Oleh: Sad Praptanto Wibowo SH, MH*

JAWA TIMUR  berada dalam darurat korupsi. Ini menyusul sejumlah Kepala Daerah di Jawa Timur yang  terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Setelah  Bupati Pamekasan Achmad Syafii, kemudian Walikota Batu Eddy Rumpoko, yang terbaru ditangkapnya Bupati Nganjuk Taufiqurrahman. Khusus indikasi kasus korupsi yang menimpa Taufiqurrahman ini bukanlah hal baru. Dia bahkan sempat lepas dari jerat KPK pada Maret 2017 lalu, namun kembali menjadi ‘pasien’ KPK pada 25 Oktober 2017 lalu.

Apa yang terjadi di Jawa Timur ini sebenarnya bukan hanya menjadi kekhawatiran di Indonesia. Minimnya hukuman bagi pelaku korupsi inilah yang menjadi penyebabnya, sehingga hukuman tidak lagi dianggap menimbulkan efek jera.

Sistem pengambilan putusan hakim di Indonesia yang masih berpatokan pada batasan minimal dan maksimal hukuman tanpa mempertimbangkan penyebabnya inilah yang menjadi salah satu penyebabnya.

Padahal, jika kita sepakat bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), sehingga perlu dihadapi dan ditangani dengan cara-cara yang luar biasa pula. Kalau perlu koruptor harus dihukum penjara, denda, pengembalian kerugian keuangan negara,  dimiskinkan dan diberi sanksi sosial pula karena para pelaku korupsi masih takut kehilangan uangnya daripada mendapatkan hukuman berat.

Untuk itulah, jika sistem peradilan kita masih ‘berpihak’ pada pelaku korupsi, maka masyarakatlah yang harus bergerak. Kita lihat saja definisi korupsi, ”Suatu tindakan yang mengambil hak orang secara terencana maupun tidak, untuk memperkaya diri sendiri, kelompok, orang lain yang berakibat pada kerusakan dan kerugian bagi pihak lain”.

Karena itu, koruptor lebih jahat dari para perampok sekalipun dan koruptor menurut saya adalah termasuk pelanggar HAM Berat (Gross Violation of Human Rights), karena dapat merugikan dan menyengsarakan banyak orang.  Bayangkan, Dana APBD yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat malah dikorup.

Fenomena seperti di atas, semakin menunjukkan  pemberantasan korupsi di Indonesia, khususnya di daerah termasuk di Jawa Timur gagal. Untuk itu saatnya masyarakat Jawa Timur bergerak. Gerakan masyarakat inilah yang kini perlu dipikirkan. Salah satunya dengan pemberian sanksi sosial yang dimobilisasi oleh masyarakat terhadap koruptor. Sanksi sosial misalnya seperti yang terjadi  di Nganjuk dengan aksi potong rambut gundul atas upaya penangkapan Bupati Taufiqurrahman.

Contoh lain yang mungkin sangat efektif, dengan melakukan pengucilan terhadap pelaku korupsi  pada aktivitas politik dan kemasyarakatan. Misalnya dalam rentang waktu tertentu napi korupsi harus dilarang berpolitik aktif dalam arti mengikuti kontetasi legislatif maupun eksekutif.

Dan ini menjadi domain partai politik (parpol) yang dituntut  memperbaiki sistem pencalonan di internalnya. Parpol harus memutus mata rantai yang menutup seminim mungkin perilaku korupsi dengan memperbaiki sistem pencalonan di parpol.

Selain aktivitas politik, pengucilan juga berlaku di lingkungan masyarakat. Selama ini para koruptor  berusaha mempermainkan sisi psikologis dan sosiologis dari masyarakat. Hal ini karena tipe masyarakat kita yang terkadang masih permisif terhadap pelaku korupsi.

Perlu diciptakan hukuman yang lebih bersifat pada penciptaan hukuman masyarakat. Salah satunya dengan melakukan blow up atau penghembusan info korupsi dilakukan seseorang pada masyarakat. Dengan demikian, masyarakat akan lebih tahu siapa saja pelaku korupsi. Sehingga diharapkan pemberitaan ini bisa membuat jera para pelaku tindak korupsi.

Langkah lain yang bisa diterapkan dengan melakukan pengenaan hukuman kerja sosial seperti yang tengah diwacanakan  dalam draf RUU KUHP yang disusun pemerintah dan diajukan ke DPR, dimana pidana kerja sosial dicantumkan di Pasal 66 tentang jenis pidana. Jika pelaku korupsi dihukum untuk  melakukan kerja sosial seperti menyapu jalanan atau membersihkan kamar mandi umum  dengan menggunakan seragam khusus, akan memunculkan rasa malu.

Untuk itu tidak perlu takut dengan reaksi bahwa sanksi ini ialah sebuah pelanggaran HAM. Sebab pada dasarnya, korupsi juga sebuah tindakan pelanggaran HAM. Saatnya masyarakat turut melakukan jihad melawan koruptor. Caranya, jangan biarkan para pelaku korupsi mendapatkan ‘tempat’ di kehidupan bermasyarakat.

Adalah sebuah ironi, manakala misalnya seorang calon advokat atau profesi hukum lain saja untuk bisa diangkat harus ada surat keterangan tidak pernah dipidana. Hal itu  harus diformalkan terhadap mantan napi korupsi yang misalnya berkehendak ikut pileg ataun pilkada, karena korupsi adalah extra ordinary crime, maka perlu diberi  sanksi secara extra pula.  Semoga!

* Dosen FH Untag Surabaya dan Pengurus DPD Asosiasi Pengajar HTN/HAN Jatim

 

 

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry