(ki-ka) Sri Haruti Indah Sukmaningsih dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan  Sekjen PB IDI dr Moh Adib Khumaidi SpOT. DUTA/istimewa

SURABAYA | duta.co  – Waspadai  terhadap praktik pengobatan terutama yang membawa nama medis. Karena saat ini banyak oknum yang melakukan praktik kedokteran tapi tidak memiliki ijazah dokter yang sah.

Bukan isapan jempol karena, induk organisasi para dokter di Indonesia yakni Ikatan Pengurus Besar Dokter Indonesia (PB IDI) menemukan fakta krusial.

PB IDI mengetahui ada seseorang yang tidak memiliki ijazah serta kompetensi dokter namun memberanikan diri untuk menjalankan praktik kedokteran. IDI mengistilahkan orang-orang tersebut sebagai Dokteroid.

Di dalam undang-undang praktik kedokteran syarat untuk menjalankan praktik kedokteran adalah harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).

Sedangkan untuk mendapatkan STR seseorang harus memiliki ijazah dokter yang diterbitkan oleh Fakultas Kedokteran (FK) dan juga memiliki sertifikat kompetensi yang diterbitkan oleh Kolegium (bagian dari IDI).

Sepanjang 2017 banyak dilaporkan tentang Dokteroid ini. Seperti contoh pada Mei 2017 diringkus dokter kecantikan palsu yang berpraktik di toilet di sebuah mal di Jakarta Pusat. Lalu di Juni 2017, di Surabaya dilaporkan keberadaan dokter spesialis patologi anatomi palsu yang kemudian segera ditindak oleh dinas kesehatan setempat.

Sempat menjadi pemberitaan kasus “Jeng Ana” pada Juni 2017 yang memberikan pendapat medis serta melakukan pemeriksaan-pemeriksaan medis padahal yang bersangkutan tidak memiliki kompetensi di bidang tersebut.

Kasus terbaru, yang berhasil diungkap oleh POLRI adalah penjualan surat sakit palsu. Jumlah Dokteroid yang datanya telah dihimpun dan telah dilakukan penindakan baik oleh dinas kesehatan atau aparat penegak hukum sepanjang 2017 sekitar 15 kasus.

“Kami mengimbau kepada masyarakat untuk memanfaatkan website IDI www.idionline.org yang menampilkan direktori anggota IDI untuk memastikan bahwa dokter yang melayani adalah dokter yang terdaftar sebagai anggota IDI,” ujar dr. Ilham Oetama Marsis, SpOG Ketua Umum PB IDI.

“Data tersebut juga telah terintegrasi dengan KKI melalui website www.kki.go.id untuk memastikan dokter yang bersangkutan juga telah memiliki STR,” tambahnya.

Pengurus Besar (PB) IDI mengategorikan Dokteroid menjadi beberapa kelompok: 1) Orang awam yang berpraktik sebagai dokter; 2) Orang awam yang memberikan konsultasi dan seminar sebagai dokter; 3) Profesional lain yang melakukan tindakan kedokteran di luar kompetensi dan kewenangannya.

Serta  dokter asing yang berpraktik illegal dan memberikan konsultasi di Indonesia. Berdasarkan UU Praktik Kedokteran KUHP, tindakan-tindakan tersebut dalam dimasukkan ke dalam tindakan pidana umum.

Khusus untuk profesional lain yang melakukan tindakan kedokteran perlu dilakukan koordinasi dengan organisasi profesinya untuk memastikan bahwa tindakan tersebut di luar kompetensi dan kewenangannya.

Moh Adib Khumaidi, Sp.OT, Sekretaris Jendral PB IDI mengatakan, IDI sebagai organisasi profesi bagi dokter memiliki tanggung jawab tidak hanya bagi dokter sebagai anggotanya namun terlebih kepada kepentingan masyarakat yang menerima layanan kesehatan dari dokter. Perlindungan masyarakat dari layanan dokter yang tidak bermutu menjadi perhatian utama dari IDI.

 “Hingga saat ini, dalam penanganan kasus Dokteroid, PB IDI menggandeng Bareskrim Mabes Polri, Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK), serta Konsil Kedokteran Indonesia (KKI),” kata Adib.

“Lebih lanjut, IDI akan melakukan kerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri terkait data KTP, dengan Kementerian Pendidikan Tinggi terkait dengan data lulusan FK, serta dengan Kementerian Kesehatan terkait dengan data Surat Ijin Praktik yang diterbitkan oleh pemerintah daerah,” tambah dr. Mahesa Paranadipa, MH, Ketua Bidang Organisasi PB. IDI.

Meski demikian, PB IDI dan KKI berharap masyarakat juga dapat membantu memberikan informasi lebih jelas mengenai potensi keberadaan Dokteroid.

“Perlindungan kepada masyarakat harus menjadi prioritas semua pihak, namun tetap harus dijalankan dengan profesional dan bertanggungjawab,” kata dra Sri Haruti Indah Sukmaningsih dari Konsil Kedokteran Indonesia. end

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry