Muhammad Risyad Fahlefi, mahasiswa Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair. DUTA/istimewa

SURABAYA | duta.co  – Nilai akademik perlu keseimbangan. Karenanya, mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) juga dituntut untuk mengasah softskill. Bahkan karena softskill inilah banyak mahasiswa Unair yang ikut serta dalam forum-forum akademik lintas negara.

Salah satunya, Muhammad Risyad Fahlefi, mahasiswa Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Mahasiswa ini baru saja mengikuti konferensi bertajuk 4th nternational Conference on Education yang dilaksanakan di Bangkok, Thailand, 5-7 April lalu.

Dalam event yang diselenggarakan oleh The International Institute of Knowledge Management (TIIKM) itu, Risyad mempresentasikan gagasannya dengan judul “Development for Regional Based Curriculum to Optimize Student Potential of Indonesia”.

Makalahnya berisi gagasan pengembangan kurikulum berdasarkan kondisi masyarakat Indonesia yang multikultur, yaitu kebijakan kurikulum pendidikan berbasis kedaerahan.

“Di Indonesia, sudah 11 kali pemerintah mengganti kurikulum pendidikan. Hal ini diidentifikasi bahwa Indonesia masih sulit untuk menemukan formula kebijakan kurikulum pendidikan yang pas untuk diterapkan. Hal ini dikarenakan kondisi latar belakang dan kebutuhan pelajar yang sangat beragam,” tuturnya.

Kurikulum berbasis kedaerahan yang digagas Risyad diakui memiliki sejumlah manfaat. Pertama, The Backgrounds.

Adanya latar belakang dan kebutuhan yang berbeda oleh pelajar di Indonesia, menuntut agar pemerintah dapat menyesuaikan kebijakan kurikulum pendidikan dengan realita yang ada. Gagasan itu dapat menjadi pilihan atas permasalahan yang ada.

Kedua, lanjut Risyad, kondisi masyarakat Indonesia yang multikultur bisa menyebabkan disintegrasi sosial. Pendidikan sebagai wujud tindakan preventif bagi ancaman disintegrasi bangsa.

“Kurikulum pendidikan berbasis kedaerahan yang diangkat sebagai solusi dapat menciptakan kesadaran akan multikultural,” jelas mahasiswa yang aktif di organisasi BEM FISIP, Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik, dan BSO SKI FISIP itu.

Ketiga, contextual learning. Risyad mengutip pendapat para ahli bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak memisahkan antara kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya di sekitar.

Sehingga, lanjutnya, pelajar bisa mengerti sekaligus mempertahankan dan melakukan eksplorasi diri.

Selama di Bangkok, banyak pengalaman yang didapat Risyad. Ia bertemu peserta dari beragam latar belakang. Seperti para akademisi, pengambil kebijakan, praktisi, dan mahasiswa seperti dirinya.

Konferensi itu diikuti peserta tak kurang dari 34 negara. Seperti Indonesia, Inggris, Amerika Serikat, Filipina, Belgia, Singapura, Australia, Turki, Bangladesh, Malaysia, Pakistan, Cyprus, Uni Emirat Arab, Lithuania, Afrika Selatan, China, Russia, Oman, Sri Lanka, Bahrain, Swiss, India, Nigeria, Brunei Darussalam, Jepang, Taiwan, Irak, Yordania, dan Kuwait.

“Acara konferensi ini memberikan pengalaman bagi saya untuk berbicara dalam forum internasional dan juga memberikan pengetahuan lebih untuk membuat sebuah penelitian yang lebih baik lagi,” ucap Risyad.

Sebelumnya, mahasiswa semester 4 kelahiran Surabaya, 4 Agustus 1997 itu tercatat pernah mengikuti forum di tingkat internasional.

Tepatnya pada Februari 2018 lalu ia mengikuti kegiatan pelatihan kepemimpinan yang diselenggarakan di Univesity of Malaya-Wales. Namun, dalam hal konferensi, konferensi di Bangkok ini adalah yang pertama baginya. end

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry