Ketua PBNU Muhammad Sulton Fatoni (ist)

JAKARTA | duta.co – Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Muhammad Sulton Fatoni mengatakan kebijakan sekolah lima hari sepekan mengabaikan sejaran dan sosial budaya masyarakat Muslim Indonesia.

Sulton mengatakan kebijakan ini akan memaksakan anak-anak berada di sekolah selama delapan jam atau full day school. Padahal, full day school yang sejak lama digagas dan mendapatkan penolakan dari masyarakat Muslim di Indonesia.

“Jika tetap dilaksanakan mulai tahun ajaran baru, ini bentuk kebijakan yang tidak aspiratif, menang-menangan, sekehendaknya sendiri,” kata Sulton melalui keterangan tertulisnya, Senin (11/6).

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berencana menerapkan lima hari sekolah dalam sepekan akan mulai tahun ajaran baru 2017/2018 atau Juli 2017. Pelajar akan bersekolah lima kali dalam sepekan dan delapan jam setiap hari.

Sulton menilai full day school berpotensi menjadi proses pendangkalan ajaran Islam. Sebab, kebijakan ini menjauhkan peserta didik dari lembaga-lembaga keagamaan yang berkualitas di daerahnya masing-masing.

“Hal mendasar yang terjadi saat full day school diterapkan adalah matinya Madrasah Diniyah, belajar agama sore hari, interaksi santri-kiai di sore hari,” ujar Sulton.

Ia menegaskan, pada sore hari, anak-anak yang beragama Islam mendapatkan bimbingan etika dan moralitas dari guru-guru ngaji mereka. “Di sekolah, pelajarannya sarat dengan target dan angka-angka. Inikah yang pemerintah inginkan?”

Sulton yang juga dosen Sosiologi di Universitas Nahdlatul Ulama Jakarta menyampaikan, sudah saatnya pemerintah melakukan perbaikan substansial terhadap sistem pendidikan. Saat ini, kualitas pendidikan Indonesia belum mampu bersaing di dunia Internasional.

“Bukan karena kualitas peserta didiknya yang buruk. Tapi, karena terlalu sering berganti kebijakan, setiap ganti menteri akan ganti kebijakan,” ujar dia.

Dia pun mendorong pemerintah menyudahi tradisi buruk mengutak-atik sesuatu yang tidak substansial. Pemerintah seharusnya melakukan evaluasi secara berkala dalam kurun waktu yang ideal.

“PBNU tetap tidak setuju konsep full day school dan jika dipaksakan maka Ketua Umum PBNU akan menghadap langsung ke Pak Presiden untuk menyampaikan ketidaksetujuan hal ini,” ujar Sulton.

Sebelumnya, Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Umum Zainut Tauhid mengatakan, kebijakan Mendikbud memberlakukan waktu belajar 8 jam per hari dan libur Sabtu-Minggu berpengaruh besar pada sekolah dinayah yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat. Selama ini, kata Zainut, sekolah seperti madrasah dinayah maupun pesantren, biasanya memulai pelajaran saat sekolah umum baik SD, SMP dan SMA, selesai.

“Dengan diberlakukannya pendidikan selama delapan jam sehari dapat dipastikan pendidikan dengan model madrasah ini akan gulung tikar. Padahal, keberadaannya masih sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat,” kata Zainut, dalam siaran persnya, Minggu (11/6).

Padahal model sekolah seperti ini, kata dia, sudah berlangsung lama. Bahkan kontribusinya bagi pembangunan karakter dan moral keagamaan, sangat besar. Zainut tidak bisa membayangkan, berapa jumlah sekolah yang menerapkan model seperti ini akan tutup. Padahal dikelola secara mandiri dan sukarela oleh masyarakat itu sendiri.

 

Mendikbud: Untungkan Diniyah

Namun, Mendikbud Muhadjir Effendy mengatkan, penerapan kebijakan sekolah lima hari dalam sepekan tidak bakal meminggirkan keberadaan pendidikan agama (diniyah) yang ada di luar sekolah. Penerapan kebijakan itu justru mendorong siswa untuk ikut madrasah diniyah.

Muhadjir mengatakan sekolah agama itu dapat diintegrasikan dengan pembentukan karakter. “Madrasah diniyah justru diuntungkan karena akan tumbuh dijadikan sebagai salah satu sumber belajar yang dapat bersinergi dengan sekolah dalam menguatkan nilai karakter religius,” kata dia melalui siaran persnya.

Mendikbud sudah menginstruksikan kepada guru untuk menghindari kegiatan ceramah dalam kelas dan mengganti dengan aktivitas positif. “Di antaranya mengikuti madrasah diniyah, bagi siswa muslim,” kata dia.

Mendikbud menyebutkan setiap guru wajib mengetahui dan memastikan di mana dan bagaimana siswanya mengikuti pelajaran pendidikan agama sebagai bagian dari penguatan nilai relijiusitas.  “Guru juga wajib memantau siswanya agar terhindar dari pengajaran sesat atau mengarah pada intoleransi,” kata Muhadjir.

Mendikbud meminta orang tua dan masyarakat tidak membayangkan kebijakan ini membuat siswa berada di kelas sepanjang hari. Kebijakan ini ingin mendorong siswa melakukan aktivitas yang menumbuhkan budi pekerti, serta keterampilan abad 21.

Aktivitas tersebut tidak hanya dilakukan di lingkungan sekolah tetapi juga di tempat publik. Dia menyebutkan tempat publik itu seperti surau, masjid, gereja, pura, lapangan sepakbola, museum, taman budaya, dan sanggar seni.

Artinya, ia melanjutkan, perbandingan porsi proses belajar, yakni 70 persen pembentukan karakter dan 30 persen pengetahuan.

 

Pembelaan Menag

Menteri Agama Lukman Hakim Syaifudin menyatakan, wacana full day school sebaiknya didengarkan lebih dulu maksudnya. Sehingga bisa secara utuh melihat konsepsi kebijakan ini.

“Akan lebih baik sebelum kita melakukan judgement atau sebelum melakukan penghakiman atau menilai atau menghukumi ini baik atau buruk, kita dengar terlebih dahulu karena kita kan harus mendengar,” kata Lukman usai rapat dengan komisi VIII di Gedung DPR, Jakarta, Senin (12/6).

Ia menambahkan, alih-alih dikhawatirkan akan merugikan madrasah diniyah dan pondok pesantren, bisa saja kebijakan ini justru malah membuat pengakuan terhadap madrasah diniyah.

“Kebijakan ini justru bisa jadi akan menjadikan sisi positif bagi guru-guru kita yang jam mengajarnya masih kurang, guru-guru agama khususnya. Kan banyak guru agama kita jam mengajarnya kurang. Oleh karenanya, lebih baik kita mendengar terlebih dulu bagaimana secara utuh konsepsi dari rencana kebijakan fullday school ini,” kata Lukman. hud, rol, mer

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry