Ustad Syam
Oleh Hamidulloh Ibda
 

DAKWAH  di televisi yang menggambarkan “janji pesta seks” di surga sangat ngawur dan konyol. Acara di televisi itu ditonton masyarakat se Nusantara bahkan dunia. Sangat berbahaya dan menciderai ajaran Islam yang santun. Bahkan, bisa “menyesatkan”.

Dalam Islam, menjelaskan ayat Alquran, hadist, bahkan kitab kuning, makalah ulama, harus menggunakan pendekatan ulumul Quran, ulumul hadist dan tahu asbabun nuzul dari ayat tersebut. Masalahnya, tidak semua penafsir berkesempatan menjadi ustaz di televisi. Sementara semua ustaz belum tentu penafsir Alquran yang memiliki nasab keilmuwan yang jelas.

Penafsir Alquran diharuskan hafal 30 juz Alquran. Juga harus ngelothok (paham betul) Bahasa Arab, ilmu mantik (logika), nahwu (tata bahasa), sharaf (gramatika), balaghah (sastra). Mereka juga dituntut memiliki adabul mufassir (etika penafsir) pada ayat yang dijelaskan ke publik. Jika tidak mematuhi standar itu, saya yakin metode penyampaiannya sangat “primitif”.

Metode dan Diksi

Cuplikan video dakwah Syamsuddin Nur itu beredar di media sosial. Video berdurasi 56 detik itu membuat masyarakat geram. Dalam dakwahnya, Syamsuddin menjelaskan, “Salah satu nikmat yang ada dalam surga adalah pesta seks. Minta maaf, karena inilah yang kita tahan-tahan di dunia dan kenikmatan terbesar yang diberikan Allah Swt di surga adalah pesta seks. Kenapa ini? Karena ini yang disuruh tahan di dunia oleh laki-laki.”

Apakah ini kesalahan memilih diksi? Tentu tidak. Ustaz yang dipilih dalam acara itu tentu memenuhi kualifikasi internal penyelenggara. Seharusnya para ustaz itu cerdas dan santun berbahasa. Jika dakwah di masjid tertentu, tak ada masalah, meski harus tabayun. Tapi jika di ruang publik tentu berbahaya. Jika orang mengerti agama, ulumul quran dan ulumul hadist, tidak ada masalah dengan bahasa seperti itu. Namun bagi orang awam, tentu akan multitafsir, bahkan salah tafsir.

Menjelaskan atau menafsirkan ayat tentu harus sesuai konteks. Dalam ulumul quran, ada dua metode menjelaskan ayat yaitu tekstual, kontekstual bahkan intertekstual. Seperti contoh menjelaskan kalimat yadullah, secara tekstual artinya adalah “tangan Allah”. Namun, hal itu harus dikiaskan, maksud yadullah adalah “kekuasaan Allah” bukan “tangan Allah”.

Soal janji kenikmatan surga yang dijelaskan Syamsuddin jelas sangat anomali. Seharusnya, ia perlu memperbanyak diksi dan kaidah bahasa. Sebab, masih banyak diksi lain untuk menggambarkan kenikmatan surga. Bahkan, tidak cukup dengan ilmu bahasa dan mantik, melainkan harus dijelaskan dengan asbabun nuzul.

Dalam sejarah Islam, turunnya ayat tentang kenikmatan surga karena zaman dahulu orang Arab era jahiliyah suka berzina dan mabuk-mabukan. Maka, Alquran yang diturunkan Allah berisi “pancingan” yang sesuai konteks kala itu.

Dalam filfasat agama itu semua hanya tasawwur (konsepsi). Sebab, adanya Tuhan, malaikat, surga, neraka, pahala, dosa itu hanya konsepsi yang wilayahnya tidak hanya pada akal, melainkan pada hati. Maka orang beriman harus menggunakan piranti perasaan, hati, rasa, bukan hanya akal dalam memahami ayat.

Dakwah harus menggunakan metode yang tepat. Meski tidak harus penafsir Alquran, namun semua orang Islam, utamanya ustaz, bisa menjadi “penelaah” atau tadabbur dalam berdakwah. Dalam Alquran, tak ada perintah pada kita untuk menjadi penafsir. Kita hanya diperintah menggunakan akal (afala ta’qilun), berpikir (afala tatafakkarun), menelaah (afala yatadabbarun).

Melihat metode dakwah Syamsuddin tentang pesta seks, sebenarnya ia menelaah ayat Alquran tentang janji surga berupa bidadari di surga. Namun, caranya terlalu senonoh, Seharusnya ia membuat kiasan, majas, atau diksi yang tepat. Surga dengan tafsir surga jelas beda, apalagi telaah atau pemahaman tentang surga.

Posisi kita harus sesuai kualifikasi dan ilmu yang dimiliki ketika menelaah ayat Alquran. Islam menganjurkan menggunakan metode dakwah dengan tulisan, lalu lisan (bil lisan), tindakan (bil hal) dan diskusi (mujadalah). Juga dengan perkataan baik (mauizhah hasanah). Ke depan, televisi perlu mencari sosok ustaz yang punya standar minimal seperti itu. Meski bukan penafsir yang hafal Alquran, namun minimal mereka paham cara menelaah dan paham metode dakwah sesuai kontesknya.

Dalam ulumul quran, ada ayat muhkamat (jelas, langsung) dan mutasyabihat (samar, tidak jelas, ambigu). Dalam konteks menelaah, ada ayat yang boleh langsung dipakai, ada yang harus runding. Ada juga ayat Alquran yang dibuka Allah seratus persen, ada yang harus didiskusikan, ada yang seratus persen tidak dibuka untuk manusia. Semua itu harus ditelaah dengan metode yang cocok.

Bukan Pesta Seks

Kepada manusia yang memiliki hawa nafsu, Allah dalam Alquran menjanjikan kenikmatan surga. Salah satunya adanya bidadari. Ada sejumlah ayat yang menggambarkan bidadari surga. Mulai dari Albaqarah ayat 25, Ali Imran ayat 14, Arrahman ayat 56, 58, dan 70, Alwaqiah 23 dan 26-27.

Dari semua ayat-ayat itu, bidadari di surga digambarkan baik, elok, jelita, suci (belum pernah disentuh), perawan, awet muda, bagaikan permata dan lainnya. Jadi inti dari ayat-ayat itu bukan “pesta seks” melainkan “bidadari surga”.

Secara tekstual, tidak ada kata-kata atau makna “pesta seks” dari ayat Alquran tersebut. Syamsuddin menggunakan bahasanya sendiri, yang itu melenceng jauh dari kaidah dan lisanul arab sesuai ayat yang dimaksud.

Pesta seks dalam telaah ayat itu kurang tepat bahkan tidak tepat. Kontekstualisasi bidadari surga dengan pesta seks sangat paradoks. Kata “pesta” selalu berkonotasi euforia bahkan negatif. Mulai dari pesta demokrasi, seks, narkoba, alkohol dan lainnya. Mengapa Syamsuddin dengan frontal menggambarkan janji pesta seks? (kolom detik.com)

Hamidulloh Ibda pengajar di STAINU Temanggung, editor buku Metode Dakwah Khalifah Abu Bakar Assiddiq (Formaci, 2017)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry