Tampak Ust Salafi (Abdullah Sholeh Hadrami). (FT/intiruh)

SURABAYA | duta.co – Hari-hari ini viral kembali video Ust Salafi (Abdullah Sholeh Hadrami) yang memuji Ust NU (Abdus Somad). Dalam video itu Abdullah Hadrami memberikan pengajian yang mencerahkan. Katanya, dirinya sekarang sadar, dan semakin sadar, bahwa, otak kita selama ini dirusak dan diprogram dengan kebencian. Sering menuduh kelompok lain bid’ah.

“Ini mencerahkan. Sebaiknya media Islam menviralkan untuk menghentikan tuduhan bid’ah, ini bisa menjadi jalan kerukunan yang sifatnya permanen,” demikian permintaan pengguna Medsos yang masuk ke redaksi duta.co, Senin (04/9/2017).

Seperti diketahui, selama ini Abdullah Hadrami dikenal sebagai dedengkot salafi wahabi di Malang, Jawa Timur. Sementara Ustadz Abdus Somad, lelaki asal Pekanbaru itu dikenal sebagai nahdliyin tulen. Keduanya banyak belajar di Timur Tengah. Abdus Somad yang menamatkan S1-nya di Mesir dan S2-nya di Maroko, sesekali juga memuji Abdullah Hadrami.

Salafi Sadar

Dakwah ustadz-ustadz muda ini sangat mencerahkan. Gaya dakwah Ustadz Abdus Somad yang blak-blakan dan sangat argumentatif menjadi ‘penawar’ tudingan bid’ah. Apalagi Abdus Somad sendiri berhasil menempatkan diri sebagai sosok yang menghindari perdebatan sesama Islam. Bukan tidak mungkin, dari sini, perbedaan-perbedaan atau tudingan bid’ah yang sifatnya tidak prinsip — selama ini menyerang NU — menjadi tidak popular. Ini persis dengan pengakuan Ustadz Abdullah Hadrami.

 “Saya sekarang sadar, semakin hari semakin sadar, bahwa otak kita selama ini sudah dirusak, otak kita sudah diprogram dengan kebencian. Kalau ada kata-kata bid’ah, otak kita langsung tertuju ke mana? Ayo jujur antum-amtum? Yang dibayangkan ahli bid’ah ke mana? Ayo jawab ya ikhwan? Kelompok mana yang reflek di otak kita? NU, langsung NU, habaib. Ini salah! Mereka bukan ahli bid’ah mereka adalah ahlussunna waljamaah,” demikian disampaikan Abdullah Hadrami yang selama ini dikenal garang dengan amalan nahdliyin.

Abdullah Hadrami juga membenci kelompok yang mengklaim surga sebagai miliknya. Ia mengaku heran dengan kelompok yang meyakini surga itu miliknya. Padahal ulama di dunia ini banyak. “Saya tidak tahu, apakah surga yang diklaim sebagai miliknya, itu isinya bidadari apa wewe gombel,” tegasnya.

Diakui Abdullah Hadrami, bahwa, fenomena saling menyalahkan atau saling mengkafirkan satu sama lain di tengah-tengah masyarakat Indonesia, sampai saat ini masih seringkali terjadi. Pemicunya terkadang karena perbedaan paham, bahkan karena persoalan yang sifatnya cabang (furu’) dan bukan yang prinsip (ushul) dalam beragama.

Misalnya, di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang sebagian banyak dihuni oleh masyarakat muslim berorganisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang seringkali melakukan amalan-amalan seperti tahlil, yasinan, dibaan, dan seterusnya, oleh sebagian kelompok, utamanya oleh kelompok wahabi ekstrem, dianggap sebagai amalan bid’ah yang sesat dan menyesatkan. Padahal warga nahdliyin memiliki sumber rujukan yang kuat di dalam setiap apa-apa yang mereka lakukan.

Karenanya, ia minta jamaahnya piknik, artinya jalan-jalan untuk memahami hujjah orang lain. Ia kemudian menyebut Ustadz Abdus Somad, dan kalau perlu membaca buku karyanya yang berjudul 37 masalah populer. Di sana disebutkan alasan-alasan amaliyah nandliyin.

“Mereka ini ahlussunnah waljamaah. NU, Muhammadiyah, Al Irsyad, Ikhwanul Muslimin, jamaah tabligh, ini semua ahlussunnah wal jamaah. Mengapa? Karena rukun islamnya sama, lima. Rukun imannya, sama, enam. Alqurannya sama, hadits-haditsnya sama, sarah haditsnya sama. Bedanya sedikit, dan itu bukan prinsip, kalau mereka dibilang ahli bid’ah saya tidak setuju,” jelas Ustadz Abdullah Hadrami.

Karena itu, untuk menyikapi perbedaan semacam itu, menurut seorang dai kondang pengasuh kajian ‘Hati Bening’ tersebut, pertama-tama seseorang ketika menghadapi perbedaan amalan, harus mula-mula sadar bahwa dia hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang majemuk.

“Kita ini harus menyadari, kita ini hidup di mana. Kita hidup di Indonesia. Kita hidup di kota Malang. Kita harus jujur, di sini banyak orang NU; banyak habaib, yang mana di antara para habaib itu, amalan mereka adalah tahlilan dan shalawatan. Mereka melakukan itu pun punya argumentasi,” kata lelaki yang selama ini dikenal sebagai salafi moderat dalam sebuah video yang diunggah di akun Youtube oleh seorang netizen bernama muh dho pada 3 Mei 2017 kemarin.

Karena orang-orang NU memiliki rujukan amalan yang jelas kepada ulama-ulama klasik, menurut Ustadz Sholeh, maka, kelompok yang berbeda dengan NU, termasuk kelompok dirinya (salafy–red), tidak boleh meributkan masalah tahlil dan shalawatan itu.

“Sehingga kita tidak perlu ribut masalah ini. Ndak perlu ribut; ndak perlu bid’ah-bid’ahkan. Kalau kita nyesat-nyesatkan, berarti kita cari masalah, kita ngajak ribut. Sampai kapan kita mau ribut?” ujarnya di hadapan jamaah pengajiannya.

Sikap yang demikian, lanjut Abdullah Hadrami, harus diambil kelompoknya, karena yang selama ini diributkan, utamanya amalan orang-orang NU, bukan masalah yang sifatnya prinsip, tetapi masalah cabang yang memang memungkinkan perbedaan pemahaman di dalam beragama.

“Ini bukan masalah yang prinsip. Ini bukan masalah prinsip ya ikhwan. Ini masalah furu’iyah (masalah cabang). Dan mereka punya ulama. Walaupun kesimpulannya kita arus berbeda pendapat,” kata dia.

“Jadi tidak usah memaksakan keyakinan. Agama itu privasi kita dengan Tuhan, dengan Allah. Nggak usah ikut campur urusan agamanya orang lain. Berdakwah boleh. Harus berdakwah. Tapi caranya juga harus santun,” sambungnya.

Pihak yang sering meributkan hal-hal yang sifatnya furu’iyah semacam itu, lanjutnya, karena pelakunya atau yang sering meributkan, tidak memiliki wawasan terhadap kitab-kitab rujukan yang dipakai pihak lain. Karena itu, ia menganjurkan kepada jamaah pengajiannya untuk banyak mengkaji kitab-kitab rujukan yang berbeda dengan kelompoknya.

“Saya mengajurkan supaya antum banyak piknik. Piknik bukan jalan-jalan. Piknik ke kitabnya para ulama. Jadi baca kitabnya ulama yang berbeda dengan kita. Tujuannya apa, untuk membuka wawasan. Karena kalau kita hanya satu kitab, nanti kita merasa paling benar sendiri,“ ujar dia.

Menurutnya, hal itu perlu dilakukan, karena akan bisa mengatasi klaim kebenaran miliki sendiri sebagaimana banyak terjadi belakangan ini. Dengan begitu, kelompok yang kurang memiliki wawasan itu, tidak akan lagi mengklaim surga milik mereka pribadi.

Kelompok Wahabi memang bisa dianggap gagal menggalang pengikut. Terbukti sudah ratusan tahun menyebarkan pahamnya hanya segelintir saja yang mengikuti doktrinnya. Wahabi yang didanai oleh Salafi Arab Saudi dan Yahudi Inggris masih menjadi kelompok minoritas yang sangat kecil jumlahnya dibandingkan jumlah umat Islam ahlussunnah wal jama’ah keseluruhan. Sama halnya dengan kelompok Syiah jumlahnya jauh lebih sedikit.

Abdullah Hadrami sebelumnya pernah berpolemik dengan KH. Luthfi Bashori (dikenal sebagai Imam Besar NU Garis Lurus) soal shalawat nariyah yang videonya sudah beredar agak lama. polemik shalawat Nariyah dianggap bid’ah oleh oleh tokoh Wahabi dengan alasan tidak ada tuntunan tekstual shalawat dari nabi. Tuduhan dan konsep Wahabi ini menjadi runtuh, terkapar tak berdaya, saat disanggah KH Luthfi Bashori, Pengasuh Pondok Pesantren Ribath Al Murtadla Al Islami Singosari Malang. (mky,ytb)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry