Oleh Muhammad Ali Murtadlo*)

 

Secara normatif, puasa Ramadan yang dilanjutkan dengan perayaan Idul Fitri baru saja berlalu. Akan tetapi secara substantif, puasa yang berarti “mencegah dan menahan” belumlah usai. Justru setelah puasa Ramadan berakhir, puasa yang sesungguhnya barulah dimulai.

Melalui puasa Ramadan, manusia harus mengekang hawa nafsu dan menahan semua yang membatalkan puasa. Maka yang harus dicegah dan dikekang pasca Ramadan adalah nafsu keserakahan, keinginan untuk mencuri, melakukan korupsi serta mencegah dari segala perbuatan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Di sisi lain, harus mengembangkan potensi kebaikan, seperti sabar, ikhlas, jujur, dan amanah dalam rangka menuju ketaqwaan. Karena target akhir puasa adalah mencapai derajat taqwa. Taqwa yang dibuktikan dengan menjalankan semua perintah dan menjauhi larangan-Nya selama 11 bulan kedepan hingga Ramadan datang kembali.

 

Mudik dan Gelombang Urbanisasi

Terlepas dari hukum dan syariat puasa, ada fenomena menarik yang tidak bisa dilepaskan dari puasa Ramadan, yakni mudik. Mudik merupakan akronim dari bahasa jawa “Mulih Dilik” (Pulang sebentar). Mudik berarti pulang menuju kampung halaman untuk merayakan lebaran. Andre Moller dalam buku Ramadan di Jawa (2002) mencatat tradisi mudik merupakan fenomena unik yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia untuk menyambut Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri. Mudik seperti itu sejatinya merupakan tradisi khas bangsa Indonesia karena di Timur Tengah tidak terdapat tradisi mudik ke kampung halaman ketika Idul Fitri menghampiri.

Setelah tradisi mudik dan lebaran telah usai, pada minggu-minggu ini merupakan waktu bagi pemudik untuk kembali ke kota, tempat peraduan dan mengadu nasib. Pasalnya Senin (03/07) merupakan awal untuk memasuki dunia kerja. Bagi siswa saatnya untuk masuk sekolah. Dan bagi mahasiswa saatnya untuk masuk kuliah.

Tidak bisa dipungkiri setidaknya tiap tahun jumlah pendatang baru (urban) terus meningkat. Kaum pendatang baru yang bergabung dalam arus balik adalah gelombang angkatan kerja yang terpesona dengan cerita-cerita sukses yang dibawa oleh para pemudik, sehingga mereka memutuskan untuk mengadu nasib di kota. Gelombang urbanisasi ini tentunya akan semakin menambah masalah yang sudah kompleks di perkotaan, misalnya, kepadatan penduduk, kemacetan, pengangguran, kriminalitas, dan permasalahan sosial.

 

Penyakit Metropolitan

Ada kisah menarik yang patut kita cermati. Ini adalah dialog Nabi Musa ‘Alaihi Salam (AS) dengan umatnya, Bani Israil, dalam pengembaraan mereka di gurun pasir selama 40 tahun. Tujuan Allah menyuruh mereka mengembara selama 40 tahun di gurun pasir itu adalah untuk mendapatkan generasi baru yang bermental ulet, tahan uji, tahan derita, berani, berjiwa merdeka, menggantikan generasi tua yang bermental budak dan manja. Dialog yang terjadi ini, adalah belum lama setelah mereka diselamatkan Allah dari kejaran Firaun bersama bala tenteranya.

Dalam pengembaraanya itu Allah SWT memberi anugerah khusus kepada mereka. Ada tiga jenis anugerah khusus: pertama, Al Ghamamu atau awan pelindung dari teriknya matahari. Kedua,  Al Manna, sebangsa lumut rasanya manis yang mengandung zat yang terdiri dari hidrat arang. Ketiga, As-Salwa, sejenis burung yang mengandung protein dan lemak (Q.S Albaqarah (2):57).

Dialog mulai dibuka oleh generasi tua tersebut: Wahai Musa kami sudah tidak tahan lagi dengan makanan yang dari itu itu saja. Kemudian mereka meminta lagi agar Nabi Musa berdoa kepada Allah SWT untuk minta makanan yang bermacam-macam, seperti yang telah pernah mereka rasakan dahulu. Maka Nabi Musa menjawab: Mengapa kamu inginkan pengganti yang tidak baik atas yang sudah baik?  kemudian Nabi Musa berkata lagi: Turunlah ke kota, di situ kamu akan dapatkan apa yang engkau kehendaki.

Setidaknya, ada dua hal yang dapat kita ambil pelajaran dari cerita di atas. Pertama, kecenderungan orang desa pergi turun ke kota (down town), berurbanisasi. Mereka itu mempunyai dorongan keinginan akan kehidupan yang lebih baik, makanan yang bermacam-macam, fasilitas yang lebih menyenangkan.

Nabi Musa AS memperingatkan mengapa kehidupan yang baik di gurun (baca: di desa) meminta ganti dengan kehidupan yang tidak baik di kota. Kita semua sudah tahu, betapa sekarang bahayanya makanan yang berjenis-jenis itu. Zat pewarna yang merusak hati, otak dan organ tubuh lainnya. Zat penyedap yang membahayakan kesehatan, makanan kaleng dengan zat pengawet penyebab kanker, belum lagi yang sudah kadaluarsa. Ini dari segi makanan, belum lagi udara sehat yang bersih di desa akan ditukar dengan udara yang sudah penuh dengan polusi dan pencemaran di kota.

Kedua, dan ini tidak kurang pentingnya yaitu secara sosiologis. Secara sosiologis, masyarakat desa merupakan suatu keluarga besar. Kehidupannya intim, namun kontrol sosial ketat, sehingga mudah terhindar dari kemaksiatan. Kontrol sosial yang ketat itu merupakan salah satu sisi mata uang, sedang sisi yang lain yaitu sistem perlindungan dan jaminan sosial yang cukup berkualitas. Lalu apa yang dialami oleh penduduk desa yang sudah berurbanisasi itu?

Kehidupan intim lenyap, bahkan orang bertetangga sudah kurang saling mengenal, dipagari tembok tinggi, masing-masing sibuk sendiri. Orang menjadi kesepian di tengah-tengah keramaian. Kesepian coba dihilangkan dengan kehidupan malam, tetapi penyakit kesepian itu tak kunjung-kunjung hilang. Maka kita yang hidup di kota metropolitan sekarang ini, haruslah menyadari akan bahaya penyakit-penyakit itu.

 

*) Penulis adalah Awardee LPDP UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dan Alumni UIN Sunan Ampel Surabaya.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry