“Masukan-masukan yang datang dari masyarakat seakan tidak pernah didengar oleh pemerintah, khususnya Kemenag.”

Oleh: Aguk Irawan MN

SALAH satu terobosan pelayanan haji 2024 yang luar biasa adalah meluncurkan tagline yang telah disosialisasikan secara masif “Haji Ramah Lansia”.

Mengapa ini penting dan luar biasa? Karena Rasulullah SAW pernah bersabda: “Penghormatan terhadap para lansia (muslim) adalah ketundukan kepada Tuhan.”

Beliau menegaskam lagi, “Berkah dan kebaikan abadi bersama para lansia kalian.” Dalam Islam, penuaan sebagai tanda dan simbol pengalaman dan ilmu.

Menurut catatan Kemenag, jemaah lansia Indonesia sekitar 21,41% atau 45.678 orang. Mereka berusia di atas 65 tahun.

Jubir Kemenag Anna Hasbie pernah menjelaskan, layanan jemaah haji lansia dan disabilitas menjadi prioritas Kemenag.

Sejumlah ikhtiar telah dilakukan, seperti menempatkan jemaah lansia pada kursi prioritas (bisnis) selama penerbangan, membuka kuota pendamping jemaah lansia, merilis senam haji dengan gerakan ramah lansia, bimbingan manasik yang mengedepankan rukhshah, menu makanan khusus, dan penempatan di kamar hotel lantai bawah.

Dari segi visi, misi dan ikhtiar, Kemenag sangat ideal. Di lapangan, tentu sudah banyak berjalan, tetapi sebagian lagi patut dipertanyakan dan bisa dievaluasi, sebab kenyataan di lapangan ada tidak seideal yang dibayangkan. Salah satunya yang memubuat penulis kaget adalah ketika menyaksikan sendiri layanan “komersial” untuk jemaah lansia dan disabilitas

Penulis siang yang terik ekstrim itu, 11 Juni 2024, bersama dengan timwas lainnya mendatangi terminal Syib Amir, yang berlokasi di wilayah Al-Hijrah, Makkah 24241.

Jujur, hati serasa teriris ketika mengingat tagline Kemenag “Haji Ramah Lansia.”

Tetapi setelah dicek, dari sekitar 500-an bus yang disewa oleh pemerintah Indonesia, tercatat hanya ada 20 armada yang mempunyai kursi duduk khusus untuk lansia.

Bahkan pengecekan di lapangan ternyata hanya ada 8. Sisanya sama seperti kursi orang normal.

Tidak cukup dengan itu, yang lebih menusuk jantung penulis, semula mengira bahwa setelah jemaah lansia dan disabilitas turun dari bus, mereka akan mendapatkan fasilitas layanan secara gratis untuk diantar ke Masjidil haram (thawaf dan sai).

Sebab disana, memang sudah banyak para petugas berseragam haji berwarna hitam-putih, khas petugas kita, dengan logo Haji Ramah Lansia. Mereka berkumpul dan bersiap-siap mendorong jemaah. Namun, ternyata mereka memungut bayaran sebesar 300-an riyal hingga 500, tergantung kesepakatan.

Tentu saja ini menimbulkan pertanyaan lain, bukankah petugas itu sudah digaji oleh negara? Kenapa masih ada tarif seperti juga jasa dorong lainnya, di luar petugas? Lalu apa kaitannya dengan tagline Haji Ramah Lansia ini? Bukankah ini bagian dari usaha dan bisnis dari orang yang berkebutuhan khusus? Sulit dikatakan pelayanan tulus dan pengabdian merah putih? Karena jikapun ada layanan, jemaah diperlakukan sebagai konsumen yang harus membayar atas setiap jenis layanan yang didapatkan. Jika memang harus begini, kenapa tega memasang tagline Haji Ramah Lansia dan Disabilitas.

Kepala Daerah Kerja (Daker) Makkah Khalilurrahman menyampaikan tarif jasa pendorong kursi roda yang membantu jamaah haji lansia untuk melakukan tawaf dan sai tidak jauh beda antara harga pada musim haji 2023 dan musim haji 2024. Jikapun ada selisih lebih mahal, itu hanya sedikit.

Pada tahun 2023, jamaah lansia cukup membayar jasa dorong kepada petugas resmi pada kisaran 300 Riyal Arab Saudi (SAR) hingga 500 SAR. Sedangkan tarif untuk tawaf sekaligus sai di luar puncak haji bisa 250 SAR (1 SAR setara Rp4.200).

Sementara informasi dari jemaah, tarif dorong kursi bagi jemaah lansia maupun penyandang disabilitas berkisar antara 300-600 SAR, tergantung dari situasi dan kesepakatan antara petugas resmi dari pemerintah dengan jemaah. Berdasarkan kurs Rupiah ke Riyal Saudi per hari ini, 12 Juni 2024, 1 Riyal sama dengan Rp. 4.345, maka biaya dorong sekitar 1,3 juta hingga 2,6 juta. Sebenarnya, uang 2,6 juta bagi rata-rata lansia lumayan besar, karena mengurangi sepertiga lebih uang saku jemaah.

Di luar itu, masalah tarif kursi roda ini sebenarnya bisa merambah ke persoalan psikologis. Jemaah akan merasa mahal, bukan hanya karena nominal biaya yang harus dikeluarkan, namun lebih karena momen pemungutan tarif bersamaan dengan kampanye taglin masif “Haji Ramah Lansia.”

Masalah keluhan jemaah akan mahalnya tarif dorong kursi sudah berkali-kali terjadi, termasuk pada musim haji 2023. Seorang wartawan Kompas, Adi Prinantyo, menulis artikel “Jerat Jasa Kursi Roda Rugikan Jemaah Haji hingga Jutaan”, (Kompas, 11 Juni 2023).

Menurut Adi Prinantyo, berbagai masalah muncul terkait jasa dorong kursi roda bagi jemaah lansia di Masjidil Haram, Mekkah, Arab Saudi. Salah satunya, tarif yang dinilai mahal. Sekali dorong, di luar puncak haji, biasa dilakukan dari dalam masjid hingga Terminal Syib Amir di kawasan Masjidil Haram, dipatok harga 250-50 riyal, sekitar Rp 990.000 hingga Rp 1,2 juta.

Masukan-masukan yang datang dari masyarakat seakan tidak pernah didengar oleh pemerintah, khususnya Kemenag. Sehingga Kepala Daerah Kerja (Daker) Makkah Khalilurrahman seperti tak pernah mendengar keluhan masyarakat, ketika mengatakan tarif jasa dorong kursi lansia dan eisabilitas tahun 2024 selisih sedikit dibandingkan tahun 2023. Di sinilah, penyelenggara haji seakan-akan memang “komersil” dan mengambil tarif dan keuntungan dari jemaah, bukan memberikan layanan.

Padahal Imam at-Thurthusyi dalam Sirajul Muluk mengingatkan, jika pemimpin mau berbisnis dengan rakyat maka pemimpin harus merugi (khasir). Di dalam berbisnis dengan rakyat, pemerintah tidak boleh mengeruk keuntungan (rabih). Namun, Kementerian Agama yang sejatinya harus menjadi teladan dari praktik sosial, nampak kurang sensitif. Bagaimana mungkin, jemaah lansia dan disabilitas harus ditarik tarif yang begitu memberatkn, padahal petugasnya sudah dibayar negara dan konsumennya adalah orang-orang yang paling butuh dibandingkan orang normal.

Dengan kata lain, tagline “Haji Ramah Lansia” dalam hal kursi roda ini perlu dipertanyakan. Sebab Jemaah lansia dan disabilitas diperlakukan sebagai konsumen yang harus menggunakan produk dan jasa layanan resmi dari pemerintah Indonesia. Sementara disabilitas dan usia lanjut yang melekat secara inheren pada jemaah adalah komoditas, yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan akumulasi kapital. Seakan-akan dengan banyaknya jemaah lansia dan disabilitas, kuantitatif komoditas semakin berlimpah dan pemerintah bisa mengeruk keuntungan darinya.

Perilaku layanan jemaah lansia dan disabilitas yang dipertontonkan oleh petugas merah putih bisa bertolak belakang dengan _Maqashid Syariah_, terlebih menyangkut Hifzul Mal. Dr. Al Badri Sayyid Musthofa Ahmad (2020) dalam Al Qawa’id Al Fiqhiyyaj wa Dawruha fi Iqomati Maqashid Al Syariah, mengatakan bahwa salah satu cara menerapkan Maqashid Syariah adalah menjaga harta umat yang lemah jangan sampai tergerus praktik layanan kapitalis (hlm. 321). Dalam konteks ini, menarik tarif untuk jasa layanan dorong kursi jemaah lansia dan disabilitas bisa saja masuk katagori melemahkan harta, bertentangan dengan spirit Hifzul Mal. Apalagi jemaah haji lansia dam disabilitas harus mengeluh dari tahun ke tahun tanpa ada solusi yang berpihak kepadanya dan konkrit.

Alhasil, pemerintah harus memecahkan problematika kursi dorong. Sebisa mungkin tarif dorong kursi dihapuskan, dan semua jemaah lansia dengan usia di atas 65 tahu maupun penyandang disabilitas dibebaskan dari tarif. Para petugas yang ditunjuk pemerintah cukup mendapat gaji dari pemerintah, tanpa perlu mencari uang ceperan dengan memungutnya dari jemaah. Sekali lagi, menjadi berusia lanjut dan menyandang disabilitas adalah takdir Tuhan yang tidak terelakkan. Dalam rangka memenuhi tanggung jawab kemanusiaan, sudah semestinya pihak yang kuat (pemerintah) melayani pihak yang lemah (jemaah lansia dan disabilitas). Ini wujud humanisme Islam, yang sejalan dengan Maqashid Syariah.[]

*Pengasuh Pesantren Baitul Kilmah Yogyakarta dan Stafsus Kokesra DPR (Tim Pengawas Haji 2024)

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry