Oleh Khoirul Anwar Afa

 

Saya melihat NU merupakan wadah yang sangat strategis serta sudah terbukti dalam memberikan dorongan kepada masyarakat untuk maju menuju insan produktif. Tidak heran dari NU lahirlah banyak tokoh, baik kiai maupun cendekiawan muslim, yang berpikiran maju dan modern. Seperti KH Wahid Hasyim, KH Abdurrahman Wahid, dan KH Said Aqil Siraj, dan lain sebagainya.  Memiliki pemikiran yang maju maksudnya ialah suatu pemikiran yang bisa diterima oleh masyarakat luas tanpa harus mengabaikan prinsip-prinsip Islam. Contoh yang paling diingat di dalam sejarah ialah penolakan NU atas pencantuman tujuh kata yang telah dihapuskan dalam piagam Jakarta ke dalam amandemen UUD 1945, (Abraham, 2009).

Lebih lanjut lagi, ditinjau dari berbagai aspeknya NU sudah berpuluh-puluh tahun mendeklarasikan diri sebagai Organisasi umat muslim di Indonesia yang menjaga solidaritas membina umat. Sehingga menjaga solidaritas tetapi diiringi dengan penumbangan umat lain, itu tidak  masuk pada paradigma NU. Untuk itu, dalam berbagai lembaga pesantren yang masih melestarikan tradisi Nahdliyin, maka mereka tidak akan mengabaikan nilai-nilai sosial keagamaan yang bermanfaat bisa memberikan sinergi kepada yang lain. Seperti mengadakan bakti sosial, dll.

Tetapi yang lebih urgen dari peran masyarakat NU adalah memiliki ruang lingkup yang cukup luas demi tercapainya aktivitas yang bermanfaat. Namun tetap tidak mengesampingkan nilai-nilai keagamaan yang masih harmonis dengan Islam di Nusantara ini. Seperti gerakan masyarakat NU dalam membina ekonomi pesantren. Dengan beragam langkah yang digunakan pesantren-pesantren mampu berdikari tanpa harus mengesampingkan nilai-nilai luhur yang tetap terjaga dalam diri masyarakat Nahdliyin.

Karena dewasa ini, kita tidak jarang menemukan lembaga pendidikan yang berbasis pesantren dengan bangunan mewah, dan menjanjikan strategi pembelajaran yang seabrek. Namun, bagi siapa pun yang ingin belajar di tempat mereka harus berani dengan menebus biaya yang setinggi langit. Dengan dalih terdapat sarana dan prasarana yang setara dengan hotel berbintang.

Upaya-upaya demikian itu tidak terlihat di dalam masyarakat Nahdliyin. Karena mereka tidak tampil mentereng dalam urusan mencerdaskan umat. Suasana yang khas masih melekat meskipun di luar sana sudah bertebaran perdagangan pendidikan, yang profitnya pun tidak kalah menggiurkan dengan bisnis lainnya. Padahal, jika mengkritisi lebih jauh, mereka yang memperdagangkan pendidikan itu dalam segala unsur pendidikan yang mereka tawarkan tidak akan bisa melebihi yang telah teraplikasi di dalam masyarakat Nahdliyin, khususnya kaum santri.

Pengalaman saya sendiri yang bertahun-tahun berada di dalam lingkup pesantren yang berbasis NU, merasakan betul bagaimana paradigma para kiai yang membina kami selama di pesantren. Ketulusan dan kewibawaan mereka masih beraroma wangi bagaikan belum tersentuh dengan bangkai yang amis. Setiap beliau menyampaikan satu atau dua kata bab tentang ilmu, kami sebagai para santri mendengarkannya dengan taat. Karena apa yang beliau-beliau sampaikan itu lahir dari keikhlasan hati yang dalam.

Prinsip-prinsip yang demikian itu sudah menjadi ciri khas pada tokoh-tokoh Nahdliyin baik yang berkiprah di dalam medan domestik seperti para kiai pesantren, maupun tokoh NU yang berkiprah pada tatanan internasional. Seperti berbagai cerita yang penulis dengar sendiri dari testimoni ketika Haul KH Abdurrahman Wahid, dan bahkan dituliskan dalam satu buku karya Kiai Husein Muhammad, LC, yang berjudul, “Sang Zahid.” Dalam berbagai testimoni itu, Gus Dur sebagai tokoh publik NU yang merepresentasikan jutaan umat Nahdliyin yang tidak gemar dengan kemewahan dunia. Namun tidak mengesampingkan pemberdayaan dunia untuk bisa memberikan manfaat kepada orang lain.

Semua itulah yang diajarkan sehingga dalam kemandirian pesantren pun yang dimiliki oleh warga Nahdliyin sendiri bisa berdikari tanpa harus mengibarkan harga yang mahal. Karena yang menjadi landasan adalah niat yang sangat tulus untuk menyalurkan ilmu melalui lembaga pendidikan. Dan tujuannya hanyalah satu. Yaitu untuk ikut memberikan bonus demografi untuk negara ini dalam mewujudkan generasi masyarakat yang unggul. Baik dalam lingkup nasional maupun dalam lingkup internasional.

Namun sisi lain yang lebih penting adalah pemberdayaan masyarakat Nahdliyin agar tidak tergerus dengan era globalisasi yang semakin kapitalistik. Sehingga memiliki paham hedonisme dan pragmatisme yang jauh dengan nilai-nilai keislaman yang selama ini menjadi identitas NU. Ini bukan berari masyarakat Nahdliyin harus memicingkan mata untuk berpaling dari harta, akan tetapi harus lah tertanam bahwa dalam menyalurkan hal apapun, termasuk pendidikan maka tidak dengan menjual nilai-nilai etika agama yang prinsip bagi NU. Yaitu, tidak mudah menjual dalil dalam berbagai mimbar.

Maka sebaiknya NU tetap menjadi diri sendiri, yang tidak gemar dengan kedudukan di dalam pemerintahan. Tetapi NU juga tidak lepas dari unsur-unsur yang berpengaruh sebagai kekuatan untuk menjadi hamba yang kuat, dan memiliki langkah yang cepat dan juga tepat dalam menyebarkan nilai-nilai Islam yang luhur  dan moderat. Karena dewasa ini hanya NU yang telihat masih memiliki wibawa dalam menghadapi badai akibat peperangan ideologi yang bermunculan. Maka hanya dengan ruh dan semangat ke-Nu-an yang bisa bertahan di tengah-tengah arus global seperti ini untuk menjadi Islam Nusantara yang harmonis. Namun tetap sinergis dalam mengaplikasikan nilai-nilai Islam sesuai dengan tuntunan Ahlussunnah wal jama’ah. Maka NU harus lebih bergerilya dengan memiliki kekuatan untuk menangkal paham-paham yang tidak sejalan dengan khittah NU, terlebih pasca masyarakat Nahdliyin mengadakan istigasah bersama dengan jutaan umat lainnya kemarin. Semoga.

 

Penulis adalah Peneliti di Islamic Studies Pasca Sarjana IIQ Jakarta.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry