Ustadz Yazid Abdul Qadir Jawwaz (FT/muslimmoderat)

SURABAYA | duta.co – Ustadz Yazid Abdul Qadir Jawwaz tak henti-hentinya menyerang amalan nahdliyin yang dianggap bid’ah sesat. Lebih parah lagi, syarah dari hadits ‘Kullu bid’atin dhalalah’,  termasuk pembagian bid’ah hasanah disebut Yazid sebagai bentuk melawan dan mengajari nabi.

Itulah potongan ceramah Yazid yang diunggah di youtube, dengan tajuk Kebangetan: Pelaku Bid’ah Mau Melawan Nabi Pakai Ilmu Nahwu Shorof. Sampai Selasa (6/3/2018) video ini ditonton 20 ribu orang. 375 memberi acungan jempol (like), sementara 111 orang tidak menyukainya (dislike).

Yazid menyebut, para pelaku bid’ah baru tahu ilmu nahwu, sedikit nakiroh segala macam, sudah mau melawan Nabi. “Keterlaluan, keterlaluan. Nabi yang mengatakan, nabi orang Arab yang tahu maksudnya. Makanya kata Ibnu Umar setiap bid’ah itu sesat walaupun orang mengatakan hasanah,” kata Yazid yang mengajak jamaahnya untuk menggunakan logika.

Benarkah isi ceramah Yazid? Padahal, mayirotas ulama, yang keilmuannya jauh di atas Yazid Abdul Qadir Jawwaz memberikan makna yang berbeda. Faris Khoirul Anam, Aswaja NU Center Jatim, Wakil Katib Syuriah PCNU Kota Malang memberikan penjelasan dengan mengutip pendapat ulama yang jauh lebih alim dari Yazid.

Jawaban Ustadz Faris ini pun viral di media sosial. Ia mengaku prihatin menyaksikan pernyataan Ustadz Yazid yang mengatakan “Ini kok ngajari Nabi ya…” dengan tertawa, apalagi disamput dengan riuh tawa jamaahnya. “Ini membuat kita prihatin secara ilmiah,” jelasnya.

Masih menurut Ustadz Faris, bila tawa rancak itu memang bermakna pembenaran terhadap pernyataan sang ustadz (Yazid red.), marilah kita mengelus dada secara berjamaah. “Karena pembenaran terhadap kalimat “Ini kok ngajari Nabi ya…” secara otomatis akan menenggelamkan sekian syarah dan tafsir hadits – bahkan tidak menutup kemungkinan menenggelamkan disiplin ilmunya secara total – lalu berubah menjadi keangkuhan, klaim, dan hegemoni kebenaran dari kelompok ini,” terangnya.

Ustadz Faris melempar sebuah pertanyaan: Apakah ulama yang menafsirkan dan mensyarahi hadits – termasuk dengan pendekatan bahasa – akan dikatakan pula sedang mengajari Nabi Muhammad?

Lebih jauh, apakah para penyusun kitab-kitab tafsir Alquran yang pada beberapa bagian menunjukkan ada pengaruh perbedaan makna bahasa terhadap perbedaan kesimpulan hukum, juga sedang mengajari bahasa kepada Dia Sang Pemilik Bahasa? Atau, apa sih maksudnya?

“Perlu melihat utuh videonya – sayang yang disebar dan disosialisasikan oleh buzzernya cuma potongan kajiannya. Tapi untuk menjaga keyakinan kita tentang pemahaman bid’ah, kita merujuk pada penjelasan ulama saja tentang hadits tersebut. Ulama yang menurut husnuzzhan saya tidak sedang mengajari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,” tegasnya.

Ustadz Faris mensitir sebuah hadits dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah SAW bersabda: “… Maka sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, sejelek-jelek perkara adalah hal-hal baru, dan setiap hal baru adalah sesat.” (HR Muslim, hadits no 867)

Menurut mayoritas ulama, hadits ini merupakan hadits umum yang dikhususkan (‘am makhshush). Bila makna hadits ini tidak dikhususkan, maka semua hal baru akan dihukumi sesat, baik urusan agama maupun dunia, atau urusan ibadah, tradisi maupun mu’amalah. Itu tidak mungkin. Lafazh ‘Kullu’ pada hadits ini, seperti pada ayat QS. Al-Ahqaf: 25: “Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Rabbnya.” (QS. Al-Ahqaf: 25)

Imam Nawawi yang punya kitab berjilid-jilid untuk memberikan syarah pada Shahih Muslim – dan (tentu) tidak sedang mengajari Nabi Muhammad – menjelaskan: “Hadits tersebut termasuk sesuatu umum yang dikhususkan, demikian pula hadits-hadits sejenis yang ada. Hal yang menguatkan pendapat kami adalah ucapan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengenai Tarawih: ‘Sebaik-baik bid’ah…’ Hadits (yang artinya) ‘Setiap bid’ah adalah sesat’ tidak menghalangi keberadaan hadits umum yang dikhususkan ini, dalam keadaan dikuatkan dengan kata ‘Kullu’. Meski terdapat lafal ‘Kullu’, tetap dapat dikenai pengkhususan (takhshish) seperti firman Allah (yang artinya): ‘(Angin itu) menghancurkan segala sesuatu.’ (Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 6/155). “Hadits Rasulullah (yang artinya) ‘Setiap bid’ah adalah sesat, ini adalah sesuatu umum yang dikhususkan. Maksudnya adalah kebanyakan bid’ah.” (Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, jilid 6, hal154)

Dalam Syarh Shahih Muslim tersebut, Imam an-Nawawi (w. 676 H) menjelaskan, hadits tersebut di atas bermakna “umum yang dikhususkan”. Pendapat ini dikuatkan oleh Umar bin Khaththab mengenai Tarawih, “Ini adalah sebaik-baik bid’ah.” Kata “Kullu” tidak berarti “semua”, karena dapat di-takhshis (dikhususkan).

Pada bagian sebelumnya (6/154), beliau menjelaskan, bid’ah sesat yang dimaksud hadits tersebut adalah kebanyakan bid’ah, bukan semua bid’ah.

“Pendapat Imam Nawawi ini menegaskan pendapat ulama lain bernama al-Khaththabi (w. 388 H). Beliau punya kitab berjudul Ma’alim al-Sunan yang fungsinya juga mensyarahi hadits-hadits Nabi Muhammad, bukan mengajari Nabi Muhammad,” tambahnya.

Pada jilid 4, hal 301 Imam Nawawi menjelaskan: “Setiap perbuatan baru adalah bid’ah. Hal ini berlaku khusus pada sebagian perkara, bukan pada yang lainnya, (berlaku) pada setiap sesuatu yang baru dilakukan tanpa ada sandaran dalil agama, serta tidak berdarkan ukuran dan standarnya. Adapun sesuatu yang memiliki sandaran dalil, dibangun di atas kaidah-kaidah Ushul dan dapat dikembalikan padanya, maka bukan bid’ah dan tidak sesat, wallahu a’lam.” (Al-Khaththabi, Ma’alim al-Sunan, jilid 4, hal. 301)

Dalam teks keterangan tersebut, al-Khaththabi menjelaskan, makna hadits  ‘setiap yang baru adalah bid’ah’ khusus pada sebagian kasus, dan pada setiap hal baru yang tidak memiliki dasar dalil dalam agama, serta menyimpang dari ukuran dan standarnya. Sementara suatu perbuatan baru yang dilakukan berdasarkan kaidah dalil, bukan termasuk bid’ah dan tidak sesat.

“Melalui keterangan-keterangan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tidak semua bid’ah itu jelek atau sesat. Kesimpulan ini diberikan oleh para ulama berdasarkan syarah dari hadits “Kullu bid’atin dhalalah”, bukan melalui terjemahan lahiriah lalu menafikan senarai disiplin ilmu nahwu, syarah hadits, tafsir hadits, Ushul Fiqh, dan ilmu berkah lainnya,” jelasnya.

Selain itu, ada yang lucu dari penjelasan Yazid Abdul Qadir Jawwaz, meski menolak syarah dari hadits itu, dia dengan enteng menjelaskan yang dimaksud ‘kullu’ (setiap amalan) adalah hal ibadah, bukan mualamah. Padahal dalam hadits itu jelas tidak ada pemilahan masalah ibadah dan muamalah. Lalu mengapa pemilahan itu tidak disebut sedang mengajari nabi? Inilah kesempitan berpikir para penuduh bid’ah.

Belum lagi kalau ditarik ke ibadah tarawih di bulan ramadhan. Apakah Ustadz Yazid tidak pernah melalukan tawarih berjamaah dengan berbaris rapi di bulan ramadhan? Bukankah itu tidak pernah dilakukan Nabi? Apakah berarti kita semua sedang mengajari atau melawan nabi? Waallahu’alam. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry