SURABAYA | duta.co – Tidak semua warga nahdliyin paham, seperti apa potret lengkap sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), sebuah Ormas Islam terbesar di Indonesia. Apalagi tentang peradabannya, toleransinya, baik itu sesama muslim maupun non-muslim.

Tak kalah penting, bagaimana kegigihan muassis (pendiri) NU, sampai mengirim (delegasi) Komite Hijaz ke Kerajaan Arab Saudi untuk mendesak Ibnu Saud — Raja Najed beraliran Wahabi usai menaklukkan Hijaz (Mekkah dan Madinah) tahun 1924-1925 — agar memberlakukan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.

“Maka, tepat, kalau para guru melakukan penetrasi pemahaman perjuangan muassis NU kepada anak didiknya. Baik dalam bermazhab, toleransi sesama, kegigihan berjuang demi kemerdekaan, serta upaya kuat NU menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” demikian Mokhammad Kaiyis, ketika menyaksikan 96 siswa-siswi Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama (MINU) KH Mukmin, Kabupaten Sidoarjo di Museum NU, di kawasan Menanggal, Jl Gayungsari, Surabaya, Selasa (29/11/22).

Ada Pedoman Berpolitik

Kepala Sekolah MINU KH Mukmin, Anis Faridah, SPd sendiri menugaskan 5 guru untuk membimbing dan mendampingi siswa-siswinya melakukan observasi ke Museum NU. “Ini dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan siswa, sekaligus penuntasan materi pelajaran Aswaja, agar anak-anak mengenal tokoh-tokoh pendiri NU, berikut kiprahnya selama ini,” demikian Anis Faridah.

Menurut Kaiyis, generasi NU, memang, tidak boleh putus dengan cita-cita luhur para muassis Nahdlatul Ulama. Mereka tidak cukup hanya mengenali visi-misi organisasi dari jauh. Generasi NU harus paham, untuk apa para masyayikh mendirikan organisasi?

“Alhamdulillah, semakin hari semakin terang benderang, bahwa, NU memiliki tugas penting di republik ini. NU harus menjadi stabilisator NKRI, bahkan perdamaian dunia. Inilah yang sekarang menjadi agenda besar PBNU untuk membumikan fiqh siyasah, fiqh peradaban skala internasional,” tegas anggota Dewan Kehormatan PWI Jatim ini.

Mengutip ‘pesan penting’ almaghfurlah Prof Dr KH Muhammad Tholhah Hasan, NU harus menjadi barometer kebangsaan. Karenanya, NU tidak boleh terjebak dalam kubangan politik praktis. Apalagi sampai menjadi bagian dari Parpol tertentu.

“Artinya, betapa penting bagi pengurus NU untuk memegang teguh keputusan para masyayikh, terkait Khitthah 1926. Lebih dari itu, bagi warga NU sudah masyayikh rumuskan 9 pedoman berpolitik. Semua itu muaranya adalah membumikan Islam rahmatan lilalamin. Kalau pun harus berpolitik praktis, menjadi politisi santri, maka, harus tetap mengedepankan akhlakul karimah. Itulah warga NU,” tegasnya.

Siswa-siswi langsung mendapat pendampingan dari petugas Museum NU, Saifuddin SPd. Ia menjelaskan satu persatu peninggalan para ulama NU. Misalnya, bagaimana warga NU (dulu) begitu peduli terhadap kelangsungan jamiyah (organisasi). “Ini ada bukti-bukti bantuan warga NU. Namanya i’anah syahriyah atau iuran bulanan,” tegas Mas Udin, panggilan akrabnya.

Ia juga mengajak siswa-siswi keliling ruang sejarah kiai, bagaimana para kiai ikut membangun peradaban di Timur Tengah, misalnya Arab Saudi. Barang-barang bersejarah ini, katanya, menjadi bukti betapa tokoh-tokoh NU sangat peduli dengan kehidupan bermahzab di Timur Tengah. “Ini jawaban Raja Saud, penguasa daerah Hijaz (Arab) waktu itu,” jelasnya.

Masih menurut Udin, sejarah NU ini tidak cukup hanya kita hafal, tetapi juga perlu penerapan dalam totalitas kehidupan sehari-hari, terutama dalam berbangsa dan bernegara. “Karena itu, nahdliyin di dunia ini terkenal sebagai komunitas kaum beragama yang sangat toleran,” tegasnya.  (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry