Sulit menampik, Ikapete terhuyung huyung bergerak dan bahkan gamang untuk melecut kiprahnya. Hal ini jika direduksi, bertali kelindan dengan absennya “blue print” komitmen dan orientasi yang dimiliki oleh Ikapete. Atau meletakkan standing posisi ideologis Ikapete inilah yang belum muncul formulanya

Oleh: Cholidy Ibhar*

Ikatan Keluarga Alumni Pesantren Tebuireng (IKAPETE) sudah berganti ketua mulai dari Prof Dr KH Musthofa Ali Yaqub, Prof Dr KH Ridwan Nasir hingga Dr Muhammad Syahid. Rasanya, sulit menepis kesan belum kunjung jelas potret, arah dan kinerjanya.

Bahkan, struktur sebagai kaki institusi untuk melangkah dan berlari kencang menghela maksud luhur dibentuknya Ikapete, tidak kunjung tuntas. Hanya sejumlah kepengurusan provinsi dan kabupaten-kota yang telah terbentuk. Bisa dimengerti jika laju perjalananan Ikapete juga terkendala oleh rentangan struktural ini.

Namun, jika evaluasi hendak dilakukan dengan jujur sejatinya persoalan yang paling serius melilit Ikapete adalah komitmen dan orientasi. Pertanyaan yang laik diajukan menjemput Temu Alumni XII dan Munas Ikapete V: Quo Vadis Ikapete?

Sulit menampik, Ikapete terhuyung huyung bergerak dan bahkan gamang untuk melecut kiprahnya. Hal ini jika direduksi, bertali kelindan dengan absennya “blue print” komitmen dan orientasi yang dimiliki oleh Ikapete. Atau meletakkan standing posisi ideologis Ikapete inilah yang belum muncul formulanya.

Dalam perspektif itulah tidak ada pilihan kecuali merampungkan kesepakatan dengan reasoning bahwa “Tebuireng Itu Madzhab”. Mengapa nalar ini mesti dijawab, lantaran Ikapete harus mempunyai panduan pemikiran dan sikap. Agar centang perentang rupa rupa pemikiran dan sikap alumni tidak berbenturan antara sesamanya.

Tebuireng itu Madzhab

Tebuireng bukan benda mati. Bukan pula jejuluk yang sarat dengan balutan mitologisnya. Tebuireng memiliki muatan cara (kaifiyah), metoda (manhaj), sanad dan faham. Di sinilah–kendati tentu dengan terminologi yang longgar–Tebuireng mempunyai kemiripan dengan madzhab.

Tebuireng dengan sosok hadratusy syekh mencerminkan sebagai referensi, maraji’ atau rujukan cara berfikir dan bersikap. Sekurang kurangnya, narasi panduan nilai  yang ditulis dan dituangkan oleh KH Hasyim Asy’ari dalam “Qanun Asasi, menjadi arahan alumni. Akan halnya, Irsyadus Sari, yang merupakan masterpiece hadratusy syekh.

Dua kitab anjakan nilai yang diformulasikan pendiri pesantren Tebuireng itulah yang seharusnya dijadikan acuan mendasar Ikapete dalam menggerakkan Ikapete dan sekaligus mengokohkan bahwa sesungguhnya Tebuireng itu Madzhab.

Tebuireng sebagai madzhab meniscayakan kesatuan gerak, berfikir dan bersikap. Sehingga tidak laik jika dijumpai alumni yang malahan berpeluk mesra, menari nari dan basah kuyub dengan paradigma orang lain.

Oleh karena itu, forum Munas nantinya menyelesaikan dan membulatkan tekad atas agenda utamanya tersebut. Berikutnya konsep turunannya. Jika tidak, Ikapete akan mendayung pada rutinisme dan involutif belaka.

Bahkan ironinya, energi alumni terkuras oleh issu yang dipantik pihak lain. Atau bersilang pemikiran dengan bersandar dan menoleh kepada prestasi alumni lain yang belum tentu memiliki keserupaan untuk dijadikan rujukan. (*)

*Cholidy Ibhar adalah alumni pesantren Tebuireng angkatan 1970.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry