Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari.

“Agresi Militer Belanda itu, membuat wilayah Indonesia makin menciut, tinggal ‘selebar daun kelor’. Wilayah itu cuma meliputi garis Mojokerto di sebelah timur, dan Gombong di Kebumen. Di sebelah barat tinggal Yogyakarta sebagai pusatnya.”

Oleh: Syukron Dosi I, Netizen NU Jatim

SAAT itu jarum jam masih menunjuk ke angka 9 malam, baru saja beliau mengimami salat tarawih di malam ketujuh Ramadan 1366 M, atau 72 tahun yang lalu. Seperti biasanya, beliau duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat yang datang dari berbagai daerah di Jombang.

Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu, utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai menemui dan tamu itu menyampaikan pesan berupa surat. Entah apa isinya, yang jelas Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk berfikir dan, jawabannya akan diberikan keesokan harinya.

Salah seorang utusan itu bernama Kiai Gufron, Komandan Pasukan Sabilillah Surabaya.  Usai menyerahkan surat dan pesan ke hadratussyekh mengabarkan situasi bangsa selepas Agresi Militer Belanda I, 21 Juli 1947. Karena agresi itu, wilayah Indonesia makin menciut, tinggal ‘selebar daun kelor’. Wilayah itu cuma meliputi garis Mojokerto di sebelah timur, dan Gombong di Kebumen. Di sebelah barat tinggal Yogyakarta sebagai pusatnya.

“Jenderal Spoor sudah merebut Singosari, Malang,” ujar perwakilan itu.

Rais Akbar Nahdlatul Ulama yang berusia 76 tahun itu kaget luar biasa. Jatuhnya kota perjuangan, pusat markas tertinggi Hizbullah-Sabilillah — dua badan kelaskaran di bawah komando kiai-kiai NU — Malang ini, sangat mengejutkan KH Hasyim Asy’ari.

“Masya Allah, Masya Allah!” pekiknya.

Lalu ia memegang dan menekan kepalanya kuat-kuat. Keterkejutan yang hebat ini membuatnya pingsan.

Menurut KH Syaifuddin Zuhri dalam buku Guruku Orang-orang dari Pesantren, karena mendengar kabar itu, KH Hasyim Asy’ari mengalami pendarahan otak.

Dokter yang didatangkan dari Jombang, tidak bisa berbuat apa-apa karena keadaannya sangat parah sekali. Upaya medis dan lainnya sudah dilakukan, namun Allah swt berkehendak lain pada kekasihNya itu. KH M Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03.00 pagi, tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan tanggal 07 Ramadan 1366 H. Inna LiLlahi wa Inna Ilaihi Raji’un.

Keterangan dari Buku KH Syaifuddin Zuhri juga disitir dalam buku ‘20 Tahun Indonesia Merdeka VII’ yang diterbitkan Departemen Penerangan. Ini menunjukkan betapa penuh perhatian hadratussyekh sebagai pemimpin umat Islam Indonesia tersebut akan nasib perjuangan bangsa dan negara.

KH Hasyim Asy’ari dimakamkan di komplek Pondok Pesantren Jombang, Jawa Timur, sebagai kusuma bangsa. Atas jasa-jasa perjuangannya, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional kepadanya.

Hadratussyekh wafat dengan warisan jasa yang luar biasa besar. Kelak amal jariyah perjuangan yang belum ia tuntaskan itu berlanjut dengan pergerakan nasional di mana-mana. Para kiai dan kader mudanya tidak surut memperjuangkan kemerdekaan tanah air yang amat mereka cintai. Dalam semangat Islam, mereka berkorban untuk Bumi Pertiwi.

KH Hasyim Ay’ari wafat, tapi tetap mewariskan darah juang kepada putra-putranya, yaitu KH Wahid Hasyim, salah seorang perumus Pancasila dan Menteri Agama RI tiga kali. KH Choliq Hasyim menjadi Daidanco (Komandan Batalyon Pembela Tanah Air, PETA,) KH Yusuf Hasyim aktif di Laskar Hizbullah sebagai Komandan Kompi II. Salah seorang cucunya menjadi pejuang kemanusiaan dan demokrasi terdepan serta Presiden Indonesia, KH Abdurahman Wahid.

Dan kita sebagai santri dan penerus perjuangan beliau, sudah sepatutnya untuk menjaga, mengamalkan dan menyebarkan seluruh nilai, ajaran dan keteladanan KH Hasyim Ay’ari. (*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry