KH Maimun Zubair bersama Habib Syekh bin Abdul Qodir Assegaf (FT/mc/santri)

JAKARTA | duta.co – Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj mengatakan, bahwa, para masyayikh NU — baik struktural maupun non-struktural — akan bersilaturrahim ke Kiai Haji Maimun Zubair pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Jika tidak ada perubahan, Kamis (16/03/2016) itu, kiai-kiai sepuh akan membahas sejumlah masalah yang berkaitan dengan keumatan.

“Kita ingin mendapatkan bimbingan, arahan, petunjuk dari para ulama sepuh agar NU ke depan semakin bermanfaat untuk umat,” kata Kiai Said Aqil sebagaimana kabar yang diunggah di media sosial melalui video singkat berdurasi 01,01 menit ini.

Kiai Haji Maimun Zubair adalah salah satu kiai paling sepuh di republik ini. Doa dan taushiyahnya amat berarti bagi warga NU, apalagi dalam menghadapi situasi politik yang sulit diprediksi. Kiai Maimun bukan saja dikenal sebagai seorang alim, faqih, tetapi sekaligus muharrik (penggerak) umat. Selama ini, Kiai Maimun merupakan rujukan ulama Indonesia, dalam bidang fiqh. Hal ini, karena Kiai Maimun menguasai secara mendalam ilmu fiqh dan ushul fiqh. Kiai Maimun merupakan kawan dekat dari Kiai Sahal Mahfudh, yang sama-sama santri kelana di pesantren-pesantren Jawa, sekaligus mendalami ilmu di tanah Hijaz, Makkah dan Madinah.

Kiai Maimun lahir di Sarang, Rembang, pada 28 Oktober 1928. Kiai sepuh ini, mengasuh pesantren al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Kiai Maimun merupakan putra dari Kiai Zubair, Sarang, seorang alim dan faqih. Kiai Zubair merupakan murid dari Syaikh Saíd al-Yamani serta Syaikh Hasan al-Yamani al-Makky.

Kedalaman ilmu dari orang tuanya, menjadi basis pendidikan agama Kiai Maimun Zubair menjadi sangat kuat. Kemudian, ia meneruskan mengaji di Pesantren Lirboyo, Kediri, di bawah bimbingan Kiai Abdul Karim. Selama di Lirboyo, ia juga mengaji kepada Kiai Mahrus Ali dan Kiai Marzuki.

Pada umur 21 tahun, Maimun Zubair melanjutkan belajar ke Makkah Mukarromah. Perjalanan ini, didampingi oleh kakeknya sendiri, yakni Kiai Ahmad bin Syuáib. Di Makkah, Kiai Maimun mengaji kepada Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syekh al-Imam Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Quthbi, Syekh Yasin Isa al-Fadani, Syekh Abdul Qodir al-Mandaly dan beberapa ulama lainnya.

Kiai Maimun juga meluangkan waktunya untuk mengaji ke beberapa ulama di Jawa, di antaranya Kiai Baidhowi, Kiai Ma’shum Lasem, Kiai Bisri Musthofa (Rembang), Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muslih Mranggen (Demak), Kiai Abdullah Abbas Buntet (Cirebon), Syekh Abul Fadhol Senori (Tuban), dan beberapa kiai lain. Kiai Maimun juga menulis kitab-kitab yang menjadi rujukan santri. Di antaranya, kitab berjudul al-ulama al-mujaddidun.

Selepas kembali dari tanah Hijaz dan mengaji dengan beberapa kiai, Kiai Maimun kemudian mengabdikan diri untuk mengajar di Sarang, di tanah kelahirannya. Pada 1965, Kiai Maimun kemudian istiqomah mengembangkan Pesantren al-Anwar Sarang. Pesantren ini, kemudian menjadi rujukan santri untuk belajar kitab kuning dan mempelajari turats secara komprehensif.

“Politik dalam diri Kiai Maimun bukan tentang kepentingan sesaat, akan tetapi sebagai kontribusi untuk mendialogkan Islam dan kebangsaan. Demikianlah, Kiai Maimun merupakan seorang faqih sekaligus muharrik, pakar fiqh sekaligus penggerak,” demikian disampaikan Munawir Aziz, tokoh muda NU yang kini getol menulis buku-buku ke-NU-an.

Jawaban Lugas soal Wahabi

Ada kisah menarik tentang Wahabi dari Kiai Maimun Zubair. Ini terjadi ketika Seminar Nasional dan Bahsul Masail Islam Nusantara di Aula Rektorat Universitas Negeri Malang (UM), Malang, Jawa Timur, Sabtu, (13/02/2016). Cerita ini dikisahkan oleh KH Azizi Abdullah dari Kediri, diunggah website nu.or.id. Kiai Azizi bercerita berdasarkan pengalamannya ketika sowan kepada KH Maimun Zubair dalam sebuah kesempatan.

Saat itu, Kiai Azizi sempat menanyakan hukum orang Wahabi yang dalam pengetahuannya adalah kafir karena telah mensyirik-syirikkan orang NU karena amaliahnya. Sontak Kiai Maimun marah-marah dengan cara pandang Kiai Azizi ini.

“Hei, Mas, sampean jangan ngawur. Wahabi itu bukan kafir, Mas, tapi berdosa. Lha, orang berdosa itu: yaghfiru liman yasyaa’ wa yu’addzibu man yasyaa’. Kalau Allah mengampuni, ya masuk surga, kalau tidak diampuni ya neraka,” kata Mustasyar PBNU ini.

“Kalau kafir kan pasti masuk neraka. Sampean ini jangan main hukum kafir begitu saja, wong sampean saja belum pasti masuk surga. Ngapain ngurusi orang lain,” tambahnya lagi.

Kiai Maimun lalu mengimbau kepada warga NU agar tidak terlalu ikut campur dengan perkataan orang lain. Baginya, yang penting adalah menjaga akidah diri sendiri. Mendengar jawaban Kiai Maimun tersebut, Kiai Azizi mengaku insaf dari asal menghukumi orang. “Saya pun tobat,” kata Kiai Azizi disambut tawa para hadirin. (hud)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry