
“Saat kampanye Prabowo-Gibran menarasikan keberlanjutan, tentu, yang dimaksudkan adalah program Jokowi akan dilanjutkan. Tetapi, setelah 1 tahun, ternyata yang dominan perubahan bukan keberlanjutan.”
Oleh Mukhlas Syarkun
ADA banyak indikator menarik dalam pemerintahan Prabowo-Gibran. Pertama, soal Polhukam. Sebelumnya lembaga ini didominasi polisi. Ini terstruktur dan massif bahkan merambah hampir semua sektor kelembagaan negara. Sementara era Prabowo justru yang dipakai TNI. Ini tentu perubahan radikal, sebab kedua alat negara memiliki paradigma, orientasi dan kultural yang berbeda.
Kedua, jika zaman sebelumnya menyolok pemerintah berjalan bersama Oligarki, sedangkan Prabowo ingin mengurangi dominasi oligarki, indikasi pembongkaran pagar laut dan mengoreksi proyek-proyek strategi nasional yang selama ini didominasi Oligarki.
Ketiga, kebijakan ekonomi sebelumnya beraroma gincu, hanya gagah-gagahan membangun IKN, kereta cepat (whoosh) lebih dominan untuk layani kelompok menengah atas, sementara di era Prabowo orientasi melayani kalangan masyarakat bawah, seperti kebijakan sektor kemandirian pangan, penguatan gizi anak, koperasi merah putih. Hal ini terbukti penyumbang PDB tahun ini terbesar dari sektor pertanian.
Keempat, Prabowo mengubah pengelolaan BUMN. Perusahaan milik negara itu dikoreksi total yang sebelumnya menjadi kompensasi politik, maka, era Prabowo diubah (mencabut bonus gede) untuk direksi, hingga efisiensi puluhan triliun dan difokuskan pada penguatan pembiayaan penguatan UMKM menopang kemandirian energi dan pangan.
Kelima, penanganan korupsi tidak lagi dipercayakan pada KPK saja, tapi dipercayakan pada kejaksaan juga yg kini mulai terlihat hasilnya.
Semua itu indikasi perubahan orientasi, bukan mengedepankan keberlanjutan. Keberlanjutan hanya diwujudkan pada personal yang ada dikabinet belaka, bukan pada kebijakan dan orientasi pembangunan. (*)