Dr H Mif Rohim MA, Wakil Rektor Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY). (FT/IST)

SURABAYA | duta.co – Hari ini, Pesantren Tebuireng, yang terletak di Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Jombang, Jawa Timur, genap berusia 120 tahun. Pesantren ini teruji, selalu datang tepat waktu. Ketika agama dan bangsa ini terkoyak, didera konflik yang tidak bisa diselesaikan oleh siapa pun, Tebuireng datang memberi solusi.

Setidaknya 6 peran strategis Pesantren Tebuireng yang tak tergantikan. Berikut wawancara Mokhammad Kaiyis dengan Dr H Mif Rohim MA, Wakil Rektor Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY), pendiri dan Ketua (NU) Cabang Istimewa Malaysia serta Penasehat Pusat Kajian Pemikiran Hadratus Syaikh KHM Hasyim Asy’ari, Tebuireng, Jombang:

Tidak terasa, hari ini, Pesantren Tebuireng yang berdiri tahun 1899, berusia 120 tahun. Sebuah perjalanan yang cukup panjang.

Ya! Banyak catatan penting yang harus kita diketahui. Peran Pesantren Tebuireng di negeri ini, sangat urgen, baik bagi umat Islam maupun bangsa Indonesia secara umum. Pesantren ini selalu datang untuk memberikan solusi terhadap agama dan bangsa, di saat terjadi konflik yang tidak bisa diselesaikan oleh siapa pun.

Bisa dijelaskan apa saja peran strategis Pesantren Tebuireng itu…?

Jadi begini. Ketika terjadi gerakan kolonialisme dan imperialisme, terutama pasca 17 Agustus 1945, di mana sekutu mau menguasai kembali Surabaya, saat itu Jakarta sudah mereka kuasai, Semarang sudah dikuasai, luar Jawa juga demikian, sudah dikuasai. Bahkan Indonesia Timur sudah mereka cengkeram. Tinggal Surabaya saja. Maka, di saat itulah, ketika pasukan sekutu mendarat di Surabaya, terjadilah pertempuran dahsyat, yang dikomando KH M Hasyim Asy’ari. Ini peristiwa penting dan sangat luar biasa.

Itu kita kenal Resolusi Jihad, Hari Pahlawan. Apakah sejarah dunia juga mengabadikan peristiwa tersebut?

Ya. Karena dunia menyaksikan, bahwa, peristiwa ini sangatlah luar biasa. Kalau boleh saya katakan, ini adalah peristiwa terdahsyat di dunia. Menurut saya, ada tiga pertempuran besar di dunia ini.  Pertama, Perang Badar, kedua, penaklukan Konstantinopel oleh Turki Ottoman pada tahun 1453. Ketiga, adalah pertarungan yang tidak seimbang, baik dalam strategi perang maupun senjata di Surabaya. Para ulama, kiai dan santri dari Jawa dan Madura, yang dikomando hadratus syaikh berhasil menalukkan sekutu yang dipimpin Inggris dan Belanda di belakangnya, mereka harus kembali hengkang ke negaranya.

Peristiwa ini cukup mencengangkan dunia internasional?

Dampaknya tidak hanya pada eksistensi Kemerdekaan Indonesia, tetapi secara politik juga memberikan pengaruh kekuatan umat Islam di dunia. Setelah itu, gerakan kolonialisme dan imperialisme ambruk, maka, terjadilah kemerdekaan-kemerdekaan yang diikuti negara-negara Islam dunia, termasuk Malaysia dan lain sebagainya. Di sini Tebuireng memberikan solusi yang tidak bisa dijalankan oleh yang lain. Ini yang petama.

Lalu?

Kedua, di tengah jatuhnya madzab ahlusunnah waljamaah di Arab Saudi, di mana Arab ditaklukkan oleh Raja Saud, maka, terjadilah gerakan Wahabi. Makam-makam para sahabat, ulama-ulama, termasuk makam Kanjeng Nabi Muhammad saw, hendak digempur, karena dianggap menjadi media syirik.

Maka, muncul kembali dari Tebuireng, Hadratus Syaikh KH M Hasyim Asy’ari menginstrusikan pemberangkatan delegasi menghadap beliau (Raja Saud red) dan diterima. Walhasil, diterimalah usulan agar makam-makam para sahabat juga makam Kanjeng Nabi Muhammad, tidak dirobohkan.

Ini menunjukkan betapa konsep ideologi beragama beliau mendunia. Andai saja saat itu terjadi penggempuran, maka, habislah konsep ideologis Islam ahlussunnah wal jamaah. Jadi, dari Pesantren Tebuireng ini muncul konsep ideologi beragama Islam ahlussunnah wal jamaah.

Apakah konsep itu juga mewarnai pemikiran almaghfurlah saat negeri ini geger dengan Piagam Jakarta?

Ya! Itulah yang ketiga. Ketika bangsa ini baru saja merdeka, lalu dihadapkan dengan konflik atau tarik-menarik  ideologi antara kelompok nasionalis sekuler yang didukung Kristen, Protestan dengan kelompok Nasionalis Islam. Di mana kelompok sekuler ini protes dengan adanya Piagam Jakarta. Terjadilah pertarungan pemikiran. Di situlah muncul pemikiran KH A Wahid Hasyim bersama tokoh-tokoh lain.

Tebuireng kembali muncul menjadi solusi konflik yang membahayakan kelangsungan bernegara. Kiai Wahid Hasyim menegaskan, bahwa, Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa cukup untuk mewakili Piagam Jakarta dan, sila-sila berikutnya dinilai sudah sesuai dengan syariat Islam.

Kemudian…?

Keempat, kita ingat tahun 1965. Saat itu muncul gerakan G/30/S/PKI. Komunis disokong kekuatan dunia, ingin menguasai Indonesia. Saat itu, muncullah kembali Tebuireng melalui Almaghfurlah KHM Yusuf Hasyim (Pak Ud) dengan semboyan beliau: Merah Tetap Merah. Beliau bersama GP Ansor yang berintegrasi dengan kekuatan militer, didukung kekuatan rakyat, berhasil menumpas PKI.

Kelima, terjadi tahun 1992. Saat itu Indonesia diguncang oleh keinginan Presiden Soeharto yang menerapkan Asas Tunggal Pancasila. Beliau berpidato di Riau, mengatakan, bahwa, semua Ormas dan Orsospol harus berasaskan Pancasila. Maka, terjadilah gemuruh penolakan di Indonesia. Tidak ada satu profesor pun yang mampu memberikan solusi saat itu.

Maka, muncullah pemikiran almaghfurlah KHM Hasyim Asy’ari melalui satrinya KH Achmad Shiddiq. Beliau mampu menyuguhkan pemikiran tentang Pancasila dan Negara. Beliau mengatakan, bahwa, sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa,  itu sudah mencerminkan konsep ideologi Islam, ini sesuai dengan surat Al-ikhlas. Beliau mengatakan: Pancasila tidak bertentangan dengan Agama. Sila Pertama ini menivestasi dari kalimat tauhid, Laa Ilaaha Illallah. Akhirnya hubungan agama dengan negara menjadi kondusif.

Keenam, tahun 1999, di mana muncul konsep otonomi, lalu dikenal juga dengan konsep reformasi, yang akhirnya terjadi juga kecametan politik. Maka, muncullah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai solusi. Gus Dur adalah keluarga besar Tebuireng.

Bagaimana dengan kondisi sekarang, pasca Gus Dur menjadi presiden?

Sekarang ini, kita memasuki abad ke 21, atau milineum ketiga. Di mana kondisi Indonesia membutuhkan sosok pemersatu. Begitu juga kondisi NU yang membutuhkan arahan ketika organisasi ini kelewat masuk dalam politik praktis. Maka, dari Tebuireng muncullah sosok KH Salahuddin Wahid atau kita kenal Gus Solah. Beliau, diterima di tengah-tengah masyarakat Indonesia, baik itu negarawan maupun para ilmuwan yang tengah prihatin dengan melorotnya pendidikan karakter bangsa.

Lebih dari itu, Gus Solah mampu memberikan pencerahan, imajinatif terkait munculnya istilah syariah yang dikaitkan dengan dasar negara. Gus Solah mengatakan, bahwa, Pancasila itu justru memberikan peluang bagi agama, dan pelaku agama untuk mengamalkan secara luas. Pancasila tidak bertentangan dengan syariah. Manariknya lagi, beliau mengatakan, syariah tidak diperlukan dan itu sudah dicoret sejak tanggal 18 Agustus 1945, artinya tidak bisa lagi masuk ke dalam UUD 1945. Namun, bukan berarti kita menolak syariah, karena syariah itu sudah terakomodir dalam undang-undang, seperti yang termaktub dalam UU Perkawinan, peradilan agama, juga dalam kompilasi hukum Islam.

Di situ jelas, bagaimana syariah diakomodasi dalam undang-undang. Apa yang disampaikan Gus Solah ini, luar biasa, dan harus diimplementasikan. Pemerintah harus meresponnya. Penegasan Gus Solah ini sekaligus membungkam gerakan yang ingin mendirikan sistem khilafah di Indonesia. Karenanya, harapan kami, pemerintah memberikan penghargaan kepada Tebuireng. (*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry