“Hasil rukyat tersebut juga sesuai dengan perhitungan hisab. Dengan demikian, umat Islam kompak dalam mengawali ibadah puasa, melaksanakan idul fitri dan idul adha. Saat itulah telah terjadi integrasi metode hisab dan rukyat dalam penentuan posisi hilal.”
Oleh Abu Rokhmad*

SELAMA empat hari (22-26 Juli 2025), saya menghadiri Muzakarah Falak Peringkat MABIMS 2025 yang diselenggarakan di Seremban Negeri Sembilan Malaysia. Dalam forum tersebut, empat naskah kerja dipresentasikan untuk menegaskan posisi Indonesia, salah satunya tentang integrasi metode hisab dan rukyat dalam penentuan posisi hilal (bulan baru kamariah).

Bulan kamariah sangat berbeda dengan bulan syamsiah (masihiyah). Bulan Kamariah tidak sekedar hitungan hari, minggu dan bulan semata. Suatu bulan yang tidak melulu berurusan bisnis, liburan atau apalagi sekedar soal hidangan opor ayam, mau dimasak sekarang atau besok? Bulan Kamariah betul-betul bulan yang unik dan khas umat Islam. Bulan kamariah memiliki konsekuensi ibadah.

Oleh karena itu, khususnya pada tiga bulan ibadah, penentuan awal bulannya harus berhati-hati. Ramadan dan Syawwal berkaitan dengan kewajiban umat Islam untuk mengawali dan mengakhiri puasa (Idul Fitri) dan melaksanakan zakat fitrah. Dzulhijjah berkaitan dengan kewajiban melaksanakan ibadah haji, bagi yang sedang menjalankannya di tanah suci dan melaksanakan ibadah sunnah (puasa, menyembelih hewan kurban, shalat id) bagi yang berada di tanah air.

Jadi, sangat naif bila urusan penentuan awal bulan kamariah dilepaskan dari urusan ibadah. Meski begitu, bulan Kamariah tetap memiliki kepraktisan dan kepastian, sebagaimana bulan Syamsiyah. Sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Misalnya, umur bulan kamariah hanya dua kemungkinan. Kalau tidak 29 hari, dipastikan 30 hari.

Pada sisi lain, pelaksanaan ibadah pada tiga bulan kamariah sering berimplikasi pada pemanfatan ruang publik yang membutuhkan ketertiban dan keteraturan. Puasa Ramadan, Idul Fitri dan juga Idul Adha berhubungan dengan tradisi umat Islam untuk pulang kampung (mudik), baik untuk silaturahmi, ziarah kubur dan juga liburan. Karena bersinggungan dengan kehidupan sosial dan ekonomi, maka pemerintah berkewajiban memfasilitasi (bukan intervensi) penetapan awal bulan Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah agar ritual dan syiarnya dapat berjalan khidmat dan lancar.

Fasilitasi pemerintah, setidaknya dalam dua bentuk. Pertama, berikhtiar mengintegrasikan metode hisab-rukyat dalam penentuan posisi hilal awal bulan Ramadan, Syawal dan Dzulhijah. Pertemuan ahli hisab-rukyat secara rutin diselenggarakan. Kedua, menyelenggarakan sidang isbat sebagai wadah ilmiah dan musyawarah dalam penentuan awal bulan ibadah di atas. Forum sidang isbat sangat penting untuk berbagi informasi dan menyepakati kapan memulai bulan baru.

Jalan Kompromi

Sebagaimana dimaklumi, ada dua metode yang sah digunakan dalam penentuan awal bulan Kamariah. Pertama, metode hisab merupakan perhitungan matematis dan astronomis untuk menentukan posisi hilal yang digunakan dalam penentuan awal bulan hijriah. Penggunaan metode hisab, sering disebut dengan rukyat ‘ilmiyah, diisyaratkan dalam QS, 5:55 dan 10:5.

Kedua, metode rukyat yaitu mengamati hilal, baik pengamatan langsung maupun pengamatan dengan menggunakan teropong atau alat lainnya. Rukyat ini disebut dengan rukyat bashariyyat. Penggunaan metode ini dilakukan Rasullah SAW dan para sahabatnya. Dasarnya adalah hadits-hadits shahih Riwayat Bukhari dan Muslim.

Dalam realitasnya, di kalangan umat Islam Indonesia, kedua metode di atas diikuti dan dipraktikkan. Tetapi, sebagian condong menggunakan metode hisab, dan sebagian lainnya cenderung menggunakan rukyat meski tetap melakukan penghitungan astronomis. Karena berbeda metode, kadang-kadang berbeda pula hasil dan menyebabkan terjadi perbedaan awal puasa, Idul Fitri atau Idul Adha.

Pada dasarnya, pemerintah memahami penggunaan kedua metode tersebut dengan segala argumentasinya. Pemerintah berusaha berdiri di tengah dan selalu berharap umat Islam bersatu saat mengawali ibadah puasa, saat Idul Fitri dan Idul Adha.

Pemerintah berketetapan—sebagaimana pendapat para jumhur ulama—bahwa hisab dan rukyat merupakan dua metode yang sah untuk digunakan dalam penentuan posisi hilal. Namun kedua metode tersebut seolah selalu ‘dipertentangkan’ atau dianggap bertentangan.

Dengan kata lain, ayat tentang hisab dan hadits tentang rukyat dianggap ‘bertentangan’ (dalam ushul fiqh disebut ta’arud al-adillah). Sebagian ulama memilih tarjih (mengunggulkan satu dalil dan meninggalkan dalil yang lain) sebagai jalan keluarnya.

Memilih tarjih sebagai metode penyelesaian jika terjadi pertentangan dalil, paling tidak memiliki dua konsekuensi. Pertama, mengukuhkan pendapat bahwa telah terjadi pertentangan antara al-Qur’an dan al-Hadits sahih. Padahal, sejatinya bukanlah pertentangan. Kedua, memilih salah satu dan meninggalkan dalil yang lain.

Pemerintah mendorong jalan kompromi, yaitu dengan al-jam’u wa al-taufiq bagi keduanya. Dengan metode ini, kedua dalil (ayat dan hadits) tetap dilaksanakan dan tidak ada yang diparkir/ diberhentikan (mauquf). Metode ini dilaksanakan dengan mengintegrasikan pemanfaatan data hisab untuk melakukan rukyatul hilal secara efektif.

Data-data hisab sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan rukyat. Pelaksanaan rukyat dapat lebih efisien dan akurat hasilnya bila ditopang dengan data hisab. Dalam konteks praktis, data hisab sangat membantu perukyat hilal untuk memilih tempat/ wilayah rukyat yang paling tinggi perhitungan posisi hilal dan sudut elongasinya.

Lokasi rukyat yang perhitungan hisabnya masih rendah posisi atau ketinggian hilalnya dapat diabaikan atau tidak perlu dilaksanakan rukyat. Seluruh sumber daya difokuskan pada lokasi yang potensial hilal terlihat. Mobililisasi alat (teropong, kamera dan laptop beserta aplikasi) termasuk ahli rukyat dapat dimaksimalkan.

Jika semua sudah dilaksanakan, maka potensi hilal terlihat sangat besar. Hasil rukyat tersebut juga sesuai dengan perhitungan hisab sebelumnya. Dengan demikian, umat Islam kompak dalam mengawali ibadah puasa, melaksanakan idul fitri dan idul adha. Saat itulah telah terjadi integrasi metode hisab dan rukyat dalam penentuan posisi hilal.

Satu-satunya tantangan adalah cuaca buruk. Hilal (yang sudah imkan al-rukyat dan bahkan di atas kriteria MABIMS) tetap tidak terlihat, padahal semua alat modern telah dikerahkan. Begitu pula dengan terlihatnya hilal, padahal ketinggian hilal dan sudut elongasi masih dibawah kriteria MABIMS.

Jika hal ini terjadi, maka kemungkinan solusinya adalah sebagai berikut. Pertama, kembali kepada kriteria MABIMS. Kedua, dikembalikan kepada ulama atau otoritas masing-masing negara melalui sidang isbat atau mekanisme lainnya.

Jika memungkinkan atau disepakati, hasil sidang isbat dapat menjadi acuan bagi MABIMS, mengingat Aceh merupakan wilayah yang paling barat dan paling akhir, sekaligus paling menentukan saat pelaksanaan rukyatul hilal. Menurut perhitungan hisab, posisi hilal di Aceh selalu lebih tinggi, begitu pula dengan sudut elongasinya. Potensi hilal terlihat sangat tinggi di bumi Serambi Mekah ini.

*Abu Rokhmad adalah Dirjen Bimas Islam Kemenag RI

 

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry