Asa Firda Inayah, 19, siswi SMAN 1 Gambiran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur yang popular dengan nama Afi Nihaya Faradisa. (FT/BBC.COM)

SURABAYA | duta.co – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Senin (29/5/2017) menampilkan Asa Firda Inayah, 19, siswi SMAN 1 Gambiran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur yang popular dengan nama Afi Nihaya Faradisa. Fisipol UGM tertarik untuk membedah pemikiran Afi perihal hkebangsaan yang belakangan didera dengan berbagai ancaman.

Acara digelar di Auditorium Mandiri Lt. 4 Fisipol UGM sekitar pukul 09.30 WIB – selesai. Calon peserta talkshow kebangsaan ini terus bertambah. “Anda bisa mendaftar melalui http://bit.ly/talkshowkebangsaan atau kontak Diah, dengan nomor HP 0811 263 1100,”  begitu poster yang beredar dari Fisipol UGM sampai Ahad (28/5/2017).

Seperti diketahui, kecerdasan Afi memang jauh melampaui usianya. Goresan penanya telah menggegerkan dunia medsos (media sosial), bahwa sejumlah kampus sudah disasarnya. Tulisan-tulisan Afi begitu menggigit, apalagi temanya seputar kebangsaan, Bhinneka Tunggal Ika, dan toleransi kini menjadi populer. Belum lama ini akun Facebook-nya di-suspend dan diduga lantaran banyak laporan yang tidak menyukai tulisan putri sulung Imam Wahyudi dan Sumartin tersebut.

Tak tanggung-tanggung, gadis kelahiran Juli 1998 itu telah mendapatkan kesempatan berbicara pada Sarasehan Kebangkitan Nasional di Universitas Tribhuwana Tunggadewi, Malang, Jawa Timur, Sabtu (20/5/2017). Ia duduk satu podium bersama Akbar Tandjung, Ali Maschan Moesa, dan Bambang Budiono.

Dalam pidato sekitar 15 menit di depan ribuan mahasiswa dan akademisi, ia mengajak semua lapisan masyarakat untuk bersatu mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Saya menulis karena prihatin. Indonesia yang sangat beragam ini dituntut memiliki toleransi yang sangat tinggi atas keragaman tersebut. Namun, realitasnya, Indonesia sangat mudah dipicu isu SARA agar tercerai-berai,” tegasnya.

Pemikiran yang dituangkan dalam tulisan berjudul Warisan pada 15 Mei di akun Facebook, Afi mendapatkan reaksi beragam dari netizen. Dalam waktu seminggu, sudah disukai sekitar 90 ribu orang dan dibagikan lebih dari 50 ribu kali. “Saya mencintai NKRI, saya bukan siapa-siapa. Saya adalah murid SMAN 1 Gambiran, Banyuwangi, yang baru bulan ini lulus. Ayah saya seorang pedagang kaki lima,” ujarnya.

Afi menyebut dirinya menulis karena memiliki semangat cinta Tanah Air. “Tulisan yang viral tersebut saya ketik dengan menggunakan handphone seharga Rp600 ribu. Saya melakukan itu karena mencintai NKRI, peduli bangsa, melakukan sesuatu yang saya bisa,” katanya yang disambut tepuk tangan mahasiswa dan akademisi.

Anak penjual cilok (makanan ringan untuk anak-anak) itu, sebagaimana dikutip mediaindoensia.com, prihatin lantaran Indonesia masih sangat sensitif dan mudah dipicu oleh isu SARA. Tulisan yang paling menohok bertajuk Warisan, pekan lalu menjadi viral dengan sekitar 15.000 komentar dan dibagikan puluhan ribu kali.

Afi menyatakan akibat tulisan itu “banyak yang menjadi haters“. Bahkan dia mendapatkan ancaman fisik dan ancaman pembunuhan terkait tulisan tersebut.

Dalam artikel ‘Warisan’, Afi mengotak atik soal agama dan etnis yang diakhiri dengan kalimat, “Suatu hari di masa depan, kita akan menceritakan pada anak cucu kita betapa negara ini nyaris tercerai-berai bukan karena bom, senjata, peluru, atau rudal, tapi karena orang-orangnya saling mengunggulkan bahkan meributkan warisan masing-masing di media sosial.”

“Banyak yang jadi haters sekarang karena tulisan itu… yang mendukung saya yakin banyak dan yang mengejek juga banyak… Ada yang mengancam fisik, mengancam pembunuhan…ada yang langsung telpon,” kata Afi kepada BBC Indonesia.

Berikut tulisan lengkap dari Afi berjudul Warisan:

WARISAN

 Kebetulan saya lahir di Indonesia dari pasangan muslim, maka saya beragama Islam. Seandainya saja saya lahir di Swedia atau Israel dari keluarga Kristen atau Yahudi, apakah ada jaminan bahwa hari ini saya memeluk Islam sebagai agama saya? Tidak.

Saya tidak bisa memilih dari mana saya akan lahir dan di mana saya akan tinggal setelah dilahirkan.

Kewarganegaraan saya warisan, nama saya warisan, dan agama saya juga warisan.

Untungnya, saya belum pernah bersitegang dengan orang-orang yang memiliki warisan berbeda-beda karena saya tahu bahwa mereka juga tidak bisa memilih apa yang akan mereka terima sebagai warisan dari orangtua dan negara.

Setelah beberapa menit kita lahir, lingkungan menentukan agama, ras, suku, dan kebangsaan kita. Setelah itu, kita membela sampai mati segala hal yang bahkan tidak pernah kita putuskan sendiri.

Sejak masih bayi saya didoktrin bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Saya mengasihani mereka yang bukan muslim, sebab mereka kafir dan matinya masuk neraka.

Ternyata,

Teman saya yang Kristen juga punya anggapan yang sama terhadap agamanya. Mereka mengasihani orang yang tidak mengimani Yesus sebagai Tuhan, karena orang-orang ini akan masuk neraka, begitulah ajaran agama mereka berkata.

Maka,

Bayangkan jika kita tak henti menarik satu sama lainnya agar berpindah agama, bayangkan jika masing-masing umat agama tak henti saling beradu superioritas seperti itu, padahal tak akan ada titik temu.

Jalaluddin Rumi mengatakan, “Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan; jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut kepingan itu, memperhatikannya, lalu berpikir telah memiliki kebenaran secara utuh.”

Salah satu karakteristik umat beragama memang saling mengklaim kebenaran agamanya. Mereka juga tidak butuh pembuktian, namanya saja “iman”.

Manusia memang berhak menyampaikan ayat-ayat Tuhan, tapi jangan sesekali coba menjadi Tuhan. Usah melabeli orang masuk surga atau neraka sebab kita pun masih menghamba.

.Latar belakang dari semua perselisihan adalah karena masing-masing warisan mengklaim, “Golonganku adalah yang terbaik karena Tuhan sendiri yang mengatakannya”.

Lantas, pertanyaan saya adalah kalau bukan Tuhan, siapa lagi yang menciptakan para Muslim, Yahudi, Nasrani, Buddha, Hindu, bahkan ateis dan memelihara mereka semua sampai hari ini?

Tidak ada yang meragukan kekuasaan Tuhan. Jika Dia mau, Dia bisa saja menjadikan kita semua sama. Serupa. Seagama. Sebangsa.

Tapi tidak, kan?

Apakah jika suatu negara dihuni oleh rakyat dengan agama yang sama, hal itu akan menjamin kerukunan? Tidak!

Nyatanya, beberapa negara masih rusuh juga padahal agama rakyatnya sama.

Sebab, jangan heran ketika sentimen mayoritas vs. minoritas masih berkuasa, maka sisi kemanusiaan kita mendadak hilang entah kemana.

Bayangkan juga seandainya masing-masing agama menuntut agar kitab sucinya digunakan sebagai dasar negara. Maka, tinggal tunggu saja kehancuran Indonesia kita.

Karena itulah yang digunakan negara dalam mengambil kebijakan dalam bidang politik, hukum, atau kemanusiaan bukanlah Alquran, Injil, Tripitaka, Weda, atau kitab suci sebuah agama, melainkan Pancasila, Undang-Undang Dasar ’45, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam perspektif Pancasila, setiap pemeluk agama bebas meyakini dan menjalankan ajaran agamanya, tapi mereka tak berhak memaksakan sudut pandang dan ajaran agamanya untuk ditempatkan sebagai tolak ukur penilaian terhadap pemeluk agama lain. Hanya karena merasa paling benar, umat agama A tidak berhak mengintervensi kebijakan suatu negara yang terdiri dari bermacam keyakinan.

Suatu hari di masa depan, kita akan menceritakan pada anak cucu kita betapa negara ini nyaris tercerai berai bukan karena bom, senjata, peluru, atau rudal, tapi karena orang-orangnya saling mengunggulkan bahkan meributkan warisan masing-masing di media sosial.

Ketika negara lain sudah pergi ke bulan atau merancang teknologi yang memajukan peradaban, kita masih sibuk meributkan soal warisan.

Kita tidak harus berpikiran sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir. (*)

 Afi Nihaya Faradisa

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry