JAKARTA | duta.co – Anda sudah membaca pengumuman atau ajakan Pemda DKI Jakarta menggelar tarawih di Monumen Nasional (Monas) tanggal Sabtu 26 Mei? Bahkan dalam woro-woronya, tarawih di Monas ini akan digelar setiap tahun, setiap hari Sabtu kedua di bulan ramadhan. Karuan pro kontra tak terhindarkan. Apa maksudnya?

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno menyampaikan alasannya, karena lapangan Monumen Nasional merupakan simbol Jakarta dan simbol persatuan sehingga Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memilih Lapangan Monas sebagai tempat shalat tarawih berjamaah. “Monas ini menjadi tempat pemersatu umat dan menjadi simbol Jakarta yang mudah-mudahan bisa meningkatkan ketaqwaan kita selama bulan Ramadhan,” kata Sandiaga di Balai Kota.

Sudah tidak ada lagikah momen dan tempat untuk bersatu? KH Muhammad Cholil Nafis, Lc, MA, PhD, Pengasuh Pesantren Cendekia Amanah, Depok, juga Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat justru mempertanyakan niatan Pemda DKI ini.

“Saya kok ragu ya kalau alasannya tarawih di Monas untuk persatuan. Logikanya apa ya? Bukankah masjid Istiqlal yang megah itu simbol kemerdekaan, kesatuan dan ketakwaan.  Sebab sebaik-baik shalat itu di masjid karena memang tempat sujud. Bahkan Nabi saw. selama Ramadhan itu i’tikaf di masjid bukan di lapangan,” demikian Kiai Cholil Nafis yang beredar di media sosial yang terbaca duta.co,  Minggu (20/5/2018).

KH Muhammad Cholil Nafis, Lc, MA, PhD, Pengasuh Pesantren Cendekia Amanah, Depok, juga Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat. (FT/PANJIMAS.COM)

Kiai Nafis mengajak kita berpikir sehat,  menggunakan logikan kebangsaan dan keagamaan. Jangan menggunakan ibadah mahdhah sebagai alat komunikasi yang memunculkan riya’ alias pamer. “Shalat Ied saja yang untuk syi’ar, masih lebih baik di Masjid sepanjang bisa menampungnya. Meskipun ulama ada yang mengajurkan di lapangan karena syi’ar. Tetapi Masjid masih lebih utama,” jelasnya.

Apalagi, shalat tarawih, jelasnya, menurut sebagian ulama sebagai shalat malam, maka lebih baik sembunyi atau di masjid.  Makanya Nabi saw hanya beberapa kali shalat tarawih bersama sahabat di Masjid. “Kalau shalat tarawih di Monas karena persatuan, sama sekali tak ada logika agama dan kebangsaannya. Pikirkan yang mau disatukan itu komunitas yang mana?” tanyanya.

“Yang mau disatukan dengan shalat tarawih itu komponen yang mana? Dan yang tak satu yang mana? Kalau soal jumlah rakaat yang berbeda sudah dipahami dengan baik oleh masjid-masjid, bahkan yang jumlah rakaatnya 8 atau yang 20 bisa shalat bareng berjemaah hanya yang 20 kemudian meneruskan. Ayolah agama ditempatkan pada tempatnya, jangan dibelokkan,” sarannya.

Terakhir, Kiai  Nafis berharap Pemprov DKI mengurungkan niat tarawih di Monas. Cukup seperti Maulid dan syiar keagamaan saja yang di lapangan. Tapi shalat di lapangan sepertinya kurang elok, sementara masih ada masjid besar sebelahnya yang bisa menampungnya. “Pemprov DKI lebih baik konsentrasi pada masalah pokok pemerintahannya, mengatasi banjir dan mecet yang tak ketulungan dan merugikan rakyat banyak,” jelasnya.

Tak hanya Kiai Nafis, sejumlah aktivis Islam juga heran. Aktivis dari kampus Paramadina @didasobat misalnya, menilai bahwa hal ini tidak perlu. Ia juga mengkritik upaya pemerintah DKI ini. Menurutnya, sangat aneh jika hal itu sampai dilakukan.

Buat apa ya Gubernur DKI mengadakan salat tarawih di Monas? Masjid Istiqlal dekat banget. Ia juga menambahkan di cuitan selanjutnya, bahwa tarawih itu islam dan tarawih di Monas itu islamis.

@AT_AbdillahToha juga merasa hal serupa. Keputusan ini juga perlu diperbedabatkan, apalagi suasana politik juga masih sangat kental. “Jangan sampai ini nanti dibilang tarawih politik. Masjid Istiglal di sebelahnya kan tiap malam ada sholat tarawih. Kenapa tidak bergabung saja disitu kalau mau menunjukkan persatuan?” tanyanya. (bdr)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry