“Cum tacent, clamant “, demikian teriakan Cicero yang bermakna  bila mereka diam, sebenarnya mereka berteriak. Diam adalah teriakan dalam bentuk lain. Diam berbicara lebih keras dari kata-kata.

Cicero itu mengingatkan setiap penyelenggara negara supaya tidak salah membaca sikap rakyat. Meski rakyat itu diam, bukan berarti “mendiamkan’ penyakit bangsa. Diamnya jangan disalahpahami sebagai ketidakpedulian terhadap virus negeri. Diamnya bisa jadi sebagai “kemarahan” yang terpendam.

Diamnya rakyat itu seharusnya menjadi peringatan radikal pada setiap penyelenggara negara agar melakukan evaluasi atas kinerjanya, sudahkah kinerjanya dijalankan dengan benar, jujur, atau sejalan dengan norma-norma yuridis?

Kalau setiap penyelenggara negara mau melakukan evaluasi, tentulah akan ditemukan sejumlah kekurangan, yang kekurangan ini mesti ada diantaranya yang menjadi bagian dari pertanyaan (gugatan) publik, meski sementara publik tidak bersuara nyaring atau menunjukkan “kegarangannya”.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah didaulat negara untuk menjadi penyelenggara institusi yudisial yang mendapatkan amanat memberantas korupsi, yang belakangan ini di satu sisi mendapatkan apresiasi publik atas kinerjanya yang “gampang” menangkap seseorang atau sejumlah orang yang diduga korupsi, namun di sisi lain  dipertanyakan publik, apakah kinerja KPK dalam penanganan tersangka korupsi memang mengdepankan prinsip hukum yang demokratis?

Pertanyaan itu logis, pasalnya publik belakangan ini sering berkeluh kesah,  kalau KPK mengalami kesulitan dalam menegakkan prinsip hukum yang demokratis atau egalitarianisme yudisial  ketika KPK dihadapkan dengan kasus-kasus  “berat” secara politik, khususnya kasus-kasus warisan KPK terdahulu.

Salah satu kasus yang oleh public dinllai menjadi beban KPK adalah kasus Hambalang. Kasus ini berjalan cukup lama, sehingga menggelisahkan publik, jangan-jangan kasus ini nantinya akan “tumbang” di tengah jalan.

Di tengah menipisnya ekspektasi publik itu, tiba-tiba KPK memberikan harapan. Beberapa hari lalu, Juru Bicara KPK, Febri Diansyah memberikan keterangan di Gedung KPK bahwa  akan mengusut secara tuntas korupsi pembangunan Pusat Pelatihan, Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P2SON) di Hambalang tahun anggaran 2010-2012. KPK berupaya memenuhi janjinya dengan cara menahan Andi Zulkarnaen (AZM) alias Choel Mallarangeng.

KPK berjanji akan terus mencari bukti dan informasi untuk menyibak pihak lain yang terlibat dalam proyek ini, termasuk soal dugaan keterlibatan dan aliran suap kepada elite Partai Demokrat, Edhie Baskoro Yudhoyono. Untuk melacak keterlibatannya akan didalami proses penyidikan Choel Mallarangeng.

Benarkah nantinya KPK akan menunjukkan bukti obyektifitas, transparansi, dan militansi kinerjanya dalam mengungkap kasus Hambalang? Punya nyali dan militansikah KPK menanganinya?  atau mampu menunjukkan independensi atau transparansikah untuk membongkarnya?

Kendati kapal akan karam, tegakkan hukum dan keadilan!” demikian pernyataan  Baharudin Lopa, yang mengingatkan setiap penegak hukum dan rakyat Indonesia untuk bersama-sama menjaga kewibawaan negeri ini dengan cara menegakkan hukum dan keadilan.

Dalam kondisi apapun dan harus berhadapan dengan siapapun, Lopa mengingatkan supaya setiap elemen bangsa ini (KPK) tidak takut, apalagi aparat penegak hukum, untuk mengdapai siapa saja yang tersangkut dengan hukum. Tidak boleh ada kata lemah dan ciut nyali menghadapi elitis atau kelompok tertentu yang bermaksud menghalang-halangi atau menjadi duri dalam penegakan hukum (law enforcement)

Dalam ranah itu, KPK tidak boleh “dikaramkan” oleh kasus Hambalang. KPK berkewajiban menunjukkan keberanian dan independensinya dalam menangani siapa saja yang terlibat. Kata “siapa saja” yang terlibat ini berarti menunjukkan pada siapapun tanpa kecuali, sehngga KPK harus menunjukkan kinerjanya yang memosisikan dirinya lebih istimewa dibandingkan kasusnya.

Dalam ranah demokratisasi yuridis, tidak ada istilah keluarga dan dari kelompok siapa, melainkan siapapun orangnya yang karena perbuatannya terindikasi merugikan negara, maka harus menjalani proses pemeriksaan sebagai tersangka atau terdakwa.

Sudah beberapa kali publik meminta pada KPK supaya setiap penjahat atau “terduga” korupsi tidak ada yang diperlakukan istimewa. Permintaan ini sejalan dengan konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum, yang salah satu prinsipnya adalah penegakan asas persamaan derajat di depan hukum (equality before the law).

Di tangan KPK, negara sudah mempercayakan bagaimana seharusnya idealisme yuridis benar-benar menjadi empiris yuridis yang demokratis, atau bagaimana keadilan menjadi “hak milik” semua orang (justice for all) atau “kkayaan negara” yang berharga bagi seseorang, masyarakat, atau para pencari keadilan (justiabelen) yang memang seharusnya berhak menerimanya.

Dalam ranah filosofis itu, hukum yang demokratis bermaknakan sebagai hukum yang bukan hanya sejiwa dengan kepentingan masyarakat, tetapi sebagai hukum yang oleh negara bisa dimediasi atau dilabuhkan sebagai norma yang mengejawentah  yang mampu memberikan manfaat demi dan untuk rakyat.

Di tangan KPK, nilai filosofis yuridis itu sedang atau telah sekian lama diuji oleh kasus Hambalang. Eksaminasi ini  sejatinya secara konstitusionalitas wajar-wajar, pasalnya dalam konstitusi sudah jelas setiap orang berkedudukan sama di depan hokumu.

Atas dasar ranah itu, untuk bisa menjadi hukum atau konstitusi yang demokratis atau bermanfaat tersebut, KPK menjadi kuncinya. Elemen ini membuat norma hukum  bisa bekerja seperti melindungi, memenuhi, dan memberdayakan, dan sebaliknya bisa menghadirkan dan ”menyuburkan”  penyakit bernama distorsi dan reduksi egalitarianisme

Pernyakit itu seharusnya memang tidak boleh menyerang atau menjangkiti KPK, pasalnya KPK ini dibentuk sebagai  lembaga yang secara khusus diisi pasukan-pasukan pilihan  untuk menghabisi atau membabat para koruptor, sehingga kolaborasi kekuatan koruptor apapun, harus diberantasnya tanpa kecuali, meski dengan pertaruhan mati.

Pertaruhan yang ditunjukkan KPK merupakan wujud kekuatan integritasnya. Integritas etisnya tidak akan mungkin bisa terkoyak oleh koruptor atau kekuatan politik manapun, selama itu dipertahankan dengan seluruh kemampuannya.

Immanuel Kant pernah mengingatkan, bahwa  zwei dinge erfüllen das gemüt mit immer neuer und zunehmender bewunderung und ehrfurcht, der bestirnte himmel über mir, und das moralische gesetz in mir atau dua hal yang membangkitkan ketakjuban saya: langit bertaburkan bintang di atas dan hukum moral di dalam diri saya.

Pernyataan filosof itu sejatinya sebagai ajakan serius untuk menegakkan etik (moral) pada saat dimanapun dan berhadapan dengan siapapun. Selama moral dijaga oleh aparat KPK, maka pemberantasan korupsi tidak perlu dikhawatirkan. Tersangka di masa lalu atau para kandidat tersangka ke depan, tidak akan luput dari kinerjanya, sepanjang komitmen eti profetisnya ditegakkan secara jujur, obyektif, egaliter, dan transparan.

Janji KPK ditunggu oleh seluruh rakyat Indonesia. Rakyat membutuhkan bukti kesungguhan kinerjanya. Kalau soal janji menyelesaikan kasus, KPK sudah sering menyampaikan ke publik, tinggal sekarang bagaimana KPK benar-benar serius menunjukkan perannya membingkarnya, termasuk “menyudahi” kasus Hambalang.

 

 

Penulis adalah Wakil Direktur I program pascasarjana Universitas Islam Malang, serta Penulis buku terorisme, dan Pengurus Pusat APHTN-HAN.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry