Ahmad Karomi, Alumni Alfalah Ploso Kediri, Sekretaris PW LTN NU Jatim, Pengajar STAI Badrussoleh Purwoasri Kediri. (FT/IST)

“Ada dua makna, bila dilaksanakan dengan penuh kesadaran, akan terbangun sebuah sistem kesadaran bersama dengan tetap bersimpuh, bersandar kepada Allah swt. Walhasil, Ramadan menjadi madrasah untuk melatih karakter kita menjadi sosok yang bertakwa.”

Oleh: Ahmad Karomi*

BULAN penuh berkah. Ramadan memiliki daya tarik kuat bagi umat manusia. Sepengetahuan saya, diantara bulan-bulan Islam, hanya bulan Ramadan yang mampu ‘menerjemahkan’ Islam sebagai rahmatan lil alamin sekaligus menggerakkan ummat Islam untuk membangun kesadaran bersama.

Bayangkan! Sebelum bulan suci itu datang, seluruh lapisan masyarakat sibuk dengan ‘persiapan sambutan’, semisal tradisi ziarah kubur, bersih-bersih masjid, silaturahim sanak keluarga, dan seabreg rangkaian acara ‘penyambutan’ layaknya hari raya. Apa yang menggerakkan kesadaran massif tersebut? Tak lain, bulan Ramadan.

Peristiwa berkah yang terjadi setahun sekali ini sesungguhnya bukanlah monopoli kaum muslimin saja, akan tetapi mereka yang non-muslim juga bersuka cita, bahkan tanpa segan-segan mereka ikut ‘merayakan’, meskipun dengan cara yang berbeda-beda, lebih-lebih mereka semarakkan dalam bentuk parsel.

Masjid maupun surau menjadi sebuah tempat yang sarat akan nilai positif, dengan digelarnya kegiatan majlis ta’lim, pengajian tadarrus, i’tikaf, salat tarawih dan ibadah lainnya, sehingga fungsi masjid dan musolla layaknya basecamp atau sentral ragam kebaikan dan pemberdayaan sosial, yang sebelumnya – disadari ataupun tidak – hanya sebagai penggugur kewajiban salat lima waktu saja.

Ramadan adalah bulan puasa yang kerap disebut sebagai bulan meraih kebaikan agar menjadi hamba-hamba yang bertaqwa. Hal ini berdasarkan penegasan dalam QS Al-Baqarah 183. “Ya ayyuhalladzina amanu kutiba alaikumussiyamu kama kutiba alalladzina min qablikum la’allakum tattaqun” (wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan puasa atas kalian dan orang sebelum kalian supaya menjadi manusia yang bertaqwa). Bila memahami maksud “alladzina min qablikum”  maka itu adalah kaum terdahulu sebelum datangnya Islam, yakni Kristen (Nasrani), Yahudi.

Ayat tersebut menunjukkan bahwa umat-umat terdahulu juga terkena kewajiban berpuasa, hanya saja berbeda-beda caranya. Misalnya agama Yahudi berpuasa mulai tengah malam hingga siang hari dengan cara ‘pati geni’. Pun halnya orang Nasrani sebagaimana disebutkan dalam Injil Matius pasal 6 ayat 11 berpuasa (pantang makan sesuatu), bahkan tidak boleh makan enak (ngerowot) seperti daging, telor, ikan laut.

Puasa dalam Islam memiliki sifat tengah-tengah , tidak terlalu berat dan ringan, tidak pula memiliki pantangan macam-macam. Asalkan sesuai aturan yang ditetapkan, insyaallah tetap sah.

Ada dua poin yang patut kita pelajari dalam bulan Ramadan: Kebersamaan dan keikhlasan. Mengapa kebersamaan? Karena kaum muslimin merasa sama-sama memiliki Ramadan, sama-sama untung, sama-sama melakukan puasa tanpa ada pembeda status sosial. Pernahkah ada perbedaan puasa orang kaya dengan orang miskin? Orang berjalan dan berdiam diri? Raja dan rakyat? Tidak! Semuanya sama-sama menahan lapar dan dahaga. Inilah yang disebut hablun minannas, di situ ada kebersamaan, persamaan saling memahami. Akan tetapi kualitas puasa Ramadan sendiri akan terlihat tatkala pelakunya sedang menjalankan puasa, sampai seberapa ia mampu menghadapi rintangan yang menggoda.

Sedangkan makna kedua, keikhlasan, adalah merupakan penyerahan total hamba kepada Khaliq, di mana seorang hamba diperintahkan untuk  melatih, mengendalikan hawa nafsu agar menjadi hamba yang bertakwa. Sikap totalitas ini terangkai dalam ikatan yang sering disebut hablun minallah. Tunduknya seorang hamba adalah rantai yang terhubung kepada Allah. Sebab patuh, pasrah  merupakan pemutus urat-urat keangkuhan dalam jiwa. Bukankah Islam mengajarkan demikian?!

Dengan demikian kedua makna ini bila dilaksanakan dengan penuh kesadaran, niscaya akan terbangun sebuah sistem kesadaran bersama yang tetap bersimpuh, bersandar kepada Allah. Walhasil, bulan Ramadan menjadi semacam madrasah yang melatih karakter  kaum muslimin agar menjadi sosok yang  bertakwa. (*)

Ahmad Karomi, Alumni Alfalah Ploso Kediri, Sekretaris PW LTN NU Jatim, Pengajar STAI Badrussoleh Purwoasri Kediri.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry