Herdiantri Sufriyana, dr., M.Si, Dosen Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Unusa

PERMASALAHAN etik terkait metode cuci otak dari Mayjen TNI Dr.dr.Terawan Agus Putranto, Sp.Rad (K) untuk penyembuhan strok kembali mencuat. Hal ini telah mengganggu citra atas dokter tersebut,  Ikatan Dokter Indonesia (IDI), ataupun metode cuci otak itu sendiri bagi masyarakat.

Prasangka dan saling menyalahkan turut menambah kekisruhan di negeri ini. Akademisi dan klinisi juga ditampakkan berhadap-hadapan padahal nyatanya belum tentu demikian.

Metode cuci otak (brain wash) merupakan modifikasi penggunaan digital subtraction angiography (DSA) untuk memberikan heparin secara tertarget ke pembuluh darah otak yang tersumbat pada strok.

Teknik DSA sebenarnya digunakan untuk menggambarkan keadaan pembuluh darah dengan menyemprotkan zat tertentu ke dalam darah. Gambaran pembuluh darah akan tampak pada film sebagai bayangan putih.

Metode ini merupakan varian dari pemeriksaan yang dikenal di Indonesia sebagai pemeriksaan röntgen. Metode untuk diagnosis ini dimodifikasi untuk terapi.

Zat heparin juga disemprotkan ke dalam pembuluh darah otak yang dicurigai mengalami sumbatan.

Metode penyemprotan heparin ini dinamakan sebagai intra-arterial heparin flushing sebagaimana terdapat dalam judul disertasi dokter Terawan “Efek Intra Arterial Heparin Flushing terhadap Regional Cerebral Blood Flow, Motor Evoked Potentials, dan Fungsi Motorik pada Pasien dengan Stroke Iskemik Kronis” di Universitas Hasanudin (2016).

Heparin akan dianggap dapat menyembuhkan karena dapat meluruhkan sumbatan pada tipe strok tertentu.

Permasalahan ilmiah dan etik adalah dua ranah berbeda

Banyak tulisan yang telah muncul terkait kontroversi metode cuci otak sejak awal penggunaannya hingga disertasi dokter Terawan diselesaikan setelahnya. Tulisan ini pro maupun kontra terhadap metode tersebut.

Namun, jika dikaji secara jernih, tulisan yang pro cenderung memaparkan permasalahan ilmiah, sedangkan tulisan yang kontra cenderung memaparkan permasalahan etik. Beberapa juga telah memaparkan keduanya secara seimbang.

Hal ini perlu diperjelas agar tidak menjadi alat untuk mengadu domba antar profesi di negeri ini, apalagi untuk alat pencitraan politis.

Permasalahan ilmiah yang pro maupun kontra hampir selalu terjadi pada setiap metode diagnosis maupun terapi kedokteran. Hampir selalu ada publikasi penelitian di jurnal ilmiah yang mendukung maupun membantah fakta ilmiah tertentu.

Namun, diskusi ilmiah ini hanya sesuai dalam dunia akademik, bukan pada pelayanan medis yang juga memerlukan kepastian hukum untuk melindungi masyarakat.

Jika seorang akademisi membela metode cuci otak sebagai metode yang terbukti ilmiah, maka hal itu harus dihargai tanpa prasangka bahwa akademisi tidak mengikuti kaidah ilmiah.

Sebaliknya, permasalahan etik memerlukan kesepakatan (konsensus) asosiasi profesi medis untuk penerapan suatu metode dalam pelayanan medis. Bukti ilmiah saja tidak cukup karena tidak ada kebenaran ilmiah tunggal.

Tidak ada satu terapi pun tanpa risiko kematian. Andai kemungkinan kematian sangat kecil, misal hanya satu orang dari satu juta orang yang diterapi, tetap saja satu kematian tersebut perlu dipertanggungjawabkan.

Pertanggungjawaban ini perlu bantuan hukum dan perlu kepastian dari asosiasi profesi mengenai persetujuan penerapan metode tersebut di Indonesia. Jika tidak, akan terjadi perang saksi ahli sebagaimana kasus kopi Vietnam bersianida beberapa waktu lalu.

Hal ini membawa debat tanpa akhir yang lazim di dunia ilmiah ke dalam persidangan yang memerlukan kepastian. Jika Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) mempermasalahkan metode cuci otak pada belum disepakati asosiasi profesi medis yang sesuai, maka MKEK juga dapat dibenarkan.

Standarisasi internasional vs inovasi lokal

Inovasi lokal seringkali tersandung standarisasi internasional. Misalnya, jika usaha kecil dan menengah (UKM) ingin menjual suatu produk makanan, tentu harus mendapatkan perizinan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Jika tidak memenuhi syarat, tentu tidak mendapatkan izin. Berapa biaya yang dibutuhkan agar terstandar? Mana yang lebih memiliki dana untuk biaya tersebut, apakah UKM ataukah perusahaan besar?

Inovasi lokal pada bidang kedokteran di Indonesia mendapatkan lebih banyak tantangan. Alhasil, temuan peneliti Indonesia, baik alat diagnostik, obat ataupun metode terapi kedokteran, tidak dapat diterapkan secara legal, bahkan, harus kandas berupa publikasi artikel di jurnal ilmiah saja.

Negara maju dengan dana besar dan fasilitas lengkap tentu lebih mudah mewujudkan temuan peneliti mereka. Akibatnya, negara seperti Indonesia cukup jadi pembeli produk mereka saja.

Inilah cengkeraman kapitalisme, yaitu orang dengan modal (capital) besar akan terus menjadi pemenang, dan terus memenangkan negara-negara barat yang lebih dulu maju.

Solusinya adalah campur tangan negara. Peraturan perundangan harus disesuaikan agar memberikan jalan bagi inovasi lokal. Tentu saja ada risiko kerugian masyarakat jika standar disesuaikan dan hal ini harus ditoleransi secara seimbang oleh asosiasi profesi.

Namun, bagaimanapun ini perlu dilakukan selama negara tidak mampu memberikan pendanaan yang layak untuk standarisasi temuan peneliti Indonesia, kecuali kita rela terus membeli inovasi dari luar negeri. (*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry