Zaini Misrin Arsyad ailas Slamet (ist)

 

Eksekusi di Saudi

–  Pemancungan menggunakan pedang adalah cara eksekusi paling umum

–  Eksekusi kerap digelar di muka umum

– Kejahatan yang berujung pada hukuman mati mencakup pembunuhan, zina, pengkhiatan, seks homoseksual, penggunaan narkoba, sihir, dan ateisme.

– Sejumlah pegiat HAM mengatakan mereka yang dikenai hukuman mati sering tidak mendapat persidangan yang adil.

– Keluarga terpidana mati tidak selalu dikabari menjelang eksekusi

BANGKALAN | duta.co – Keluarga TKI asal Bangkalan, Jawa Timur, Muhammad Zaini Misrin Arsyad alias Slamet (53), kaget mendapat kabar Misrin telah dipancung di Arab Saudi. Kabar itu sangat mendadak. Pemerintah pun kirim nota protes ke Saudi.

“Jam 23.00 semalam (Minggu malam, red) adik saya baru cerita ke saya kalau Abah dieksekusi,” kata anak pertama almarhum, Saiful Toriq, di rumah duka Desa Kebun, Kecamatan Kamal, Kabupaten Bangkalan, Senin (19/3).

Zaini dieksekusi mati Minggu, 18 Maret 2018. Pria yang bekerja sebagai sopir itu dituduh terlibat dalam pembunuhan majikan. Organisasi pemerhati hak buruh migran, Migrant Care, menyampaikan Zaini telah ditahan pihak Saudi sejak 13 Juli 2004. Zaini telah bekerja di Saudi selama lebih dari 30 tahun. Otoritas Saudi lalu memvonis hukuman mati Zaini, 17 November 2008. Pemerintah Indonesia sudah mengusahakan permohonan pembebasan namun ditolak Pemerintah Saudi.

Mendapat kabar dari sang adik yang ditelepon Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Saiful langsung menghubungi sendiri melalui WhatsApp. “Saya tanya ke Kemlu Jakarta, benar tidak berita ini (eksekusi almarhum) dan dijawab besok (hari ini) akan diberitahu,” imbuhnya.

Saiful mengaku mendapat kabar jelas setelah keluarga didatangi rombongan dari Kemlu, BNP2TKI, dan Badan Perlindungan WNI pagi kemarin.

“Baru pagi tadi (kemarin-red) saya mendapat keterangan jelas dan resmi dari Badan Perlindungan WNI bahwa pemerintah sudah berusaha maksimal dengan melakukan upaya diplomasi ke Pemerintah Arab Saudi. Yakni berkirim surat hingga menempuh jalur hukum meminta Peninjauan Kembali (PK),” ungkap Saiful.

Minta Ayah Dikubur di Bangkalan

Anak kedua almarhum Mustofa Kurniawan (19) mengaku mendapat kabar ayahnya dieksekusi dari adik almarhum atau bibinya. “Saya tidak mendapat telepon langsung dari Kemlu. Tetapi diberitahu oleh bibi yang mendapat telepon. Kabar itu diberitahu seusai salat Isya dan saya baru kasih tahu ke kakak (Saiful Toriq) sekitar pukul 23.00 WIB setelah jemput istrinya bekerja,” terang Mustofa.

Paman Saiful dan Mustofa saat ini memang di Arab Saudi sebagai tenaga kerja. Saiful menceritakan, ibunya bernama Naimah baru saja berangkat ke Arab Saudi, Sabtu (17/3) lalu, untuk kembali bekerja. Namun, sesampai di Saudi, Naimah dikabari bahwa suaminya telah dieksekusi.

Zaini meninggalkan seorang istri bernama Naimah yang juga bekerja di Arab Saudi. Kemudian dua anak, yakni Mohammad Syaiful Toriq dan Mustofa Zaini, serta seorang cucu laki laki berumur 6 bulan di Kamal, Bangkalan.

Pihak keluarga yang diwakili Saiful Toriq meminta agar Zaini bisa dikembalikan ke Madura. “Seperti kasus Siti Zainab kan bisa dibawa ke Indonesia. Saya ingin Abah bisa juga dipulangkan ke Indonesia dan bisa dikubur di sini,” kata Saaiful.

Kabar meninggalnya Zaini langsung menyebar ke para tetangga, termasuk ke Kepala Desa Kebun Abd Ghani. Ghani membenarkan kabar tersebut. “Betul, eksekusi terhadap Bapak Zaini telah dilakukan. Kami merasa kehilangan,” ungkapnya. Tadi malam juga digelar tahlilan dihadiri puluhan tetangga almarhum.

 

Surat Jokowi Tak Digubris

Dubes RI untuk Saudi Agus Maftuh Abegebriel saat dikonfirmasi membenarkan Zaini Misrin asal Bangkalan, Jawa Timur, telah dieksekusi mati oleh otoritas Saudi, Minggu (18/3).

Agus mengatakan, Presiden Joko Widodo telah melayangkan surat sebanyak dua kali kepada Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz untuk meminta penundaan eksekusi dan peninjauan kembali kasus Zaini. Namun, permintaan itu tidak digubris otoritas Saudi.

“Presiden Jokowi telah melakukan extraordinary action dengan mengirim surat dua kali ke Raja Salman agar pemerintah Saudi melakukan penundaan eksekusi dan peninjauan kembali atas kasusnya,” kata Agus.

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengecam eksekusi mati Zaini dan mendesak pemerintah RI segera menindaklanjuti langkah Saudi yang dianggap melanggar hak asasi manusia tersebut.

Anis mengatakan, selama menjalani proses hukum Zaini tidak didampingi kuasa hukum bahkan dari pemerintah. Selain itu, Zaini juga tidak mendapatkan penerjemah yang netral dan imparsial.

Selain itu, Anis menyebut pemerintah RI bahkan tidak diberitahu mengenai kasus Zaini sampai vonis dijatuhkan. “Jika merunut pengakuan Zaini, dia mengaku dipaksa mengakui melakukan pembunuhan setelah mengalami tekanan dan intimidasi dari otoritas Saudi,” ujar Anis saat dihubungi.

Anis mengatakan Peninjauan Kembali kasus Zaini juga sebenarnya telah diajukan pada 6 Maret lalu. Namun, permintaan tersebut ditolak hakim. “Hakim menolak PK yang diajukan dan tetap memvonis hukuman yang sama,” ujar Agus.

 

Kemenlu Kirim Nota Protes

Sementara itu, Pemerintah Indonesia secara resmi telah mengirimkan nota protes kepada Kerajaan Arab Saudi terkait eksekusi mati terhadap TKI Muhammad Zaini Misrin.

“Secara resmi kami telah mengirimkan nota protes dan memanggil Duta Besar Arab Saudi di Jakarta hari ini,” kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri RI Lalu Muhamad Iqbal dalam konferensi pers di Kemenlu RI, Jakarta, Senin (19/3).

“Hari ini Dubes Arab Saudi sudah dipanggil oleh Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika untuk menyampaikan protes kita soal ini,” lanjut dia.

Ditegaskan pula bahwa, Selasa (20/3) hari ini, Duta Besar RI di Arab Saudi akan memberikan nota protes dari Indonesia langsung ke Kementerian Luar Negeri Arab Saudi. Iqbal menjelaskan bahwa sebenarnya eksekusi mati ini dilakukan di tengah proses Pengajuan Kembali kedua sedang berjalan.

“Jadi kami menyayangkan memang kenapa eksekusi mati dilakukan tanpa notifikasi dan juga saat PK kedua sedang berjalan,” ucap dia lagi.

42 Nota Diplomatik

Selama proses penahanan Zaini dari 2004 hingga sebelum dieksekusi, Iqbal membeberkan bahwa sudah 42 nota diplomatik dikirim ke Kemenlu Arab Saudi. Ada juga surat pribadi dari Dubes RI di Arab Saudi dan surat dari Presiden RI Joko Widodo kepada Raja Salman untuk meringankan kasus Zaini.

Sebelumnya, Migrant Care bersama organisasi buruh migran lainnya seperti Serikat Buruh Migran Indonesia memang menuntut Pemerintah Indonesia mengirimkan nota protes ke Kerajaan Arab Saudi terkait hal ini.

“Kami menuntut agar Pemerintah Indonesia segera mengirimkan nota protes diplomatik kepada Arab Saudi terkait eksekusi mati Zaini,” tegas Anis Hidayah dari Migrant Care, dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (19/3).

“Zaini dieksekusi mati tanpa ada notifikasi ke KJRI Jeddah maupun langsung ke Kementerian Luar Negeri RI,” lanjut dia.

Dalam rentang waktu 2004 hingga 2009, Migrant Care mengatakan bahwa KBRI Riyadh dan KJRI Jeddah tidak mengetahui soal kasus ini. “Perlu diketahui bahwa sejak tahun tersebut, data TKI yang dieksekusi mati tidak ada di pemerintah. Kemenlu RI mengakui ini,” ujar dia lagi.

Oleh sebab itu, Migrant Care menuntut Indonesia untuk bisa melobi Pemerintah Arab Saudi agar bisa mengubah peraturan dan kebijakan soal eksekusi mati.

 

Lonjakan Hukuman Mati

Hukuman pancung terhadap TKI Muhammad Zaini Misrin Arsyad menguatkan temuan bahwa Saudi meningkatkan eksekusi mati sejak 2017. Dalam laporannya, organisasi hak asasi manusia Reprieve mengatakan, peningkatan eksekusi mati bertepatan dengan diangkatnya Pangeran Mohammed bin Salman sebagai putra mahkota pada Juni 2017.

“Hal ini kontras dengan serangkaian reformasi yang ditempuh di kerajaan dan terpampang sebagai tajuk utama media,” sebut Reprieve.

Dr Kristian Coates Ulrichsen, peneliti Kebijakan Publik dar Rice University, mengatakan kepada BBC bahwa jumlah eksekusi di Arab Saudi sejatinya sudah meningkat tajam sejak 2015. Pada akhir 2015 saja, lembaga Human Rights Watch melaporkan lebih dari 150 orang telah dieksekusi di Arab Saudi, jumlah tertinggi yang dicatat lembaga tersebut selama 20 tahun terakhir.

“Penilaian saya tingginya jumlah eksekusi ini sebagian disebabkan keputusan pihak berwenang Saudi untuk melaksanakan vonis hukuman mati yang telah dijatuhkan, namun belum diwujudkan pada masa kekuasaan Raja Abdullah,” kata Ulrichsen.

“Sulit menentukan satu penyebab tertentu selama delapan bulan terakhir yang bisa menjelaskan mengapa ada lonjakan mendadak,” tambahnya.

Data organisasi hak asasi manusia Reprieve menyebutkan terdapat 133 eksekusi di Arab Saudi pada periode Juli 2017 hingga 2018. Jumlah itu hampir mencapai dua kali lipat jika dibandingkan dengan 67 eksekusi pada periode Oktober 2016 hingga Mei 2017.

Pada Juni 2017, yang bertepatan dengan Ramadan, Reprieve tidak menemukan laporan mengenai eksekusi mati. Temuan Reprieve sedikit berbeda dengan data Human Rights Watch yang menyebutkan terdapat 138 eksekusi antara Juli 2017 dan Februari 2018.

Saudi Tak Terbitkan Jumlah Eksekusi

Baik Reprieve maupun Human Rights Watch tidak mendapatkan data resmi dari pemerintah Arab Saudi yang sama sekali tidak menerbitkan jumlah eksekusi. Alih-alih, kedua lembaga tersebut mengompilasinya dari laporan media di Saudi, seperti kantor berita Saudi (SPA).

Data Kemenlu RI menyebut bahwa terdapat 142 WNI yang terancam hukuman mati di seluruh dunia. Dari jumlah itu, sebanyak 23 orang berada di Arab Saudi. Di antara mereka, menurut Migrant Care, terdapat Tuty Tursilawati dan Eti binti Toyib asal Jawa Barat yang menunggu eksekusi mati setelah pada 2010 divonis bersalah karena kasus pembunuhan.

Pelaksanaan hukuman mati terhadap TKI telah beberapa kali terjadi di Saudi. Pada 2015, Siti Zainab, WNI asal Bangkalan, Madura, dihukum mati karena kasus pembunuhan pada tahun 1999. Dalam pekan yang sama, Karni binti Medi Tarsim dieksekusi di dekat Madinah.

“Eksekusi mati juga menimpa Yanti Iriyanti pada 2008 dan Ruyati pada 2011,” kata Wahyu Susilo dari Migrant Care kepada BBC Indonesia.  hud, dit, mer, kum, bbc

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry