era kemerdekaan.
Rakyat sebagai penyewa dan Pemerintah Kota Surabaya sebagai pihak yang menyewakan tanah. Tak pelak legislasi itu menuai protes dari warga penghuni tanah surat ijo.
Jadi, dalam sistem IPT itu kemungkinan kurang/tidak mempertimbangkan aspek keadilan sosial bagi warga penghuni tanah surat ijo.
Bahkan, menurut warga penghuni, kebijakan tentang IPT itu kurang/tidak sesuai dengan peraturan yang ada (UUPA); dan juga tidak sesuai dengan motto Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia: “Tanah untuk Kesejahteraan Rakyat”.
Berdasarkan hal itu, diharapkan hasil penelitian ini bisa bermanfaat bagi pihak-pihak terkait, seperti Pemerintah Kota Surabaya, DPRD Kota Surabaya, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, termasuk bermanfaat untuk para akademisi hukum pertanahan, ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, dan akademisi ilmu-ilmu sosial/humaniora lainnya
KAJIAN LITERATUR
Tema tentang tanah surat ijo di Surabaya telah menjadi sorotan publik secara nasional, bahkan internasional. Hal itu terbukti dengan diangkatnya menjadi sebuah tinjauan dalam Jurnal Pertanahan BPN Pusat dan beberapa penelitian lembaga terkait.
Di samping itu, juga telah mendapat perhatian Menteri Agraria dan Tata Ruang, Ferry Mursyidan Baldan (2014) yang menganjurkan agar persoalan tanah surat hijau segera diselesaikan. Salah satunya, penelitian yang dilakukan oleh tim Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta, Binsar Simbolon, dkk. “Surat Hijau di Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur”.
Di dalam Laporan Penelitian itu, disoroti masalah tanah surat ijo di Surabaya dari dua sudut pandang, yakni hukum dan sosial. Di dalam analisis hukum dinyatakan bahwa Pemkot Surabaya dan DPRD Kota Surabaya telah memberlakukan surat Izin Pemakaian Tanah (IPT) kepada warga yang tinggal di atas tanah negara.
Berdasarkan amatan mereka, pemkot Surabaya telah memberlakukan kembali asas domeinverklaring dan sistem sewa tanah, yang sebetulnya sudah tidak boleh diberlakukan lagi di Indonesia pada era kemerdekaan.
Di dalam analisis sosial, surat IPT telah memberatkan beban kehidupan warga penghuni. Oleh karena itu, keberadaan surat IPT telah memantik resistensi dari warga penghuni. Selain itu, dinyatakan bahwa tanah negara yang dinyatakan sebagai aset Pemerintah Kota Surabaya merupakan bentuk pengalihan isue pertanahan menjadi isue barang milik daerah/negara. Konsekuensi atas sebutan aset itu adalah memustahilkan warga untuk menyertifikatkan tanah negara yang dihuni itu untuk menjadi hak milik.
Pada bagian akhir, tim merekomendasikan untuk mencapai harmoni sosial perlu dirumuskan kebijakan nasional yang terbebas dari roh peraturan perundangan zaman kolonial yang berprinsip domeinverklaring seperti di atas.
Kasus tanah surat ijo harus diselesaikan dalam rangka negara kemerdekaan, dalam arti didasarkan peraturan perundangan yang sesuai roh Pasal 33 (3) UUD 1945 dan UUPA 1960. Untuk itu perlu diberikan HGB agar kemudian kelak bisa disertifikatkan secara SHM.
Selain itu dalam tulisan Ratna Djuita dan Indriayati, peneliti BPN Pusat, dalam Jurnal Pertanahan No. 1 Tahun 2011 yang diterbitkan BPN-RI yang menyatakan bahwa pemberlakuan surat IPT merupakan satu bentuk varian pemanfaatan tanah negara oleh pemerintah daerah.
Kedua peneliti itu menegaskan bahwa keberadaan surat IPT bisa menimbulkan persepsi adanya “Negara di dalam Negara”. Status IPT merupakan status buatan Pemkot Surabaya dan tidak dikenal dalam UUPA 1960, dan oleh karena itu ada peluang timbulnya anggapan sebagai hal yang illegal, yang selanjutnya bisa menimbulkan keadilan sosial yang bisa menimbulkan disharmoni sosial.
Berdasarkan beberapa pustaka di atas, tidak salah manakala dinyatakan bahwa Pemkot Surabaya telah mengelola tanah negara secara kurang/tidak sesuai dengan amanat peraturan dasar pertanahan yang ada.
Bahkan, berdasarkan hal itu, di kalangan warga penghuni menyebut Kota Surabaya secara plesetan sebagai “Negara Republik Surabaya”, malahan ada yang lebih sinis menyebut sebagai “Negara Kolonial Surabaya”.
Riset ini bertujuan untuk memahami dan menjelaskan faktor penyebab dan motivasi gerakan perlawanan/perjuangan warga penghuni tanah surat ijo dalam memperoleh hak milik atas tanah hunian.
Jadi, konsep utama dalam riset ini adalah gerakan perlawanan warga tanah surat ijo di Surabaya. Kemudian juga dibahas tentang beberapa konsep yang terkait dengan gerakan perlawanan, seperti tentang tanah partikelir, hak atas tanah (land right), tanah negara, keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, dan lain-lain yang terkait. (bersambung)