‘Crossing’ keras ini membuat ‘penjaga gawang’ Gus Ipul-Puti kelabakan. Gus Fahrur (KH Dr Achmad Fahrur Rozi) merespon cepat, mengatakan, bahwa pernyataan Cak Anam itu suul adab, bukan akhlak santri sama sekali. Debatable di kalangan santri pun, tak terelakkan.
Oleh: Mokhammad Kaiyis*

SATU pertanyaan yang sulit dijawab saat kampanye Pilgub Jawa Timur 2018 kemarin. Mengapa para santri yang tergabung dalam PPKN (Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah) berani suul adab ‘melawan’ kiai struktural NU pendukung Gus Ipul-Puti?

Pertanyaan ini datang dari sesama nahdliyin, bahkan sesama wartawan di luar komunitas NU. Sulit dijawab, karena masih dalam masa kampanye Pilgub, di mana PPKN sedang berjuang keras memenangkan Khofifah-Emil. Seluas apa pun jawabannya, sejelas apa pun argumentasi, orang pasti menuduh politis.

Pertanyaan di atas berawal dari pernyataan Sekjen PKB Abdul Kadir Karding yang menyatakan kalau Gus Ipul-Puti kalah, maka kiai-kiai bisa kehilangan muka. “Mas Ipul yang didukung kiai keseluruhan akan menjadi pertaruhan. Kalau kalah, kiai-kiai bisa kehilangan muka. Karena seluruh kiai yang punya basis besar dan karismatik hampir seluruhnya ke Gus Ipul.”

“Jadi saya tidak terlalu khawatir dengan survei ini karena mungkin mesin dan pendukung ibarat motor Honda panasnya belakangan,” kata Karding dalam pemaparan hasil survei Poltracking terkait pilkada Jawa Timur, di Hotel Saripan Pasific, Jakarta, Minggu, 18 Maret 2018. (https://www.viva.co.id/berita/politik/1017612-pkb-kiai-kehilangan-muka-kalau-gus-ipul-kalah.)

Mengomentari statemen Sekjen PKB ini, ibarat main bola, Cak Anam (Drs H Choirul Anam) — mantan Ketua DPW PKB Jatim — langsung melakukan ‘crossing’ (umpan silang). Pernyataan Karding dinilai wajar, karena partai yang dianggap berhasil ‘menyisihkan’ barisan Gus Dur ini, bisanya hanya menggunakan kiai untuk merebut kekuasaan. Tetapi, menurut Cak Anam, tidak akan ada kiai kehilangan muka, kecuali yang larut dalam kontrak kekuasaan.

‘Crossing’ keras ini membuat ‘penjaga gawang’ Gus Ipul-Puti kelabakan. Gus Fahrur (KH Dr Achmad Fahrur Rozi) merespon cepat, mengatakan, bahwa pernyataan Cak Anam itu suul adab, bukan akhlak santri sama sekali. Debatable di kalangan santri pun, tak terelakkan.

Ahmad Yani Albanis (dari kiri), KH Suyuthi Toha dan KH Afifuddin Muhajir. (FT/IST)

Sekarang, coblosan sudah selesai. Dari hitung cepat (quick count) seluruh lembaga survey telah membuat ijma (kesekapatan) bahwa pasangan Khofifah-Emil yang memenangkan Pilgub Jatim. Soal siapa juara sesungguhnya, dilantik menjadi gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur? Tunggu hasil rekap KPU.

Tetapi, tuduhan suud adab, ini perlu dijelaskan. Ada dua alasan mengapa PPKN harus memenangkan Khofifah-Emil? Dan ini terpaksa berdampak ‘silang’ dengan pilihan sejumlah kiai.

Pertama, dilihat dari segi apa pun keduanya kader terbaik NU untuk memimpin Jawa Timur lima tahun ke depan. Orang lain, barangkali, butuh waktu menunggu debat publik KPU, tetapi, bagi nahdliyin keduanya sudah masuk ‘radar’ sebagai kader hebat.

Khusus untuk posisi cawagub, dua belas tahun silam, nama Emil sudah mewarnai perjuangan PCI NU Jepang sebagai Koordinator Hubungan Birokrat. Keunggulan Emil tampak jelas ketika memimpin Kabupaten Trenggalek. Dia dinilai paling tepat mendampingi Khofifah, yang sudah puluhan tahun mengabdi memimpin Muslimat NU, sampai-sampai organisasi ini dinobatkan sebagai Banom terbaik PBNU.

Kedua, tidak mungkin mengabaikan keprihatinan kiai pesantren terhadap proses muktamar ke-33 NU di Jombang yang berujung politisasi organisasi secara massif. Prosesi muktamar ke-33 yang buruk ini, melahirkan sinisme baru, NU sudah menjadi ‘Banom PKB’. Fakta lain, praktek politik praktis yang dilakukan oleh sejumlah pengurus NU, diakui atau tidak, semakin hari semakin vulgar. Lihatlah ‘perang fatwa’ antarkiai di Pilgub Jatim yang harus selesaii tanpa ‘penyelesaian’.

