Suparto Wijoyo (Esais, Akademisi Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga)

AHAD, 22 Oktober 2017 adalah hari yang menggenapkan masa 72 Tahun Resolusi Jihad, 22 Oktober 1945. Suatu fatwa yang mampu menjadi alas hukum Revolusi Kemerdekaan yang menorehkan lembar 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Pertempuran mempertahankan kemerdekaan NKRI terbukti diberi “amunisi” keagamaan dengan fatwa NU kepada umat melalui “gerbang utamanya”, kaum santri.

Lahirnya Hari Santri, 22 Oktober adalah karunia Allah SWT atas ketulusan NU berkhidmat. Hadratusyaikh KH M Hasyim Asy’ari selaku Pendiri NU  memberikan reaksi mengagumkan atas gelora perjuangan santri dan kiai terhadap Belanda yang bersekutu dalam fasilitasi  NICA maupun AFNEI yang mengabaikan Proklamasi 17 Agustus 1945. Romantika-dinamik inilah yang menuntun saya “mentadabburi Resolusi Jihad” dalam kolom Tajjali, meski semula hendak mencermati tema pribumi yang lagi mengemuka.

Resolusi Jihad para kiai papan atas NU memberikan kaedah yang heroik dalam menjaga NKRI. Setiap kata yang tersusun mematri keimanan dalam berelasi dengan negara. Keberpihakan yang sempurna kepada negara telah disorong dengan dalil yang didawuhkan Hadratusyaikh KH M Hasyim Asy’ari bahwa “mencintai tanah air itu bagian dari iman”. Ini adalah “sabda agung” yang mencerminkan watak dasar santri dalam membentengi NKRI.

Membincang 10 November dan Proklamasi 17 Agustus tidak patut secara sosial-kenegaraan tanpa mempelajari Resolusi Jihad. Persis dengan realitas akademik yang naif apabila membeber pemikiran konstitusi dan konstitusionalisme bernegara dengan menyinggung-nyinggung penuh semangat terhadap lembar Magna Charta (1215) tetapi alpa dengan Piagam Madinah  (632). Rasulullah Muhammad SAW adalah “Nabi yang membentuk Konstitusi Pertama di Dunia”.

Resolusi Jihad dihasilkan dalam rapat besar wakil-wakil daerah (konsul-konsul) NU tertanggal 21-22 Oktober 1945 di Surabaya. Konsiderans penting yang diketengahkan para kiai adalah dalam bahasa sekarang dengan mendengar: bahwa di tiap-tiap daerah di seluruh Jawa-Madura ternyata betapa besarnya hasrat umat Islam dan alim ulama di tempatnya masing-masing untuk mempertahankan dan menegakkan Agama, Kedaulatan Negara Republik Indonesia Merdeka. Dan pertimbangan yang utama meliputi:  “bahwa  untuk  mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum Agama Islam, termasuk sebagai satu kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam” dan “bahwa di Indonesia ini warga negaranya adalah sebagian besar terdiri dari Umat Islam”.

Kenyataan yang diperingatkan oleh para kiai adalah: 1. “bahwa  oleh pihak Belanda (NICA) dan Jepang yang datang dan berada di sini telah banjak sekali dijalankan kejahatan dan kekejaman yang mengganggu ketenteraman umum”. 2. “bahwa semua yang dilakukan oleh mereka itu dengan maksud melanggar kedaulatan Negara Republik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali menjajah  di sini maka beberapa tempat telah terjadi pertempuran yang mengorbankan beberapa banyak jiwa manusia”. 3. “bahwa pertempuran-pertempuran  itu sebagian besar telah dilakukan oleh umat Islam yang merasa wadjib menurut hukum agamanya untuk mempertahankan kemerdekaan negara dan agamanya”. 4. “bahwa di dalam menghadapai sekalian kejadian-kejadian itu perlu  mendapat perintah dan tuntunan yang nyata dari Pemerintah Republik Indonesia yang sesuai dengan kejadian tersebut”.

Untuk itulah para kiai NU memutuskan: 1. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaja menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahajakan kemerdekaan dan agama dan negara Indonesia terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tangannya. 2. Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat “sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.

Menegakkan NKRI dan agama Islam menjadi kewajiban berdasarkan Resolusi Jihad. Ini spektakuler dan para santri pasti terpanggil untuk meneguhkannya. Memang NU telah membeber narasi kebangsaan sebagai literasi peradaban bahwa antara NKRI dan agama, khususnya Islam tidaklah terpisah. Hal ini juga tertuang dalam naskah-naskah pembahasan UUD 1945 maupun norma hukum UUD 1945. NU secara keilmuan sesungguhnya menyediakan banyak referensi yang sangat menggugah dalam membingkai kehidupan yang berkeadaban.

Saya berikhtiar menyelami NU bagi pembangunan karakter bangsa   untuk kejayaan   Indonesia. Secara historis NU tampil sebagai pemandu umat dan pemberi peneguhan terhadap kekokohan nasional NKRI. NU lahir tahun 1926 sebagai manifestasi pengawal ajaran ahlussunnah wal jamaah yang saat itu di Hijaz mengalami eleminasi politik-religius Golongan Wahabi. NU hadir sebagai pengawal teologi yang diyakini mampu mengemban ajaran Islam yang berdurasi dalam lingkar “catur moral”, yaitu: tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan amar makruf nahi munkar (menegakkan kebaikan mengenyahkan kemungkaran).

Untuk itulah keberadaan NU dipastikan tidak pernah membahayakan NKRI. Penerimaan Pancasila sebagai zzas tunggal yang digulirkan sejak Muktamar di Situbondo 1984 dan NKRI dianggap sebagai bentuk final bernegara, adalah  contoh betapa NU begitu penting dalam menjaga stabilitas kenegaraan NKRI. Nasionalisme NU tidak perlu diragukan dalam “menggendong” Indonesia. Kini NU justru harus tertantang untuk lebih memperhatikan tiga pilar dasar pembangunan berkelanjutan   dengan mensinergiskan aspek ekonomi, sosial, dan ekologis yang menyejahterakan umat.

NU sebagai lokomotif perubahan untuk mewujudkan masyarakat madani (civil-society) telah digelorakan sejak kepemimpinan PBNU di tangan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur selama 1984-1999. Gerakan ini merupakan investasi terbesar NU bagi penguatan NKRI yang demokratis. Maka dalam skala pengamanan dan kedaulatan sipil secara etika NKRI selayaknya berterima kasih kepada NU, meski hal demikian tidak diharapkan NU.

Perspektif ekologis menghendaki agar  NU semakin getol dalam kancah lingkungan dibanding syahwat politik yang akhir-akhir  ini mendominasi.  Terjadinya banjir, tanah longsor, pencemaran air-udara-tanah yang terus meningkat, lahan kritis yang meluas, kekurangan air bersih yang mengkhawatirkan dan keanekaragaman hayati yang menyusut, adalah fakta yang tidak terbantahkan. Kehancuran lingkungan negeri ini tidak memerlukan bukti ilmiah terlalu serius sebab bukti empirisnya sudah sangat kentara.

Dalam catatan sejarah NU sebenarnya telah dicatat secara gemilang tentang nurani ekologis NU. Pada Muktamar NU Ke-29 Tahun 1994 (1415 H) di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, NU telah menetapkan bahwa mencemarkan lingkungan hukumnya haram dan dikualifikasi sebagai perbuatan kriminal (jinayat). Sejak tahun 1994 itulah NU telah “memfatwakan” mengenai tindakan mencemarkan lingkungan sebagai kejahatan. Sebuah pernyataan “kriminalisasi pencemaran lingkungan” yang sangat progresif dan futuristik.

Pada Halaqoh Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan Hidup, PBNU tertanggal 20-23 Juli 2007 diputuskan pula bahwa nahdliyin dan seluruh warga masyarakat wajib memperjuangkan pelestarian lingkungan hidup (jihad bi’iyah) dengan mengembangkan gerakan: menanam dan merawat pohon, mengamankan hutan, melakukan konservasi tanah, air dan keanekaragaman hayati, membersihkan kawasan perumahan dan industri dari polusi dan limbah, melestarikan sumber air, memperbaiki kawasan pertambangan, membantu penanggulangan bencana, membangun ketahanan pangan dan energi nasional, meningkatkan daya saing produk dalam negeri, menetralisir penetrasi pasar global dan menjaga stabilitas ekonomi nasional. Luar biasa bukan? Lambang “Bumi NU” saja menunjukkan orientasi visi ekologis NU.

Itu adalah sebagian saja dari daya jangkau penjelajahan NU untuk Indonesia secara ekologis. Resolusi Jihad terbuka ditadabburi (dikaji sungguh-sungguh) oleh siapa saja  sebagai upaya untuk bermahabbah kepada-Nya dengan mencintai NKRI dan mengimani agama Islam. Kini, mempersembahkan gerakan Jihad Bi’iyah adalah pilihan untuk memakmurkan negara.  Selamat Hari Santri. *

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry