Agus Wahyudi – Peneliti pada Pusat Pengembangan Masyarakat dan Peradaban Islam (PPMPI)

PERNAHKAH kita berpikir ke manakah berakhirnya sampah yang dibawa petugas kebersihan dari rumah kita? Bagi kita yang tinggal di negara berkembang, mungkin hanya berpikir bahwa sampah atau limbah kita berakhir di TPA.

Bagi negara-negara maju, mungkin tak terpikir di benak mereka bahwa sampah-sampah mereka berakhir di luar negeri, diekspor ke negara-negara berkembang seperti Indonesia dan negara ketiga lainnya.

Meski faktanya tak sesederhana itu. Sampah-sampah yang ada, terutama sampah plastik, berakhir pada tubuh jutaan biota laut hingga tinja manusia. Terdapat 1 juta burung laut, 100.000 mamalia laut, dan juga ikan-ikan yang sudah tidak terhitung lagi jumlahnya dalam setiap tahunnya.

PCB (polychlorinated biphenyl) yang tidak terurai dalam sampah plastik; walaupun sudah termakan oleh para hewan dan tumbuhan akan menjadi suatu racun berantai sesuai urutan makanannya. Tidak menutup kemungkinan bahwa manusia, termasuk kita sendiri, ada di dalam rantai makanan tersebut.

Sampah menjadi persoalan dunia. Setiap negara berupaya “mensterilkan” wilayahnya dari sampah, meski memakai cara-cara keji. Pada pertengahan Juni lalu, publik Indonesia dikejutkan oleh berita impor sampah plastik dari beberapa negara.

Indonesia diperkirakan menerima sedikitnya 300 kontainer yang sebagian besar menuju ke Jawa Timur setiap harinya. Padahal berdasarkan data Jambeck (2015), Indonesia berada di peringkat kedua dunia penghasil sampah plastik ke laut yang mencapai sebesar 187,2 juta ton, setelah Cina yang mencapai 262,9 juta ton. Namun dengan jumlah besar itu, Indonesia masih mengimpor sampah dari 43 negara di dunia.

Berdasarkan data Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah Ecoton, masuknya sampah dengan merk dan lokasi jual di luar Indonesia diduga akibat kebijakan China menghentikan impor sampah plastik dari sejumlah negara di Uni Eropa dan Amerika yang mengakibatkan sampah plastik beralih tujuan ke negara-negara di ASEAN.

Meski berdalih bahwa sampah yang diimpor adalah bahan baku industri, namun banyak pihak mengecam hal ini. Terlebih, penelusuran Yayasan Ecoton di Jawa Timur, sampah plastik yang mengotori impor kertas daur ulang bisa mencapai 30-40 persen. Ditemukan sampah popok bayi hingga berbagai limbah plastik lainnya.

Impor sampah atau limbah memang legal menurut Peraturan Menteri Perdagangan No 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Beracun Berbahaya. Data Kementerian Perindustrian menunjukkan kebutuhan bahan baku bagi industri plastik nasional mencapai 5,6 juta ton per tahun.

Sebanyak 2,3 juta ton dipenuhi dari virgin plastic (bijih plastik murni), impor bijih plastik 1,67 juta ton, dan pemenuhan material plastik daur ulang dalam negeri 1,1 juta ton. Artinya, industri plastik masih kekurangan material sebanyak 600.000 ton yang selama beberapa waktu dipenuhi dari impor “sampah plastik” berupa scrap sebanyak 110.000 ton.

Sebenarnya Indonesia mampu memenuhi kebutuhan bahan baku ini tanpa impor jika pengelolaan sampah diurus serius oleh pemerintah. Menurut penelitian Sustainable Waste Indonesia pada 2017, Indonesia menghasilkan 6,5 juta ton sampah per hari, dengan 14% (910 ribu ton) di antaranya adalah plastik dan 9% kertas. Hanya saja, sampah-sampah tersebut tak terkelola dengan baik. Sebesar 69% masuk Tempat Pembuangan Akhir tanpa dikelola dengan benar, 24% tak terkelola sama sekali, dan hanya 7% sampah yang didaur ulang.

Solusi Setengah Hati

Berbagai solusi untuk mengatasi problem sampah dilakukan. Pada akhir April 2019 Indonesia telah mengikuti Konferensi Basel di Jenewa. Melalui konvensi tersebut, soal perdagangan sampah plastik kini melibatkan langsung otoritas pemerintah pengekspor ke otoritas pemerintah pengimpor.

Indonesia juga telah memiliki perundangan nasional sejak 11 tahun lalu yang melarang impor sampah plastik. Selain itu, secara swasta rakyat sedang giat mencanangkan hidup zero waste, gerakan daur ulang sampah, menemukan berbagai bahan ramah lingkungan pengganti plastik atau styrofoam, dan lain-lain.

Namun, tampaknya berbagai solusi di atas masih gagal. Indonesia belum mampu mengelola dengan benar sampah dan limbah dalam negeri. Pun sebagai negara ketiga, pemerintah tampak lemah di hadapan negara-negara besar pengekspor sampah.

Persoalan “Indonesia negara tempat sampah” bukan sekedar persoalan perubahan gaya hidup (lifestyle) dan persoalan lingkungan an sich. Namun, terdapat aspek politis yang mengiringi di dalamnya. Maraknya impor sampah sebagai indikasi begitu lemahnya posisi Indonesia dalam kancah politik dan ekonomi internasional.

Wibawa negeri ini begitu lemah di hadapan negara-negara dan pengusaha-pengusaha Amerika dan Uni Eropa. Padahal Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia baik quantity maupun quality. Lalu, sampai kapankah pemerintah akan bersikap lemah dan membiarkan Indonesia menjadi “tempat sampah” negara-negara maju? Wallahu’alam bisshawab. *