Yang terakhir ini mengingatkan kita pada pesan penting KH Afifuddin Muhajir, naib mudir (wakil direktur) Ma’had Aly PP Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo, bahwa, muktamar ke-33 NU di Alun-alun Jombang bukannya menyelesaikan masalah, justru menjadi sumber masalah. Muncullah bahtsul masail tentang sah dan tidaknya muktamar ke-33 atau bahkan masuk sebuah gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Bu Nyai Mahfudhoh Wahab (FT/BAGUSS)

Wakila, diceritakan, Hadratus Syaikh KH M Hasyim Asy’ari sudah menangis menyaksikan proses muktamar ke-32 yang diduga diwarnai politik uang. Salah seorang kader muda NU alumnus Pesantren Tebuireng, menyebut dirinya pencinta buku, sastra dan kopi, menulis cerita tersebut di media tebuireng.online (https://tebuireng.online/ada-daging-babi-di-muktamar-nu/‎)

Ceritanya begini: Seorang kiai sepuh mengisahkan mimpinya yang cukup mencemaskan. Ketika itu beliau baru saja pulang menghadiri Muktamar ke-32 NU di Makassar pada 2010. Dalam mimpinya, kiai itu bertemu sang pendiri NU Hadratus Syaikh KH M Hasyim Asy’ari di sebuah lapangan luas. Hadratus Syaikh tampak senyum bahagia karena di lapangan itu berkumpul ribuan bahkan jutaan warga nahdliyin.

Tetapi, tiba-tiba Hadratus Syaikh heran mengapa dirinya diabaikan, sedangkan mereka pada berpaling dan berebut sesuatu di tengah lapangan. Dengan segera Hadratus Syaikh menuju tempat pusat perhatian tersebut. Betapa kecewanya beliau ketika didapati yang menjadi rebutan adalah ‘daging babi’. Astaghfirullah wa na’udzubillah.

Masih dalam cerita tersebut, sang penulis kisah mengakui, kalau dirinya merupakan pihak ketiga yang mendengar cerita di atas, alias bukan pendengar langsung. Tentang kebenaran mimpi dan apa yang terjadi sesungguhnya di Muktamar NU di Makassar, tidak tahu pasti. Tetapi, berangkat dari cerita mimpi itu, ia menjadi penasaran hingga menelusuri kisah-kisah lainnya.

Seorang tokoh pun menuturkan, ia merasa miris menyaksikan apa yang terjadi di Muktamar NU di Makassar. Kata dia, pemilihan ketua yang seharusnya dilaksanakan malam hari ditunda di keesokan hari. Dan ternyata, malam hari menjelang pemilihan itu, uang bermobil-mobil mengalir ke peserta muktamar. Sehingga suara muktamirin pun beralih, dan kemenangan di pihak ‘pembawa uang’.

Mimpi kiai sepuh di atas nyata adanya. ‘Daging babi’ yang dimaksud adalah uang dalam amplop yang jelas-jelas haram. Fakta ini tidak pantas untuk ditulis karena ‘pahit’. Namun, bukankah yang ‘pahit’ adalah ‘obat’, agar generasi selanjutnya sehat dari berbagai penyakit dan virus termasuk ‘daging babi’ masa lalu.

Nah, Muktamar ke-32 NU di Makassar pada 2010 mestinya menjadi pelajaran bersama. Sehingga tidak muncul pada muktamar ke-33 berikut. Alih-alih menjadi pelajaran,  faktanya muktamar ke-33 Jombang justru dinilai sebagai muktamar terburuk dalam sejarah. “Dalam sejarah muktamar NU, pelaksanaan di Jombang termasuk yang paling buruk,” demikian Andi Jamaro Dulung salah satu mantan Ketua PBNU era KH Hasyim Muzadi dalam keterangan persnya di Media Center PWI Jombang, Minggu (2/8/2015).

Stigma muktamar terburuk ini, memang subyektif, tetapi, secara obyektif kita dihadapkan dengan fakta yang tidak terbantahkan, adalah digelarnya bahtsul masail keabsahan muktamar dan gugatan ke PTUN. Padahal, sepanjang sejarah NU, tidak pernah ada bahtsul masail tentang keabsahan muktamar.

Gus Solah. Keterangan foto beritafoto.net

Lalu, apa kaitannya dengan Pilgub Jatim? Sebagai ketua panitia daerah Muktamar ke-33 di Jombang, Gus Ipul (Saifullah Yusuf) ‘diminta’ bertanggungjawab. Bukan hanya soal ruwetnya prosesi muktamar, bukan pula mengapa muktamar berjalan di Alun-Alun bukan di pondok pesantren? Lebih dari itu, muktamar sudah diwarnai kepentingan politik praktis, semakin menguatkan dominasi PKB demi merebut kekuasaan.

Maka, tidak perlu heran, kalau kemudian tokoh seperti KH Afifuddin Muhajir, yang selama ini jauh dari urusan politik praktis, tiba-tiba ikut bersusah payah memasuki pelataran Pilgub Jatim. Apalagi melihat cucu dan putra-putri pendiri NU seperti KH Salahuddin Wahid (Gus Solah), KH Hasib Wahab (Gus Hasib) dan Bu Nyai Mahfudhoh Wahab dengan meneteskan air mata, masuk dalam kisaran Pilgub. Ini menjadi isyarat kuat, bahwa, memenangkan Khofifah-Emil di samping untuk kemakmuran rakyat Jatim, adalah untuk menjaga agar NU tidak menjadi tunggangan politik.

Di sinilah, seakan ada ‘perintah’ dari Almaghfurlah KH Hasyim Asy’ari (Mbah Hasyim) dan KH Wahab Chasbullah (Mbah Wahab) melalui putra putri dan cucunya agar nahdliyin guyub, rukun menjaga khitthah NU. Semoga tidak termasuk suul adab. Waallahu’alam. (*)

*Mokhammad Kaiyis, wartawan Duta Masyarakat, Pengurus PPKN.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry